Share

Part 2 Situasi yang Rumit

"Please!"

"Maaf, saya nggak bisa. Saya bukan dokter. Sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja. Ini bisa berbahaya jika dibiarkan dengan penanganan yang salah." Aku bicara dengan suara bergetar. Bertahun-tahun menangani pasien dengan luka berbagai macam, tapi aku tidak segemetar ini.

Seorang laki-laki bertubuh kekar menghampiriku. "Tolong, bos kami, Nona. Kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Apa yang Anda butuhkan, akan kami carikan."

Tidak bisa membawanya ke rumah sakit? Kenapa? Nyawanya terancam tapi orang-orang itu keukeuh tidak ingin mendapatkan pertolongan di rumah sakit.

"Ini lukanya sangat parah. Harus mendapatkan penanganan segera." Aku berdebat di kamar mewah bernuansa maskulin. Mereka tetap tidak ingin membawa lelaki yang sudah kehilangan banyak darah itu ke rumah sakit. Para lelaki berpakaian serba hitam itu menatapku tajam. Tampaknya mereka membenciku karena terlalu banyak bicara dan penolakan.

Mereka benar-benar memaksaku untuk melakukan hal sebesar ini. Yang seharusnya dilakukan oleh dokter bedah. Tapi ... kenapa pria itu bisa tertembak? Siapa yang melakukannya dan sekarang kesannya seperti di rahasiakan. Rumah dari lantai satu hingga lantai dua juga rapi, tidak ada bekas keributan di sini. Apa pria itu seorang residivis?

Aku kembali di kejutkan oleh pintu yang dibuka dari luar. Seorang laki-laki usia enam puluhan yang memakai jas warna abu-abu masuk dan langsung mendekati pria muda yang masih kesakitan. "Tolong putraku, aku akan membayarmu berapa pun itu," pintanya sambil menatapku. Aku makin gemetar dan keringat dingin membasahi pelipisku.

Kenapa aku dihadapkan pada situasi yang sulit ini?

Pria yang bersandar pada kepala ranjang masih menahan sakit, tapi tidak banyak bergerak. Rupanya mereka juga tahu kalau posisi luka tidak boleh lebih rendah dari posisi jantung. Siapakah mereka ini? Dan pria bernama Hendri itu tidak sepanik orang-orang yang terkena luka berbahaya dan mengancam nyawa. Meski kesakitan, dia hanya diam dan sesekali meringis menahan sakit.

Aku tidak boleh diam mematung, aku tidak boleh diam jika ada pasien yang membutuhkan pertolongan. Terlebih mereka semua memaksaku untuk melakukannya. Setidaknya aku bisa melakukan pertolongan pertama.

"Ambilkan saya kain kasa. Kalau nggak ada, ambilkan handuk saja," kataku sambil naik ke atas tempat tidur. Dan duduk bersimpuh di samping pria itu. Wajahnya terlihat biasa saja, seperti sudah terbiasa dengan luka seperti ini.

Bu Atun memberikan beberapa handuk padaku. Segera kubalut luka itu dengan menekan pembuluh darah yang lebih dekat dari jantung agar bisa menghentikan pendarahan. Yang terpenting aku harus bisa menghentikan pendarahannya lebih dulu, sambil berpikir keras bagaimana aku membujuk mereka agar pergi ke rumah sakit saja.

Melihat luka dan peluru yang bersarang di lengan itu, penembakan di lakukan dari jarak dekat. Sebab semakin besar kecepatan peluru, maka makin parah luka dan kerusakan jaringan. Aku tidak tahu ini peluru jenis apa.

Pendarahannya mulai berhenti.

"Peralatan apa yang kamu butuhkan? Biar kami persiapkan." Lelaki setengah baya bicara dan menatapku penuh pengharapan.

"Maaf, pasien butuh di evakuasi segera. Ini butuh dokter bedah untuk mengeluarkan proyektil pelurunya. Saya hanya bisa melakukan perawatan tapi tidak bisa mengeluarkan timah panas ini. Segera ambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena korban bisa saja keracunan timah." Semoga mereka paham dengan penjelasanku.

"Kamu perawat, tentu kenal dengan banyak dokter. Suruh dokter bedah datang ke sini. Aku akan membayar berapa pun yang dia minta." Lelaki bernama Hendri bicara padaku. Kami berpandangan dengan jarak yang sangat dekat.

