Bab 4
"Kamu kok kayaknya tegang banget gitu?" tanya seorang wanita paruh baya yang sekarang sedang berjalan masuk menunjukkan rumah bak istana itu.“S-sedikit grogi, Bi Yati,” jawab Siti jujur. Pertama kali menjadi seorang pembantu rumah tangga, ada rasa takut yang menderanya. Biasanya di sinetron, majikan yang mempunyai rumah semegah dan semewah ini jelas bukan orang biasa, dan mereka selalu memiliki sikap angkuh dan jahat!Melihat ekspresi Siti, wanita yang lebih sering dipanggil Bi Yati pun berujar, “Santai aja di sini. Pak Handi orangnya baik, dan di sini kamu juga nggak sendiri.”Wanita itu bak bisa membaca pikiran Siti dan hal itu justru membuat Siti semakin takut. Rasanya langkah kaki Siti begitu berat untuk melangkah masuk ke dalam rumah megah itu.Setelah masuk dan dipersilakan duduk, Bi Yati menanyakan beberapa hal kepada Siti. Mulai dari pengalaman kerja, latar belakang, dan juga rencana ke depannya.“Oh, kamu janda anak satu. Anakmu sekarang di mana? Ditinggal di rumah?” tanya Bi Yati setelah mendengar cerita singkat Siti.Siti tidak bilang bahwa baru saja beberapa waktu lalu dirinya ditalak sang suami, melainkan berkata bahwa dirinya hanya sudah bercerai. Dia khawatir aibnya itu akan menimbulkan prasangka buruk dan membuatnya tidak diterima. Jadi dia hanya mengatakan garis besarnya saja. Karena untuk saat ini hanya inilah pekerjaan yang bisa membantu kehidupannya.“Anak saya di rumah sepupu saya sekarang, Bi,” jelas Siti. Dia pun menambahkan, “Anak saya sudah besar dan tidak rewel, jadi selama bekerja di sini, dia nggak akan ganggu kinerja saya, Bi.”Bi Yati mengangguk-angguk, cukup senang dengan tekad dan keseriusan Siti. Dalam hati dia membenarkan apa yang dilakukan oleh Siti itu. Puas bertanya, dia pun lanjut menjelaskan, "Di rumah ini ada dua pembantu lain selain Bibi, dan semua sudah ada tugas masing-masing. Khusus kamu, cukup bersihkan semuanya di lantai ini, termasuk kamar tamu.”Wanita paruh baya itu tersenyum seraya berkata, “Pak Bos sangat menjaga kebersihan, jadi kamu harus kerjakan dengan baik, apa kamu ngerti?”“Paham, Bi,” balas Siti. Dia melihat sekeliling sekilas sebelum akhirnya bertanya, “Kalau gaji bekerja di sini berapa ya, Bi?”Mungkin menanyakan tentang gaji di awal kerja sedikit kurang sopan. Tetapi bagi Siti hal itu untuk saat ini sangat perlu sekali. Mengingat jika kini tak ada lagi yang akan memberikan nafkah padanya dan juga untuk membiayai masa depan Putri."Berdasarkan pengalaman kamu yang masih baru, gaji pertama dari Pak Bos lima juta. Itu belum termasuk THR dan bonus tahunan. Kalau kinerja kamu baik, nggak menutup kemungkinan Pak Bos kasih kamu naik gaji, ya. Gimana?” Bi Yati menjawab dengan cepat.Mendengar penjelasan Bi Yati membuat Siti terperangah. “L-lima juta?” Ini pertama kalinya dia mendengar nominal sebesar itu untuk pekerjaan seorang pembantu rumah tangga!Reaksi Siti membuat Bi Yati tersenyum canggung. “Iya, lima juta. Apa kurang, ya? Kalau kurang, Bibi harus tanya Pak Bos lagi. Memangnya kamu mau berapa?”“Nggak, Bi! Itu cukup, cukup sekali!” balas Siti dengan cepat seraya melambaikan tangannya. Senyumnya mengembang memikirkan satu hal, 'Dengan gaji sebanyak itu, aku bisa sewa kontrakan dan pergi dari rumah Mbak Eva!' Sungguh Siti masih tak menyangka jika gaji nya akan sebesar itu. Tentu saja saat ini dia merasa sangat bahagia, dan bertekad akan bekerja sebaik mungkin disini.Mendadak, terdengar suara langkah kaki berat dari arah tangga. Hal tersebut membuat Siti menoleh. Tepat pada saat itu, mata Siti pun beradu pandang dengan seorang lelaki berwajah dingin. Manik hitam segelap malam itu seakan menembus jiwa Siti dan membuatnya bergidik ngeri.Dengan suara parau yang menggelitik telinga, pria tersebut bertanya, “Siapa ini, Bi?”Bab 5“Pagi, Pak Handi,” sapa Bi Yati yang langsung berdiri dari kursinya dan membungkuk sopan.Melihat respons Bi Yati atas kedatangan pria tersebut, Siti pun langsung tahu bahwa yang turun itu adalah majikannya. Siti bergegas mengikuti Bi Yati dan menunduk ke arah pria tersebut dengan hormat.