Bab 5
“Pagi, Pak Handi,” sapa Bi Yati yang langsung berdiri dari kursinya dan membungkuk sopan.Melihat respons Bi Yati atas kedatangan pria tersebut, Siti pun langsung tahu bahwa yang turun itu adalah majikannya. Siti bergegas mengikuti Bi Yati dan menunduk ke arah pria tersebut dengan hormat.“Pagi,” balas pria bernama Handi itu singkat, masih dengan tatapan dingin menelisik sosok Siti yang tertunduk.“Ini pembantu baru, Pak. Namanya Siti,” jawab Bi Yati, memperkenalkan Siti kepada Handi. Wanita paruh baya itu pun memberi kode kepada Siti untuk memperkenalkan dirinya.“Pagi, Pak Handi. Nama saya Siti, saya pembantu baru di rumah ini!” ujar Siti dengan suara yang begitu lantang karena terlalu gugup.Suara lantang Siti mengejutkan tak hanya Bi Yati, melainkan juga Handi. Hal tersebut membuat Siti memaki dirinya sendiri dalam hati karena sudah bertindak sangat memalukan.“He he ….”Suara terkekeh itu membuat Siti mengerjapkan mata dan mengangkat kepalanya, melihat sosok Handi yang tadi terlihat dingin tersenyum sedikit. Hal tersebut membuat wanita itu terpaku, kagum dengan ketampanan pria yang dijelaskan Bi Yati memiliki keturunan asli Tiongkok sana.Sadar dari tawanya, lelaki bermata sipit itu pun kembali memasang wajah dingin. Dia mengangguk, dan kaki jenjangnya pun lanjut menuruni tangga hingga sampai di depan Siti.Berhadap-hadapan dengan sang majikan tampan jelas membuat Siti semakin gugup. Jantung wanita itu berdegup kencang, antara takut dengan sosok dingin Handi yang sempat dia lihat, dan juga grogi berhadapan dengan pria tampan seperti Handi.“Duduk,” ucap Handi yang terdengar seperti titah, membuat Siti langsung terduduk dengan cepat dan kaku layaknya robot.“Karena Bapak sudah hadir, saya ke belakang dulu ya. Siti, saya tinggal dulu, ya,” ucap Bi Yati sembari tersenyum dan melangkah pergi.Melihat kepergian Bi Yati, Siti merasa ingin menangis. Dia kira Bi Yati akan tetap bersamanya untuk menghadapi majikannya ini. Mental Siti jelas belum siap berbincang berdua dengan pria dingin di depannya itu!Keheningan menyelimuti ruang tamu megah itu untuk beberapa saat, membuat jantung Siti berdegup kencang seakan ingin melompat dari dadanya. Di sisi lain, sosok Handi terlihat sibuk meneliti calon pembantu barunya itu."Siti, ‘kan?" Pertanyaan Handi pun memecah keheningan.“Y-ya, Pak,” jawab Siti dengan suara bergetar.“Tinggal di mana?”“Sementara di rumah sepupu saya, Pak.”“Di mana?”Siti sekilas mengerutkan kening, merasa bingung apakah pertanyaan ini terlalu detail atau tidak. “Di jalan Cendrawasih, Pak. Sekitar satu jam dari sini.”“Ada keluarga?”“A-anak saya, Pak.”Alis Handi sedikit bergerak. “Suami?”“S-saya sudah bercerai, Pak.”"Jadi, anak kamu ditinggal di rumah sepupu kamu? Dia tidak merasa direpotkan?” tanya Handi lagi, membuat Siti merasa sedikit kurang nyaman dengan betapa intimnya beberapa pertanyaan tersebut.Siti bingung harus menjawab seperti apa saat ini, “Setelah gaji pertama, saya berniat ngekos di daerah sini, Pak,” jelas Siti.Sebuah dengusan terdengar dari sisi Handi. “Kamu kira berapa harga ngekos di daerah sini?” tanya pria itu, membuat Siti tersadar betapa naif rencana yang dia buat. “Harga kos-kosan di daerah ini paling murah tiga juta dan gaji kamu lima juta. Sisa 2 juta untuk menghidupi dan menyekolahkan anakmu, cukup?”Pertanyaan Handi membuat Siti menjadi semakin tertunduk, merasa begitu bodoh. Dia yang awalnya terkagum dengan gaji lima juta sebagai pembantu mulai merasa nominal itu kurang, terutama bila memikirkan masa depan Putri.Akan tetapi, Siti tidak memiliki kesempatan kerja lain, terutama karena surat-surat akademinya ditahan oleh sang suami di rumah. Jangan lupa berapa lama dirinya sudah tidak bekerja. Kantor mana yang mau menerimanya?Melihat raut wajah Siti yang sedikit terpojok, Handi memicingkan matanya, mungkin sedikit mengejek kepolosan wanita di hadapannya ini. “Bawa anak kamu,” ucap pria tersebut.Siti mengangkat pandangannya dan menatap manik hitam Handi dengan bingung. “Maaf, Pak?”