"Akan saya antarkan Anda ke dokter bedah."

"Aku tidak ingin ke rumah sakit."

"Ini bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah pribadinya." Aku tak punya pilihan selain mengatakan hal itu. Walaupun mungkin aku akan di marahi oleh Pak Nanda karena melibatkan beliau dengan urusan yang tidak jelas begini.

"Di mana rumahnya?"

"Di pinggiran kota."

"Antarkan kami." Lelaki setengah baya itu bicara padaku kemudian menyuruh para anak buahnya untuk segera membawa putranya keluar.

Aku tidak bisa berkutik lagi selain mengikuti mereka. Jelas saja Pak Nanda akan marah padaku. Ya Allah, peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi.

Tergesa-gesa aku mengikuti mereka yang memapah lelaki muda menuruni tangga. Meski terluka parah, dia memilih berjalan kaki saja untuk keluar rumah.

Mobil melaju kencang membelah pekat malam. Aku duduk di samping pria berbadan besar yang sedang mengemudi. Sesekali aku mengarahkan sebagai petunjuk jalan. Malam ini aku pasrah. Aku mempertaruhkan tentang hidupku. Hidup yang tak lagi berarti sejak perpisahan dengan laki-laki yang telah membersamaiku selama sepuluh tahun ini.

Kami telah sampai di depan sebuah rumah bercat warna putih. Aku segera turun dan menghampiri seorang satpam yang sedang memperhatikan kami. Sebenarnya laki-laki muda itu tidak mengizinkan aku untuk masuk dan bertemu dengan dokter Nanda. Karena dokter bedah itu sedang istirahat. Tapi aku memaksa dan lelaki berpakaian warna putih biru itu masuk ke dalam. Tidak lama kemudian seorang pria berperawakan tinggi keluar menemuiku.

Aku mengajak dokter Nanda duduk dan menceritakan maksud kedatanganku. Dokter berkacamata itu terbelalak kaget. Namun dengan tenang dokter berusia empat puluh lima tahun itu menyarankan agar aku mengajak mereka langsung ke rumah sakit.

"Selamat malam, Dokter." Tiba-tiba saja Ayah dari pria yang tertembak itu berada di antara kami. Pria yang bernama Darmawan. "Tolong putra saya. Tolong keluarkan saja peluru itu dari lengannya. Saya akan membayar berapa pun itu."

"Ini bukan soal bayarannya. Tapi saya tidak bisa melakukannya di rumah. Mari kita ke rumah sakit."

Lelaki itu menolak. Bahkan dia memerintahkan anak buahnya untuk membawa anaknya turun. "Tolong keluarkan pelurunya saja, biar perawatannya nanti akan dilakukan oleh Mbak ini." Pak Darmawan memandang ke arahku. Sekali lagi aku hanya bisa menatapnya saja. Lelaki itu sungguh pemaksa.

Dokter Nanda tidak bisa mengelak sepertiku. Beliau menjelaskan kemungkinan terburuk ketika dia akan melakukan tindakan mengeluarkan peluru itu. Bisa jadi akan terjadi pendarahan, infeksi, kerusakan jaringan. Untuk meminimalisir butuh persiapan yang tepat.

"Lakukan saja, Dokter. Saya percaya dengan, Anda!"

Pada akhirnya aku membantu dokter Nanda dengan perlengkapan seadanya. Beliau melakukan prosedur kilat. Tanpa adanya ronsen. Padahal untuk mengeluarkan sebuah peluru harus menjalani banyak prosedur. Terutama juga butuh alat ultrasonografi untuk mempermudah mencari tahu letak peluru. Namun karena semua alat itu tidak tersedia di rumahnya. Maka Dokter Nanda memeriksa fisik pasien dengan perlengkapan seadanya. Beliau bisa menilai jenis senjata api apa yang melukai pria itu. Beliau juga bisa membaca kecepatan peluru dan jarak tembakan yang di duganya tidak dari jarak yang jauh. Aku tahu kalau dokter ahli bedah ini juga menyimpan banyak pertanyaan dan rasa penasaran. Namun baginya sekarang, cepat melakukan pekerjaannya dan orang-orang itu pergi dari rumahnya.

Satu jam yang melelahkan. Akhirnya peluru itu bisa keluar dari bahu pria bernama Hendri. Daya tahan tubuhnya cukup kuat sehingga tak membuat Hendri pingsan. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan peristiwa menakutkan seperti ini.