“Pagi,” balas pria bernama Handi itu singkat, masih dengan tatapan dingin menelisik sosok Siti yang tertunduk.“Ini pembantu baru, Pak. Namanya Siti,” jawab Bi Yati, memperkenalkan Siti kepada Handi. Wanita paruh baya itu pun memberi kode kepada Siti untuk memperkenalkan dirinya.“Pagi, Pak Handi. Nama saya Siti, saya pembantu baru di rumah ini!” ujar Siti dengan suara yang begitu lantang karena terlalu gugup.Suara lantang Siti mengejutkan tak hanya Bi Yati, melainkan juga Handi. Hal tersebut membuat Siti memaki dirinya sendiri dalam hati karena sudah bertindak sangat memalukan.“He he ….”Suara terkekeh itu membuat Siti mengerjapkan mata dan mengangkat kepalanya, melihat sosok Handi yang tadi
Bab 6Masih dengan tatapan dinginnya, Handi berkata, “Bawa anakkamu dan tinggal di sini mulai sekarang. Besok kamu kerja." Tanpa menunggureaksi Siti, pria itu berdiri dari kursi dan berseru, “Bi Yati!”Tak perlu waktu lama bagi Bi Yati untuk muncul dari ruangbelakang. “Ya, Pak?” tanyanya, siap menerima perintah.“Siti dan putrinya akan tinggal di sini mulai hari ini,tolong bantu siapkan semuanya. Nanti minta Mang Tatang untuk bantu Siti jemputputrinya juga.” Handi kemudian melanjutkan, “Sumi mana? Saya mau ke kantor,tolong minta dia bukain pintu.”*“Ibu, rumahnya gede banget,” celetuk Putri yang baru sajadijemput Siti dengan bantuan Mang Tatang, salah satu pengurus rumah pria dirumah Handi. “Kita tinggal di sini sekarang, Bu?” tanya Putri, merasa tidakyakin.Sebelum Siti sempat menjawab, Bi Yati yang langsung menyahut,“Iya, Putri. Mulai hari ini, Putri tinggal di sini bareng Ibu, Bibi, dan MbakSumi.” Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, mungkin merasa rindu denganmasa-
"Pak Handi?!" Siti membelalak.Ya, pria itu tak lain adalah majikan Siti.Kedua asisten rumah tangga yang berada di situ pun tak kalah kagetnya. Mereka tak menyangka jika sang majikan mengatakan hal seperti itu. Sumi langsung menyikut lengan Bi Yati, tetapi mereka berdua hanya saling diam saja tanpa ada yang berani mengatakan apapun.Pandangan Siti dan Handi tak sengaja bertabrakan. Ekspresi Siti menunjukan bahwa wanita itu saat ini tengah bertanya-tanya. Siti tak pernah berpikir kalau majikannya akan datang dan mengatakan hal yang cukup ambigu itu. Di sisi lain, Handi tetap dengan wajah datarnya. Di dalam hati, pria itu juga merasa sedikit menyesali kalimat yang terlontar dari bibirnya. Ucapan itu membuat semua orang bisa salah paham. Akan tetapi, entah kenapa rasanya Handi tak mampu menahan diri saat melihat Eva hendak menampar Siti. Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Eva menatap tajam seraya menelisik sosok pria di hadapannya. Dia berusaha melepaskan diri dari Handi seraya berter
Bab 8Setelah Eva pergi dari tempat tersebut, Handi langsung menoleh kepada Siti. "Sebagai bagian dari rumah ini, kamu harus tahu cara mempertahankan martabat kamu. Aku nggak suka melihat milikku dihina oleh orang lain!”Siti hanya melongo saja mendengarkan apa yang dikatakan oleh Handi itu. Dia sungguh tak mengerti apa maksudnya. Saat Siti ingin menanyakan hal itu, si majikan pun telah berlalu dengan wajah dinginnya. Membuat wanita itu pun mengurungkan niatnya. Sumi dan Bi Yati menghampiri Siti dan mengajaknya masuk ke dalam. "Saudara kamu itu memang keterlaluan sekali ya, Ti. Nanti kalau dia datang lagi, kita usir saja bareng-bareng. Karena Pak Handi itu sangat tak suka dengan keributan loh, bisa-bisa nanti beliau akan marah dan akhirnya memecat kamu," ucap Bi Yati yang semakin membuat hati Siti ketar-ketir."Oh iya, Mbak Siti. Tadi itu sepupu kamu kan bilang jika kamu dibuang oleh suami ya? Kenapa sih itu memangnya Mbak?" celetuk Sumi yang memang orangnya terlalu kepo dengan urusa
