Share

Bab 3

Bab 3

Perlu waktu setidaknya beberapa jam bagi Dirga untuk menenangkan Eva. Kemudian, wanita itu pun akhirnya memutuskan untuk pergi bersama temannya untuk menenangkan diri setelah diberikan uang jajan lebih oleh sang suami.

Untuk saat ini memang aman, tetapi Dirga pun takut jika nanti hal seperti ini akan kembali mencuat.

"Siti, tolong jangan masukkan ke hati semua yang dikatakan Eva ya? Kamu sudah tahu kan bagaimana sifat sepupumu itu? Jadi harap maklum ya," Dirga berkata dengan hati-hati.

Karena Eva sedang pergi arisan dengan teman-temannya, jadi Dirga pun berani mendekat pada Siti. Bukan untuk hal kurang ajar seperti yang sudah disangkakan oleh Eva, tetapi lebih pada simpati sesama manusia.

"Nggak apa-apa kok Mas Dirga, saya sudah paham dengan sifat Mbak Eva. Dibolehin tinggal di sini saja saya sudah sangat senang kok, Mas. Jadi semua ini seperti balas budi. Insyaallah saya ikhlas," Siti berucap lirih.

Dirga menarik nafas dalam-dalam demi mendengar ucapan Siti itu, "Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Semoga keikhlasan kamu membawa kebaikan nanti."

Setelah terdiam beberapa saat, Dirga pun melanjutkan, "Aku minta maaf dulu nih, Ti … tapi sepertinya aku harus lancang.“ Pria itu menghela napas. “Sejak kamu datang, aku dan Eva jadi lebih sering berantem, dan entah kenapa kok emosi istriku itu sering berubah-ubah dan nggak stabil. Agar tidak memperpanjang masalah, aku harus minta tolong kiranya kamu bisa segera pindah."

Jujur saja, Dirga merasa sangat tidak enak mengatakan hal tersebut kepada Siti, terutama karena sebenarnya wanita itu tidak melakukan kesalahan apa pun pada dirinya atau pun Eva. Akan tetapi, karena Eva pun tidak ingin mengusir Siti secara langsung karena mungkin takut dicaci orang tuanya kalau tahu nanti, Dirga pun terpaksa menjadi orang jahat yang mengambil langkah untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.

"Kiranya, kamu sudah punya rencana belum Ti habis ini mau ke mana?" tanya Dirga lagi ketika melihat Siti terlihat sangat sedih. "Kalau mau, aku bisa bantu cari kerja juga. Mungkin kamu ada resume atau CV yang bisa dikasih ke aku biar aku bantu cari lowongan?"

Siti pun memasang senyum pahit. "Aku ini nggak lulus S1, Mas. Sejak nikah sama Mas Adi, jujur aku belum pernah melamar kerja, jadi nggak punya resume."

Mendengar hal itu, Dirga pun memasang ekspresi tak berdaya. Bukan lulusan sarjana, pasti sulit menemukan pekerjaan kantoran untuk Siti. Akhirnya, dia pun teringat akan satu hal dan dengan berani bertanya kembali, "Kalau ... jadi pembantu, Siti mau?"

"Mau Mas. Saya mau sekali," Siti cepat menjawab dengan semringah.

Wanita manis itu pun sebenarnya sudah ingin pergi dari rumah Eva, tetapi karena memang tak ada tempat lain untuk berteduh, akhirnya dia masih terus bertahan disini. Ketika Dirga menawari sebuah pekerjaan, tentu saja Siti merasa senang sekali.

"Oke, kalau begitu aku coba hubungin teman aku, ya. Soalnya kalau nggak salah ingat, dia ada bantu teman atau bosnya gitu yang lagi cari pembantu, nanti aku kabarin ke kamu lagi."

Siti kembali mengulas senyum seraya membalas dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Mas Dirga."

*

Keesokan paginya, Eva yang sudah berdandan dengan sangat cantik mendatangi Siti yang telah bersiap keluar dari rumah ini.