“Bawa anak kamu dan tinggal di sini.”Bab 6Masih dengan tatapan dinginnya, Handi berkata, “Bawa anakkamu dan tinggal di sini mulai sekarang. Besok kamu kerja." Tanpa menunggureaksi Siti, pria itu berdiri dari kursi dan berseru, “Bi Yati!”Tak perlu waktu lama bagi Bi Yati untuk muncul dari ruangbelakang. “Ya, Pak?” tanyanya, siap menerima perintah.“Siti dan putrinya akan tinggal di sini mulai hari ini,tolong bantu siapkan semuanya. Nanti minta Mang Tatang untuk bantu Siti jemputputrinya juga.” Handi kemudian melanjutkan, “Sumi mana? Saya mau ke kantor,tolong minta dia bukain pintu.”*“Ibu, rumahnya gede banget,” celetuk Putri yang baru sajadijemput Siti dengan bantuan Mang Tatang, salah satu pengurus rumah pria dirumah Handi. “Kita tinggal di sini sekarang, Bu?” tanya Putri, merasa tidakyakin.Sebelum Siti sempat menjawab, Bi Yati yang langsung menyahut,“Iya, Putri. Mulai hari ini, Putri tinggal di sini bareng Ibu, Bibi, dan MbakSumi.” Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, mungkin merasa rindu denganmasa-
"Pak Handi?!" Siti membelalak.Ya, pria itu tak lain adalah majikan Siti.Kedua asisten rumah tangga yang berada di situ pun tak kalah kagetnya. Mereka tak menyangka jika sang majikan mengatakan hal seperti itu. Sumi langsung menyikut lengan Bi Yati, tetapi mereka berdua hanya saling diam saja tanpa ada yang berani mengatakan apapun.Pandangan Siti dan Handi tak sengaja bertabrakan. Ekspresi Siti menunjukan bahwa wanita itu saat ini tengah bertanya-tanya. Siti tak pernah berpikir kalau majikannya akan datang dan mengatakan hal yang cukup ambigu itu. Di sisi lain, Handi tetap dengan wajah datarnya. Di dalam hati, pria itu juga merasa sedikit menyesali kalimat yang terlontar dari bibirnya. Ucapan itu membuat semua orang bisa salah paham. Akan tetapi, entah kenapa rasanya Handi tak mampu menahan diri saat melihat Eva hendak menampar Siti. Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Eva menatap tajam seraya menelisik sosok pria di hadapannya. Dia berusaha melepaskan diri dari Handi seraya berter
Bab 8Setelah Eva pergi dari tempat tersebut, Handi langsung menoleh kepada Siti. "Sebagai bagian dari rumah ini, kamu harus tahu cara mempertahankan martabat kamu. Aku nggak suka melihat milikku dihina oleh orang lain!”Siti hanya melongo saja mendengarkan apa yang dikatakan oleh Handi itu. Dia sungguh tak mengerti apa maksudnya. Saat Siti ingin menanyakan hal itu, si majikan pun telah berlalu dengan wajah dinginnya. Membuat wanita itu pun mengurungkan niatnya. Sumi dan Bi Yati menghampiri Siti dan mengajaknya masuk ke dalam. "Saudara kamu itu memang keterlaluan sekali ya, Ti. Nanti kalau dia datang lagi, kita usir saja bareng-bareng. Karena Pak Handi itu sangat tak suka dengan keributan loh, bisa-bisa nanti beliau akan marah dan akhirnya memecat kamu," ucap Bi Yati yang semakin membuat hati Siti ketar-ketir."Oh iya, Mbak Siti. Tadi itu sepupu kamu kan bilang jika kamu dibuang oleh suami ya? Kenapa sih itu memangnya Mbak?" celetuk Sumi yang memang orangnya terlalu kepo dengan urusa