Dokter Nanda memperlihatkan peluru yang di letakkan di atas tisu padaku. "Ini peluru apa, Dok?" tanyaku lirih.

"Entahlah, ada tulisan FN kalau kamu melihatnya dengan jeli."

Aku enggan memperhatikannya. Aku lebih fokus pada dokter Nanda yang sedang menulis resep di sebuah kertas biasa tanpa di tanda tangani olehnya. "Ini obat terbaik semua. Semoga apotek mau memberikannya tanpa ada surat keterangan jelas dari saya," ucap dokter Nanda sambil memberikan catatan itu pada Pak Darmawan. Tentunya dokter yang kukenal itu tidak mau menanggung resiko apapun jika ternyata pria yang ditolongnya ternyata residivis atau ODP.

Dokter Nanda serius memandangku. "Mungkin malam ini dia akan demam. Jaga suhu tubuhnya agar tetap hangat dan menyelimutinya. Jangan sampai dia mengalami hipotermia yang bisa mengancam nyawanya."

"Ya, Dok."

"Hati-hati, Suster!" pesannya padaku. Aku mengangguk dan pergi bersama mereka.

Pak Darmawan menurunkan seorang anak buahnya di depan sebuah apotek. Kami menunggu karena antrian sangat panjang. Hendri yang lengannya terbalut perban hanya diam saja sambil memejam.

Lelaki kerempeng di sana tampak sedang menjawab pertanyaan dari petugas apotek. Namun akhirnya obat berhasil di beli.

"Kamu rawat Hendri sampai kondisinya pulih. Aku akan membayarmu mahal," kata Pak Darmawan ketika kami sudah sampai di rumahnya. Kamar yang tadi penuh bercak darah sekarang sudah bersih, rapi, dan wangi.

Lelaki berbadan kekar itu membantu bos mudanya berganti pakaian. Sedangkan aku menunggu di luar sambil mempersiapkan obat yang harus di minum. Sementara Bu Atun membawakan nampan berisi makanan dan air minum.

"Besok saya shif siang, Pak."

"Jam berapa?"

"Jam dua. Sebelum jam dua saya harus sampai di rumah sakit."

"Anak buah saya akan mengantar dan menjemputmu. Mereka akan membawamu kembali ke rumah ini."

"Nggak usah, Pak. Saya akan berangkat sendiri seperti biasa. Daripada nanti saya jadi pusat perhatian."

"Tapi kamu harus janji akan datang ke sini?"

Aku mengangguk pada pria yang sebenarnya terlihat baik itu. Tapi entahlah, karena apa yang terjadi terlihat sangat misterius.

"Bu Atun kasih makan dulu buat Mas itu. Dia harus makan setelah kehilangan banyak darah. Setelah itu saya akan menyuruhnya minum obat."

Bu Atun mengangguk dan bicara dengan pria itu. Aku memperhatikannya dari ambang pintu kamar. Setelah beberapa saat membujuk dan tidak berhasil, aku mendekat. "Makanlah, Anda harus minum obat," bujukku.

"Mana obatnya?"

"Anda harus makan dulu, karena ini obat keras. Lagian Anda juga tidak mendapatkan infus jadi tidak ada cairan yang masuk."

"Aku bisa minum obat tanpa makan," paksanya.

"Jangan keras kepala. Saya tidak ingin di salahkan jika terjadi sesuatu dengan, Anda."

"Aku tak akan mati semudah itu. Mana obat yang harus kuminum."

Kusentuh kening pria yang mulai menggigil. Dan benar, suhu tubuhnya mulai naik. Kuambil piring dari tangan Bu Atun. "Cepat makan dan saya akan memberikan Anda obat. Suhu tubuh Anda mulai panas. Sebentar lagi pasti demam." Terpaksa aku menyuapinya. Namun, dia tetap enggan membuka mulut. Beberapa kali kucoba tapi dia tetap enggan makan. Kalau anak kecil aku bisa membujuk dan mengajaknya bercanda biar mau makan, tapi ini ....

Piring kukembalikan pada Bu Atun. "Cari perawat lain saja. Saya mau pulang karena waktunya saya harus istirahat. Besok saya kerja," ucapku karena emosi.

"Tunggu, Nona," lelaki berbadan kekar yang sejak tadi berdiri di dekat jendela kamar itu menahanku yang hendak melangkah.

