Share

Baiknya Kebangetan

Di tengah perjalanan pulang Asmi memintaku berhenti sebentar di depan minimarket.

"Neng, masuk sendiri aja Aa nunggu di sini," kataku sambil duduk di kursi yang biasa ada di depan minimarket.

Entah apa yang akan dibeli istriku, kubiarkan saja, aku tak mau banyak tanya juga, takutnya Asmi merasa risih, kasihan.

Sekitar 15 menit kemudian, Asmi keluar dengan 2 jinjing plastik besar berisi belanjaan di tangannya. Sontak keningku mengerut dan cepat-cepat bangkit untuk membawakan plastik itu.

"Neng, belanja apa? Kok banyak banget."

"Cuma keperluan dapur sama cemilan A, belanja bulananlah istilahnya."

Aku pun menaruh plastik itu di depan motorku. Tapi sebelum berangkat aku kembali bertanya.

"Belanja segini banyak emang Neng ada uang?

"Ya ada atuh A, makanya bisa belanja."

Sebetulnya aku sedikit heran, darimana sih uang Asmi itu? Tadi Bapak bilang Asmi nyumbang 5 juta, sekarang Asmi belanja banyak banget, gak mungkin kalau hanya dari uang gajiku, soalnya gajiku itu tidak seberapa, aku hanya jadi kurir sebuah ekspedisi sehari-harinya.

Ah ya udahlah ya, biar nanti aku tanyain aja di rumah. Gumamku dalam hati.

Kami sampai di kontrakan petak yang sudah kami sewa sejak setelah kami menikah bulan lalu.

Karena penasaran sejak tadi, segera aku mengajak Asmi duduk di kursi untuk mengintrogasinya.

"Neng, tadi kata Bapak Neng nyumbang 5 juta. Sekarang Neng belanja banyak. Kalau boleh Aa tahu Neng uangnya dari mana?"

"Dari Aa atuh, 'kan tiap hari Aa kasih uang. Kalau yang disumbangin mah itu dari tabungan, Neng," jawabnya sambil sibuk mengeluarkan barang belanjaan itu ke atas meja.

"Emang Neng punya tabungan gitu? Kenapa harus disumbangin sih Neng, 'kan bisa buat beli baju Neng, sayang loh 5 juta."

"Astagfirullah Aa, nyumbang buat orang tua masa gitu, gak apa-apa atuh 'kan biar berkah, kapan lagi coba kita punya kesempatan nyumbang? Lagipula 'kan Neng ada uangnya, kecuali kalau gak ada. Kalau soal baju mah gampang, banyak di toko kalau mau mah," jawabnya, aku terdiam mencerna perkataan istriku.

Ya memang benar apa yang dikatakannya itu, tapi apa perlu istriku sebaik itu? Nyumbang hajat 'kan gak perlu gede-gede, Kak Alfa sama Mas Fatih yang katanya orkay aja cuma nyumbang sejuta, masa iya Asmi nyumbang sampe 5 juta, apalagi katanya Asmi juga nyumbang beras sama kambing dari desanya. Sebenernya keluarga Asmi orang kaya apa bagaimana sih? Aku jadi penasaran.

"Ya udah ya udah, tapi nanti kalau Neng punya uang lagi meningan disimpen aja buat keperluan Neng, apa kek gitu, pergi ke salon atau perawatan biar kinclong, biar gak dihina-hina terus, Neng."

"Emang Aa mau Neng kinclong?"

"Ya maulah, Neng! Biar begini Aa sayang sama Neng, tapi karena Aa kere, makanya Aa belum bisa beliin Neng skincare, pergi ke salon, beli baju dan lainnya, coba kalau Aa udah banyak uang Neng bakal Aa make over sampe pangling, sampe mereka kaget lihat Neng dan gak hina-hina lagi. Makanya Neng, kalau ada uang mending buat Neng aja ngapain mikirin orang lain," ucapku serius.

Tapi Asmi malah tertawa.

"Ih serius, Neng."

"Tapi percuma kinclong dan cantik kalau hati dan akhlaknya jelek A, wajah mau dipoles secantik apapun ia akan tetap ditinggalkan dan jadi tanah tapi uang yang disedekahkan untuk menyenangkan hati orang lain akan jadi bekal buat kita di akhirat nanti."

Waduh bener juga, tapi kan-ah ya udahlah ya, istriku memang begitu, baik dan sabarnya keterlaluan.

"Aa kenapa sih tadi harus marah-marah di rumah Bapak?" tanya Asmi kemudian sambil menyenderkan bobotnya ke kursi.