Bab 9Eva yang baru saja sampai rumah pun terlihat amat kesal. Saat itu kebetulan Dirga sedang menonton tv di ruang keluarga. Eva menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa sambil cemberut."Kamu ini kenapa sih, Ma? Baru datang kok sudah cemberut gitu? Memangnya kamu itu tadi dari mana sih?" Dirga bertanya dengan lembut pada sang istri.Eva melirik tajam pada sang suami dan mendengus kesal. "Gimana aku nggak kesal? Itu si Siti! Meski sudah nggak ada di rumah ini tetapi dia terus saja membuat aku kesal! Apes sekali deh aku memiliki saudara seperti dia itu!" gerutu Eva.Dirga tertawa kecil spontan saat itu melihat tingkah sang istri yang seperti anak kecil itu. "Siti? Kenapa masih ngomongin dia sih? Dia kan sudah nggak ada disini lagi. Nggak usah dengan diomongin lagi ya," ucap Dirga berusaha menenangkan Eva.Bukan karena tak suka Dirga tak mau membicarakan tentang Siti, tetapi lebih karena tak ingin percekcokan kembali karena Eva cemburu dengan Siti. Jadi, Dirga memilih aman saja."Ya karena a
Bab 10Sembari merapikan kemeja kerjanya, Handi terlihat sedang menuruni tangga. Dirinya telah siap untuk pergi ke kantor. Akan tetapi, setelah kurang-lebih lima belas menit menunggu sarapannya di meja makan, pria itu mengerutkan keningnya."Bi Yati, kenapa sarapan saya belum—"Sebelum ucapannya berhasil diselesaikan, seorang gadis kecil tiba-tiba muncul di hadapannya sambil membawa baki. Baki berisi sepiring nasi goreng dan secangkir teh hangat itu terlihat lebih besar dibandingkan wajah sang gadis kecil, membuat kemunculannya terlihat sangat menggemaskan."Ini sarapannya, Pak Handi," cicit gadis yang tak lain adalah Putri. Mata bulatnya menatap nasi goreng dan cangkir teh dengan serius, seakan sedang bertelepati pada kedua hal tersebut untuk jangan terjatuh.Melihat Putri berusaha menyajikan sarapannya, sebuah niatan untuk membantu sang ibu, Handi merasa hatinya terenyuh. Benaknya berputar kepada masa berpuluh tahun yang lalu, ketika ekonominya tidak sebaik ini. Bagaimana dirinya ba
Bab 11“Pak, sudah sampai,” ucap Tatang, sang supir, ketika menyadari Handi masih terduduk di kursinya sembari termenung.Mendengar suara Tatang, Handi pun tersentak. “Oh, ya.”Melihat majikannya turun dengan wajah serius, Tatang menggelengkan kepala, merasa Handi beberapa hari ini memiliki begitu banyak pikiran.Dalam perjalanan menuju ruangannya, begitu banyak orang membungkuk dan memberi hormat pada Handi. Beberapa menyapa dengan senyuman dan memberikan pandangan terpukau pada pria itu.Begitu sampai di lantai kantornya, seorang wanita yang duduk di meja depan ruangan Handi berdiri dan memberi hormat kepada pria itu. “Pagi, Pak Handi.” Sapaannya itu hanya dibalas Handi dengan anggukkan kepala, sama seperti pria itu membalas karyawan lain. Namun, sebelum Handi masuk ke kantornya, Langkah pria itu berhenti. Dia menoleh ke belakang dan berkata, “Rosa, periksa satu orang untukku.” Netra hitamnya terlihat dingin ketika menurunkan perintah tersebut.Rosa, sang sekretaris, terlihat siap
Bab 12Adi tampak sibuk mengutak-atik komputernya. Ada deadline yang menunggu karena Handi harus segera menandatangani dokumen tentang laporan keuangan bulanan. Sayangnya, Adi terlalu semangat untuk bersenang-senang sampai lupa dengan pekerjaannya sendiri."Duh! Kenapa harus hari ini, sih?!" Adi meremas rambutnya sendiri. Dia merasa kesal karena tuntutan pekerjaan yang seringkali membuatnya kerepotan. Padahal, Adi berpikir bisa bersantai karena diberi kendali penuh oleh Yayuk. Tapi ternyata wanita itu juga tak bisa berkutik saat berhadapan dengan laporan.Sebagai wakil manajer, pekerjaannya selalu menumpuk. Tapi Adi biasanya berhasil melempar semua pekerjaan pada karyawan lain. Dia hanya perlu bersantai dan menunggu, maka semua pekerjaan selesai tepat waktu. Tapi apa-apaan ini?Mereka semua angkat tangan karena takut berurusan dengan Handi. Kesal, itulah yang dirasakan Adi."Sialan!" desisnya lagi sambil mengusap wajahnya dengan kasar.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Adi lantas m