Share

Bab 2

Bab 2

Tok tok tok

"Assalamualaikum!"

Siti mengetuk pelan pintu sebuah rumah yang berada di kompleks perumahan mewah. Beberapa orang yang menangkap keberadaan wanita itu beserta anaknya mengernyitkan dahi, terlebih karena penampilan kotor dan basah kuyup Siti.

Beberapa menit menunggu tak juga ada jawaban, Siti pun kembali mengetuk dan berucap salam, "Assalamualaikum!"

"Bu, ini rumah siapa?" Putri yang sudah terlihat sangat capek pun bertanya dengan lirih pada sang ibu.

"Ini rumah Tante Eva, Sayang?" jawab Siti sambil tersenyum.

Eva merupakan sepupu Siti, keponakan dari mendiang ibu Siti yang telah wafat. Karena di kota hanya ada Eva yang merupakan sanak saudara Siti, maka dia hanya bisa menghubungi wanita tersebut.

"Waalaikumsalam!" seru seseorang dari dalam rumah yang diikuti langkah kaki mendekat.

Pintu rumah berwarna coklat tua itu dibuka. Seorang perempuan dengan dandanan yang sangat cantik pun keluar. Terlihat di belakang perempuan tersebut ada lelaki berkacamata yang mengikuti.

Awalnya, ekspresi perempuan yang membuka pintu itu terlihat ramah dan senang. Akan tetapi, begitu melihat siapa yang datang, raut wajahnya pun berubah. "Siti?" panggil perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Eva. "Kamu sama siapa?" tanya Eva sambil celingukan seperti mencari sesuatu di belakang Siti.

"Hanya sama Putri saja, Mbak," jawab Siti dengan sebuah senyuman tak berdaya.

Jujur saja, Siti tahu kenapa ekspresi Eva langsung berubah masam ketika melihat dirinya. Walau mereka memiliki hubungan keluarga, tapi sebenarnya hubungan Eva dan Siti tidak terlalu baik.

Setelah ayah dan ibu Siti meninggal karena kecelakaan, dia berakhir tinggal bersama keluarga Eva. Walau tumbuh besar bersama, tapi Siti selalu mendapatkan pencapaian lebih di sekolah dibandingkan Eva. Hal itu berakhir membuat Eva selalu menjadi yang kedua apabila dibandingkan dengan Siti.

"Kamu tuh nggak bisa apa kayak Siti? Udah baik, pinter, manis! Nggak kayak kamu, cuma bisa bikin malu Ibu!" tegur ibu Eva dulu saat putrinya mendapatkan ranking paling akhir di sekolah.

Selalu menjadi yang kedua membuat Eva sangat membenci Siti. Wanita itu bahkan lebih memilih untuk berpura-pura tidak mengenal Siti kalau bertemu.

"Lalu suami kamu mana?" Eva menyelidiki lebih lanjut dengan kedua tangannya dilipat di dada.

Siti pun kemudian menceritakan semua yang terjadi antara dia dan Adi. Berharap sekali jika sepupunya itu akan simpati dan mau memberikan tumpangan untuk sementara waktu. Saat itu Dirga, suami Eva, yang ikut mendengarkan semuanya dengan sedikit cemas.

"Jadi, bolehkah untuk sementara saya dan Putri tinggal disini, Mbak?" tanya Siti dengan takut-takut, karena sebenarnya dia sudah tahu bagaimana sifat Eva.

"Eh ... enak aja! Kamu kira rumah aku ini penampungan ya? Nggak deh nggak! Sudah pergi saja kamu dari sini!" ucap Eva sambil mengibaskan tangannya. Benar sekali ternyata Eva pun tak mau menerima Siti.

"Tolong Mbak. Hanya untuk sementara saja. Saya sudah tak punya uang lagi ini. Jika tidak di sini lalu saya harus kemana lagi, Mbak?" pinta Siti.