"Habis Aa kesel Neng, masa iya cuma Neng yang gak dikasih bahan seragam, tega bener emang Kak Alfa sama Mbak Andin itu."

"Gak apa-apa atuh, A! Biar Neng gak pake seragam 'kan Aa mah nanti pake, nanti Aa aja yang ikut difoto Neng mah jangan."

"Mana bisa Neng, gak mau Aa kalau kayak gitu. Mana tinggal dua hari mana bisa jahit secepat itu."

"Sabar A, kalau Aa marah-marah terus nanti bisa kena penyakit serangan jantung loh."

"Heh yang bener ah?"

"Iya bener A, selain sakit jantung, di dekat orang yang sedang marah itu juga suka banyak setannya."

"Heh nakut-nakuin aja ah. Neng, dong salah satunya."

"Ya bukan Neng juga atuh A, masa Neng disamain sama setan ih," protesnya sambil mencubit perutku.

Akhirnya kami tertawa sampai terpingkal-pingkal di sana.

_____

Selepas Isya, aku rebahan di kasur, sementara istriku masih sibuk memijit ponsel androidnya di sampingku, entah apa yang sedang Asmi lakukan di ponselnya itu, akupun tidak tahu.

Tapi jika dilihat dari gerak-geriknya yang serius banget saat mengetik, aku curiga Asmi lagi ngegosip di grup WA nya. Hah biarlah namanya juga emak-emak.

Akhirnya aku memilih tidur lebih dulu.

Pukul sebelas malam tak sengaja aku terbangun, kulihat Asmi masih saja memegang ponselnya itu, sekarang ia malah sampai harus memakai kacamata segala, entah biar apa akupun bingung, aku akhirnya memaksa diri untuk duduk dan mengucek mata.

"Neng, belum tidur apa?"

"Belum A, tanggung."

"Astagfirullah Neng, gosipin apa sih sampe tanggung begitu?" Aku bertanya serius.

"Ih Aa, siapa juga yang lagi ngegosip, A."

"Lah terus?"

"Neng lagi kerja, tapi ini udah kok, mata Neng udah gak kuat, kopi sampe abis dua gelas," katanya.

Aku melirik ke arah cangkir kopi yang ada di atas nakas, lengkap dengan beberapa cemilan ringan.

Ampun deh pantas aja istriku itu gemuk, ya semalaman dia ngemil sama ngopi terus rupanya, tidak heran kalau tadi dari minimarket Asmi belanja cemilan banyak banget.

Aku menggeleng kepala dan kembali tidur di sampingnya. Tapi sebelum kembali terpejam aku sempat menatap Asmi sebentar.

Tak terasa sudut mataku basah, entah kenapa wanita di hadapanku ini sangat baik dan penyabar, walaupun begitu banyak kekuranganku dia tak pernah mengeluh.

Kadang aku merasa heran kenapa Asmi selalu terlihat bahagia selama ini setelah ia menikah denganku walau aku hanya seorang bujang lapuk karena Ibu terlalu pemilih.

Ya benar, ibu yang selama ini menentukan jodoh anak-anaknya, sialnya setiap aku membawa gadis pujaanku selalu ditolaknya dengan berbagai alasan, alhasil gadis-gadis itu akhirnya kapok dan tidak mau berumah tangga denganku karena katanya takut ibu mertuanya nanti galak.

Sama halnya dengan Asmi, saat Bapak membawanya ke rumah, Ibu sangat menolak mentah-mentah.

"Apaan sih, Bapak cari jodoh buat Hasan kok begini amat? Yang bagusan dikit kenapa sih?" katanya waktu itu.

"Sudah, kamu gak usah ikut campur lagi. Mau sampai kapan Hasan membujang? Usianya udah mau kepala 4, belum lagi Hanum ngebet nikah 2 bulan lagi, mau kamu Hasan dilangkahi adiknya?"

Terpaksa akhirnya Ibu pun menerima Asmi, dan yang membuat kami akhirnya menikah tentu karena kesabaran Asmi juga, andai dia tidak sabar seperti gadis-gadis sebelumnya mungkin sekarang perjodohan ini sudah batal lagi.

Tapi sayang meski sabar sekali istriku, Ibu selalu membeda-bedakan Asmi dengan menantu lainnya. Entah kenapa Ibu seperti tak suka sekali padanya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Zulkifli
kasihan ASMI selalu kena bully
goodnovel comment avatar
Kaka Arven
seruuu sngat da crtax nii
goodnovel comment avatar
Mar Jun
mirip gw cuman gw belum dapat jodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status