Share

Part 5 Namamu Siapa?

Usai mencuci dan menjemur pakaian. Aku merebahkan diri di ranjang. Saat begini baru kurasakan tubuh yang terasa letih. Aku menatap langit kamar dengan plafonnya yang baru di cat oleh ibu kos beberapa minggu yang lalu. Wanita pemilik kosan yang sangat baik padaku. Dulu Yani yang membantuku mencari kosan setelah putusan sidang cerai di pengadilan.

Ingat cerai membuatku ingat Mas Fariq. Sejak semalam pesannya belum aku buka. Ponsel di meja sebelah tempat tidur kuambil dan membuka aplikasi pesan.

[Embun, bisa kita bertemu?]

[30 hari lagi masih ada kesempatan untuk kita membicarakan hubungan ini.]

Tidak kuteruskan lagi membaca deretan pesan selanjutnya. Rujuk, itulah intinya yang dia inginkan. Kalau aku sanggup hidup di madu, tentu saja aku tidak akan mengajukan gugatan cerai. Jika aku bersedia rujuk, aku akan jadi istri keduanya. Aku tersenyum simpul.

Sepuluh tahun berakhir sia-sia. Aku terpaksa merelakan sebuah hubungan yang pernah kuperjuangkan. Sampai detik perpisahan kami, orang tua Mas Fariq sangat baik padaku? Tapi, benarkah mereka baik? Jika baik tentu menyetujui usulku untuk melakukan program bayi tabung. Mereka menentang keras metode In vitro fertilization (IVF).

Katanya program ini adalah program yang di ciptakan manusia, tentu banyak gagalnya. Sementara yang secara alami saja kami belum berhasil melakukannya. Berapa ratus juta yang akan melayang sia-sia, belum lagi segala resikonya. Pikiran mereka belum terbuka. Yang dipikirkan hanya kegagalannya saja.

Mas Fariq sendiri tidak begitu mempermasalahkan soal anak. Namun sikapnya yang demikian justru membuatku berada dalam tekanan. Karena orang tuanya tak lagi membujuk dia, tapi malah menuntutku untuk menerima Karina sebagai madu. Wanita yang dengan senang hati menerima lamaran mereka untuk putranya. Umurnya dua puluh enam tahun. Anak seorang pengusaha rekan bisnis dari mantan mertuaku.

Sekarang baru aku sadar, dengan sikap manisnya mereka memang sengaja ingin menyingkirkan aku dari hidup putranya.

Baru saja netraku memejam, dering panggilan masuk membuatku kembali meraih ponsel. Di layar hanya tertera angka saja tanpa nama. Apakah Bu Salwa yang menghubungiku?

"Halo, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dadaku berdebar ketika mendengar suara itu. Ternyata Mas Fariq yang menelepon menggunakan nomor lain. Aku segera bangun dari pembaringan.

"Embun, aku di luar kosanmu. Bisa kita bertemu sebentar."

Aku bangkit menuju ke arah jendela kaca. Di jalan depan terparkir mobilnya. Rupanya dia masih bisa mengingat dengan baik jadwal kerjaku.

"Embun, sebentar saja."

"Enggak, Mas. Untuk apa ketemu?"

"Embun, keluarlah. Please!" Suara pria itu bergetar.

Aku masih mematung dari balik gorden jendela dan melihat dia yang ada di dalam mobil itu. Kendaraan yang menjadi saksi kebersamaan kami beberapa tahun terakhir ini.

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa. Sebentar lagi aku harus pergi. Aku ada pekerjaan menjaga orang sakit di luar jam kerjaku."

"Di mana?"

"Mas, nggak perlu tahu."

Kudengar dia membuang napas kasar. Hening menjadi jeda pembicaraan kami. Cukup lama kami saling diam dan hanya saling mendengar deru napas masing-masing. "Mas," panggilku.

"Ya, aku akan menunggumu keluar."

"Please, pergilah. Hubungan kita telah selesai. Biarkan aku meneruskan kehidupanku dengan tenang. Begitu juga dengan Mas. Jangan jadikan aku pecundang di antara Mas dan Karina. Please, tolong aku Mas." Selesai bicara segera kumatikan ponsel. Dan benda itu terus berdering berkali-kali hingga dia pergi satu jam kemudian. Dia tinggalkan pekerjaannya hanya karena ingin menemuiku.

Dengan kondisi kami saat ini, rasanya merubah hubungan menjadi persahabatan juga tidak mungkin. Itu hanya akan membuat kami sama-sama susah pergi dari kisah lama kami. Dia punya kehidupan bersama istri barunya. Sedangkan aku akan melanjutkan hidup, yang entah akan bermuara ke mana.

Aku tak lagi bisa tidur. Pikiranku mengembara ke mana-mana. Sepuluh tahun, terlalu banyak kenangan kami yang tak mudah dihilangkan begitu saja.