"Emang aku pikirin?! Yang jelas aku nggak akan nerima kamu di rumah ini. Sekarang juga pergi dari sini!" Eva masih terus meradang.

Mendengar suara Eva yang amat lantang itu, Putri pun menjadi takut dan langsung memeluk ibunya. Gadis kecil itu trauma dengan pertengkaran antara orang tuanya tadi. Siti yang mengerti hal itu pun berusaha untuk menenangkan anaknya.

Tak sedikit pun ada rasa iba dari Eva melihat keponakannya itu. "Aku nggak mau ya nampung orang miskin dan nggak berguna seperti kamu! Hanya akan mengotori rumahku saja! Kalau mau makan gratis sana pergi ke panti!" geram Eva, merasa baru kali ini dia memiliki kesempatan merendahkan Siti. Puas sekali rasanya.

"Ma ... jangan begitu dong. Biar bagaimana pun Siti ini saudara sepupu kamu loh. Hari juga sudah mulai beranjak malam, kasihan kan itu si Putri juga. Biarkan mereka tinggal disini untuk sementara waktu," ucap Dirga, suami Eva, dengan lembut.

Dirga yang sejak tadi hanya terdiam pun akhirnya ikut bicara juga. Lelaki berwajah teduh itu pun tak tega melihat Siti dan juga Putri. Dia yang dari dulu ingin memiliki anak merasa iba dengan sosok gadis kecil di sisi Siti.

"Kamu nggak usah ikut campur deh, Pa! Aku nggak mau ya ada saudara miskin tinggal di rumah ini. Karena yang ada hanya akan membuatku malu saja. Gimana nanti jika teman-temanku tahu aku punya saudara macam dia? Jijik tahu nggak sih!" Eva berucap sambil menatap Siti dengan pandangan merendahkan.

Setelah menikahi Dirga, Eva memang telah merasa menang. Dirga merupakan seorang pengusaha, penghasilan per bulanannya jauh lebih besar dibandingkan dengan Adi, suami Siti. Demikian, tidak ada orang yang bisa membanding-bandingkan Eva dengan Siti lagi!

"Ma, kamu jangan ngomong gitu dong. Menolong orang disaat kesusahan itu kan banyak sekali pahalanya. Mereka itu wanita, jika keluyuran di luar malam-malam, apa kamu nggak takut terjadi sesuatu? Aku pun yakin semua teman kamu akan memuji kebaikan kamu nanti, karena kamu sudah nolong orang yang kesusahan." Dirga terus saja berusaha membujuk Eva.

Beberapa saat wanita berambut merah itu pun terdiam sembari masih menatap pada Siti dan Putri secara bergantian. Dia sangat enggan menampung keduanya, terlebih karena Dirga semakin membela Siti. Akan tetapi, sebuah ide pun masuk ke benak Eva.

"Oke! Aku akan menerima mereka tinggal di rumah ini," ucap Eva dengan wajah arogan.

"Terima kasih banyak, Mbak Eva! Terima kas--"

"Eits, tapi ada satu syarat," imbuh Eva dengan sebuah senyuman licik terpasang di wajahnya.

Tanpa berpikir dua kali, Siti langsung membalas, "Katakan saja apa syarat itu, Mbak. Saya akan melakukan semua asalkan saya dan anak saya punya tempat berlindung untuk sementara waktu." Dirinya sudah terpojok, tidak lagi memiliki pilihan.

Di dalam hatinya, Siti terus saja berdoa agar Tuhan melembutkan hati Eva. Begitu pula dengan Putri yang masih memeluk ibunya. Mereka menatap khawatir ke arah Eva yang saat ini menjadi satu-satunya harapan mereka.

Mendengar hal itu, Eva tertawa dalam hati. Dia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menang sepenuhnya dari Siti.