Dan dari arah pintu kamar, masuklah Pak Darmawan. "Hendriko, tak usah membantah. Apa kamu ingin mati?"

"Itu kan yang diinginkan oleh anak kesayangan Papa?" Hendri menjawab dengan sinis. Dari sini aku bisa menangkap kalau mereka sedang terlibat konflik dalam keluarga.

Anak kesayangan? Bukankah mereka berarti bersaudara? Kenapa antar saudara harus bertikai dengan menggunakan senjata api begini? Apa ini alasan mereka tidak mau ke rumah sakit yang akan berujung pengusutan oleh pihak aparat?

Aku yang merasa lelah dan mengantuk tidak menghiraukan perdebatan papa dan anak. Aku diam memandang kamar yang minim perabot dan terlihat maskulin.

Akhirnya pria muda itu mau makan meski tidak dihabiskannya. Kini giliranku memberikan beberapa obat yang mengandung pereda nyeri, antibiotik, dan untuk meredakan demam.

"Jaga dia malam ini, Suster. Orangku akan membawakan ranjang lipat ke ruangan ini," ucap Pak Darmawan.

"Biar saya tidur di luar saja, Pak."

"Kamu harus menjaganya. Malam ini aku akan memberikan sebagian gajimu. Berapa nomer rekening kamu?"

"Maaf, saya nggak ingat."

"Baiklah, saya akan memberikan uang cash."

"Nanti saja setelah pekerjaan saya di sini sudah selesai, Pak," tolakku.

"Oh ya, biar Bu Atun menemani saya malam hari di sini!" pintaku.

"Baiklah." Pak Darmawan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menyiapkan tempat tidurku di kamar ini.

"Bu Atun, ambilkan pakaian ganti untuk Suster ...." Kalimat itu mengambang dan Pak Darmawan memandangku. "Siapa namamu?"

"Panggil saja saya Embun."

"Oke. Ambilkan pakaian ganti untuk Embun." Setelah memerintahkan ART-nya, lelaki itu memandang putranya sejenak lantas ke luar ruangan.

Beberapa orang laki-laki masuk sambil membawa sebuah sofa yang kemudian diubah menjadi tempat tidur. Diletakkannya ranjang instan itu mepet dekat dinding. Aku akan menidurinya bersama Bu Atun.

Tak lama kemudian wanita itu datang sambil membawakan pakaian untukku. Sebuah tunik dan celana panjang. Wangi dan terlipat rapi. Entah milik siapa. Kalau bajuku tidak ternoda darah, aku tidak akan memakainya.

"Mbak, baju ini mungkin kebesaran sedikit. Tapi bisa Mbak pakai untuk sementara. Biar bajunya Mbak yang terkena darah besok saya cuci." Wanita itu memberikan baju itu padaku.

"Nggak usah, Bu. Saya akan mencucinya sendiri."

Benar, baju itu kebesaran di tubuhku. Aku menggunakan kamar mandi yang ada di ruangan itu untuk berganti pakaian.

* * *

Suara Azan Subuh di kejauhan membuatku terbangun. Rasanya berat sekali mata ini terbuka dan tubuh bangkit dari pembaringan. Mungkin baru satu setengah jam aku tidur setelah semalaman begadang. Pria itu mengalami demam tinggi hingga menggigil. Beberapa selimut aku tangkupkan di tubuhnya yang jangkung. Seperti yang dikatakan dokter Nanda, hampir saja Hendri mengalami hipotermia.

Aku pinjam mukena pada Bu Atun. Aku Salat di kamar itu juga karena kamar Bu Atun masih ada Pak Wahab, lelaki yang menjemputku tadi malam.

Meski keadaannya belum benar-benar membaik, tapi panas tubuhnya sudah menurun. Hendri bahkan sudah bisa berdiri siang itu, sepertinya dia memaksakan diri sekali. Di cegah pun percuma, dia pria yang keras kepala.

"Saya harus pulang karena sebentar lagi saya masuk kerja," ucapku setelah memberikan obat yang harus diminum siang itu.

"Pulang jam berapa?" tanyanya datar.

"Jam sepuluh malam."

"Biar dijemput oleh sopirku."

"Nggak perlu."

* * *

Komen (8)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
tambah penasaran
goodnovel comment avatar
Christina Petol Se
terima kasih, ceritanya bagus Dan menarik.......
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
apakah Hendri ini pelabuhan cinta Embun yg selanjutnya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status