Jam dua belas siang aku bersiap-siap lagi untuk pergi ke rumah Pak Darmawan. Kali ini aku akan pergi mengendarai motor sekalian langsung memakai baju kerja. Kendaraan yang kubeli setelah bercerai. Mobil yang dibelikan Mas Fariq kala itu, aku tinggalkan. Yani membodohkan aku kenapa tidak mau membawanya. Toh itu juga hakku. Namun mengingat Mas Fariq telah membiayai operasi adik tiriku dua bulan sebelum kami bercerai, membuatku tahu diri dan tak perlu membawa apapun dari sana selain sejumlah uang yang di transfer Mas Fariq di rekening pribadiku.

"Itu mobilmu, bawalah," perintahnya kala itu. Namun aku datang tak membawa apa-apa, pergi pun juga begitu.

Ketika membuka pintu kamar, ada bungkusan yang tergantung pada handle pintu. Satu kotak nasi beserta minumnya. Dari gambar yang ada, ini logo dari rumah makan langganan kami dulu. Aku tidak menyadari dia masuk ke dalam pagar dan meletakkannya di pintu.

Aku membawa bungkusan itu pergi. Ketika sampai di rumah Pak Darmawan, kubiarkan saja benda itu tergantung di motor dan aku masuk ke dalam lewat pintu samping.

Bu Atun tersenyum ketika melihatku datang. "Mas Hendri sudah makan, Bu?" tanyaku.

"Belum, Mbak. Ini masih saya siapkan untuk makan siangnya." Bu Atun menata makanan di nampan.

"Biar saya yang membawanya naik, Bu."

"Jangan, Mbak. Tugas Mbak hanya merawat lukanya, biar saya yang meladeni makannya."

Akhirnya aku mengikuti Bu Atun menaiki tangga. Di dalam kamar, kulihat pria yang terluka itu masih posisi seperti yang aku tinggal tadi. Menatap layar laptop. Tapi aku kaget saat melihat perbannya di basahi darah segar. Bu Atun kembali turun setelah meletakkan nampan di atas meja.

"Apa yang Anda lakukan? Kenapa lukanya kembali berdarah?" tanyaku sambil menyentuh lukanya. Bahkan hem warna abu-abu yang dipakainya juga kena darah.

"Kamu lihat apa yang sedang aku lakukan sekarang kan?" Dia menunjuk layar laptopnya. Tapi aku yakin dia tadi habis melakukan sesuatu. Tidak mungkin luka yang sudah mulai membaik tiba-tiba kembali berdarah.

Aku mengambil perlengkapan di atas meja. "Lepas bajunya, biar saya ganti lagi perbannya."

Dengan tangan kiri dia melepaskan kancing-kancing bajunya. Dan membiarkan baju itu jatuh ke lantai. Aku sudah terbiasa dengan kondisi pasien yang shirtless ketika merawatnya, tapi kali ini menjadi tidak biasa saat aku tidak berada di bangsal rumah sakit. Namun di kamar sebuah rumah mewah dan hanya kami berdua berada di sana.

Cepat-cepat aku lakukan pekerjaanku, membersihkan darah di lengan itu dan mengganti perbannya. "Kemarin sudah saya bilang kalau luka tembak bisa menyebabkan berbagai resiko, termasuk infeksi dan pendarahan hebat. Bisa juga komplikasi. Maaf, Anda harus memperhatikan ini. Istirahatlah dulu sampai luka ini sembuh," omelku jengkel sambil tanganku terus bekerja.

"Kamu melakukan pekerjaan di bayar di sini. Jadi lakukan saja tugasmu," jawabnya yang membuatku bertambah jengkel. Dia layaknya beruang kutub.

"Ya, saya memang di bayar. Tapi seorang perawat akan lebih bahagia jika pasien yang di tanganinya lekas sembuh. Dan saya nggak perlu lagi bolak-balik datang ke sini," ujarku penuh penekanan. Ketika itulah mata kami saling berpandangan. Aku kembali fokus pada lukanya, tatapan mata yang dinaungi alis tebal itu sungguh tajam dan dalam.

Beberapa saat kemudian lukanya sudah kembali tertutup rapi. Ku kembalikan kotak perlengkapan ke tempat semula.

"Tolong ambilkan baju gantiku di lemari," pintanya.

Aku membuka lemari pakaian. Dan isi lemari itu tampak gelap. Semua baju di sana, kaos, hem, kemeja, celana, bahkan beberapa jaket kulitnya di dominasi warna gelap. Hitam, biru dongker, dan beberapa warna abu-abu. Bagaimana memakainya jika semua sama begini?

Kuambil hem warna biru dongker. Aku juga membantunya berpakaian. Setelah itu aku mengambilkan makan siangnya di nampan.

"Makan dulu biar saya siapkan obatnya," ujarku sambil meletakkan nampan di depannya. Hingga aku kembali setelah mengambil obat pria itu belum juga mulai makan.

"Kenapa?" tanyaku ketika melihatnya diam.

"Mana sendoknya?"

* * *

Selamat membaca :-)

Komen (29)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
duh jadi tambah penasaran
goodnovel comment avatar
Mariati Saputri Infinesse
ceritanya bagus tapi harus pakai koin
goodnovel comment avatar
Sri Widiyanti Handayani
cerita bagus sayangnya harus beli koin,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status