"Selama kamu tinggal di rumah ini, kamu harus melakukan semua pekerjaan rumah. Mencuci, mengepel, memasak, setrika, ya ... pokoknya semua deh! Tetapi itu tanpa ada gaji loh. Karena kamu kan numpang dan makan gratis di sini. Gimana? Mau?" Eva mengatakan syaratnya dengan enteng.

"Ma ... kamu ini apaan sih? Dia itu saudara kamu loh, jangan ngomong kayak gitu dong!" Dirga sontak tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh istrinya itu.

"Diam, ih!" balas Eva seraya menepiskan tangan Dirga yang sempat menahan lengannya. "Di dunia ini nggak ada yang gratis! Kalau nggak mau sih lebih baik sekarang juga kamu langsung angkat kaki dari rumah ini!" Eva mengabaikan tatapan tak suka suaminya itu, dia malah makin menatap sinis pada Siti dan Putri. "Gimana? Mau nggak? "

"Mau Mbak ... mau! Saya akan melakukan apa saja yang penting Mbak Eva memperbolehkan saya tinggal di sini." Siti berkata dengan penuh harap tanpa memikirkan apa pun.

"Oke, deal ya! Ingat, tapi ini pun tidak untuk waktu yang lama ya! Sudah cepat masuk sana!"

Akhirnya, mulai dari hari itu, Siti pun tinggal bersama dengan Eva. Hari-harinya dilalui dengan sang sepupu yang memperlakukan dirinya sebagai pembantu. Eva bahkan dengan sengaja meliburkan pembantunya untuk beberapa waktu karena ada Siti yang menggantikannya.

"Heh Siti! Kamu itu bisa kerja bener nggak sih? Masak jam segini sarapan belum juga siap? Jika kamu tidak bisa kerja, lebih baik segera pergi dari sini dan bawa juga anak kamu itu! Jangan hanya ingin gratisan saja!"

Masih juga pukul setengah tujuh pagi, tetapi Eva sudah mengomel untuk yang ke sekian kalinya. Sejak Siti datang memang wanita itu terus saja berusaha membuat masalah, tujuannya sih tentu saja agar Siti tak betah dan pergi dari rumah ini segera. Sudah berhari-hari wanita itu tinggal, tapi tidak juga menunjukkan tanda akan pergi. Perasaan kemenangan Eva telah lama buyar digantikan rasa kesal.

"Maaf, Mbak. Sebentar lagi semua pasti akan beres. Saya sudah mengerjakan sebaik mungkin." Siti menjawab dengan lirih sembari tangannya terus mengaduk sayur di panci.

"Ma ... kamu ini apaan sih, kok ngomel terus? Ini loh masih pagi, kenapa sudah bingung mau sarapan? Bukannya kamu juga tahu sejak pagi Siti itu sudah terus bekerja tanpa lelah, Putri pun juga membantu ibunya. Jangan keterlaluan deh, Ma!" Dirga menarik nafas dalam-dalam dengan kelakuan Eva.

Ini yang membuat hati Eva semakin hari semakin panas, suaminya terus-menerus membela Siti setiap kali dia menyuruh wanita itu melakukan sesuatu. Eva mendekati suaminya dengan tatapan penuh arti, "Bentar deh, kamu kenapa sih Pa selalu membela Siti? Jangan-jangan kamu sudah dipengaruhi oleh Siti ya?" Mata wanita itu pun membesar ketika menyadari suatu kemungkinan mengerikan. "Kalian berdua jangan-jangan main api di belakangku?!"

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Maisaroh
lanjut,,,menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
DR. Muhammad Ari Setiawan, SDP. (Bapak ARI)
kesabaran itu tanpa batas karena batasnya adalah liang lahat, tapi masalah pencairan atau penarikan atau apapun istilahnya jika bisa "Dipercepat" tentu akan semakin keren dan hebatnya lagi bisa buat hati ...... pembaca makin semangat dalam membaca
goodnovel comment avatar
Tom Rafter
...bagusss critanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status