"Nih alamat majikan kamu!" ucap Eva sinis sambil melempar selembar kertas yang berisi alamat tempat kerja Siti yang baru. Tadi, sebenarnya Dirga yang ingin memberikannya, tapi wanita itu tidak rela membiarkan sang suami berdekatan dengan Siti.

Siti menerima kertas itu dan melihatnya dengan saksama. Alamat yang ditulis sama sekali tak familiar bagi Siti.

Eva dengan segera duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari tempat Siti berdiri. "Akhirnya ... rumahku akan kembali bersih dari benalu seperti kamu! Oh ... senangnya!" ucap Eva setengah bersenandung.

Sedikit banyak hati Siti tentu merasa sakit mendengarkan hal ini. Tetapi dia mencoba tak memasukkan hal itu dalam hati, ada yang lebih penting baginya saat ini.

"Mbak, saya tak kenal sama sekali dengan alamat ini," ucap Siti lirih.

Sontak mata Eva langsung menatap tajam pada Siti. "Lalu? Aku harus apa?”

Tatapan tajam Eva membuat Siti menelan ludah, merasa tak berdaya. “Mungkin Mbak Eva bisa bantu jelaskan gimana cara ke sana, Mbak.”

“Loh, maksud kamu nganterin kamu gitu?!” balas Eva seraya mendelik. “Duh, gak banget deh! Masak iya aku mau mengantar kamu yang mau jadi seorang pembantu! Kalau keliatan temen aku gimana? Nggak level dong!”

Siti hanya bisa terus bersabar, sadar karena memang saat ini posisinya tak ubah benalu saja. "Tapi, Mbak—"

Tanpa menunggu sepupunya itu selesai bicara, Eva langsung menarik tangan Siti menuju keluar rumah. "Sudah jangan banyak ngomong deh, lekas pergi dari sini! Sudah muak aku lihat tampang pembantu kamu itu!"

Tanpa rasa iba sedikit pun, Eva menyeret Siti keluar rumah dan menutup pintu depan dengan keras.

"Mbak Eva, tolong buka pintunya sebentar Mbak. Saya tidak ada uang untuk berangkat." Siti mengetuk pintu rumah Eva itu, berharap si sepupu iba dan memberikan sedikit uang untuk transport.

Tetapi berkali mencoba, tetap tak ada hasilnya. Akhirnya Siti pun pasrah dan terdiam di depan gerbang rumah Eva. "Ya Allah, bagaimana ini? Aku tak memiliki uang sepeser pun," gumam Siti. Dia bahkan belum tahu arah jalannya ke mana.

Tiba-tiba, seseorang berlari dari pintu belakang menuju pintu pagar. Terlihat sosok Putri dengan kedua tangan mungilnya menyodorkan uang kepada sang ibu. "Ini dari Om Dirga, Bu."

Melihat putri kecilnya, juga beberapa lembar uang yang diberikan Dirga, Siti kembali meneteskan air mata. "Bilang sama Om Dirga makasih ya, Nak,” tutur wanita itu. “Kamu juga jangan nakal, nurut sama Tante Eva dan Om Dirga." Wanita itu meraih beberapa lembar uang dari tangan putrinya dan berkata, "Ibu pergi dulu."

Sekitar satu jam perjalanan, Siti akhirnya sampai di tempat tujuan. Dia memberikan uang kepada sopir angkot dan turun.

Ketika dia berhenti di hadapan sebuah rumah, matanya membulat. 'Ini rumahnya?' Wanita itu memastikan kembali bahwa nomor yang dipantek di dinding rumah itu sesuai dengan yang dituliskan oleh Eva. Begitu yakin benar, Siti hanya bisa menganga, "Ini rumah atau istana?"

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati Ar
sabar aja yah.
goodnovel comment avatar
DR. Muhammad Ari Setiawan, SDP. (Bapak ARI)
jalani hidup ini terus dan jangan pernah berhenti apa lagi mundur, terus maju karena pahit dan manisnya kehidupan itu semua tergantung kita dari arah mana kita menilainya
goodnovel comment avatar
Wahyu Sulistyowati
serru critanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status