Bab 9Eva yang baru saja sampai rumah pun terlihat amat kesal. Saat itu kebetulan Dirga sedang menonton tv di ruang keluarga. Eva menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa sambil cemberut."Kamu ini kenapa sih, Ma? Baru datang kok sudah cemberut gitu? Memangnya kamu itu tadi dari mana sih?" Dirga bertanya dengan lembut pada sang istri.Eva melirik tajam pada sang suami dan mendengus kesal. "Gimana aku nggak kesal? Itu si Siti! Meski sudah nggak ada di rumah ini tetapi dia terus saja membuat aku kesal! Apes sekali deh aku memiliki saudara seperti dia itu!" gerutu Eva.Dirga tertawa kecil spontan saat itu melihat tingkah sang istri yang seperti anak kecil itu. "Siti? Kenapa masih ngomongin dia sih? Dia kan sudah nggak ada disini lagi. Nggak usah dengan diomongin lagi ya," ucap Dirga berusaha menenangkan Eva.Bukan karena tak suka Dirga tak mau membicarakan tentang Siti, tetapi lebih karena tak ingin percekcokan kembali karena Eva cemburu dengan Siti. Jadi, Dirga memilih aman saja."Ya karena a
Bab 10Sembari merapikan kemeja kerjanya, Handi terlihat sedang menuruni tangga. Dirinya telah siap untuk pergi ke kantor. Akan tetapi, setelah kurang-lebih lima belas menit menunggu sarapannya di meja makan, pria itu mengerutkan keningnya."Bi Yati, kenapa sarapan saya belum—"Sebelum ucapannya berhasil diselesaikan, seorang gadis kecil tiba-tiba muncul di hadapannya sambil membawa baki. Baki berisi sepiring nasi goreng dan secangkir teh hangat itu terlihat lebih besar dibandingkan wajah sang gadis kecil, membuat kemunculannya terlihat sangat menggemaskan."Ini sarapannya, Pak Handi," cicit gadis yang tak lain adalah Putri. Mata bulatnya menatap nasi goreng dan cangkir teh dengan serius, seakan sedang bertelepati pada kedua hal tersebut untuk jangan terjatuh.Melihat Putri berusaha menyajikan sarapannya, sebuah niatan untuk membantu sang ibu, Handi merasa hatinya terenyuh. Benaknya berputar kepada masa berpuluh tahun yang lalu, ketika ekonominya tidak sebaik ini. Bagaimana dirinya ba
Bab 11“Pak, sudah sampai,” ucap Tatang, sang supir, ketika menyadari Handi masih terduduk di kursinya sembari termenung.Mendengar suara Tatang, Handi pun tersentak. “Oh, ya.”Melihat majikannya turun dengan wajah serius, Tatang menggelengkan kepala, merasa Handi beberapa hari ini memiliki begitu banyak pikiran.Dalam perjalanan menuju ruangannya, begitu banyak orang membungkuk dan memberi hormat pada Handi. Beberapa menyapa dengan senyuman dan memberikan pandangan terpukau pada pria itu.Begitu sampai di lantai kantornya, seorang wanita yang duduk di meja depan ruangan Handi berdiri dan memberi hormat kepada pria itu. “Pagi, Pak Handi.” Sapaannya itu hanya dibalas Handi dengan anggukkan kepala, sama seperti pria itu membalas karyawan lain. Namun, sebelum Handi masuk ke kantornya, Langkah pria itu berhenti. Dia menoleh ke belakang dan berkata, “Rosa, periksa satu orang untukku.” Netra hitamnya terlihat dingin ketika menurunkan perintah tersebut.Rosa, sang sekretaris, terlihat siap
Bab 12Adi tampak sibuk mengutak-atik komputernya. Ada deadline yang menunggu karena Handi harus segera menandatangani dokumen tentang laporan keuangan bulanan. Sayangnya, Adi terlalu semangat untuk bersenang-senang sampai lupa dengan pekerjaannya sendiri."Duh! Kenapa harus hari ini, sih?!" Adi meremas rambutnya sendiri. Dia merasa kesal karena tuntutan pekerjaan yang seringkali membuatnya kerepotan. Padahal, Adi berpikir bisa bersantai karena diberi kendali penuh oleh Yayuk. Tapi ternyata wanita itu juga tak bisa berkutik saat berhadapan dengan laporan.Sebagai wakil manajer, pekerjaannya selalu menumpuk. Tapi Adi biasanya berhasil melempar semua pekerjaan pada karyawan lain. Dia hanya perlu bersantai dan menunggu, maka semua pekerjaan selesai tepat waktu. Tapi apa-apaan ini?Mereka semua angkat tangan karena takut berurusan dengan Handi. Kesal, itulah yang dirasakan Adi."Sialan!" desisnya lagi sambil mengusap wajahnya dengan kasar.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Adi lantas m
Bab 13Adi mengusap wajahnya dengan kasar. Dia kembali duduk di kursi kerjanya sambil menatap komputer yang masih menyala."Sialan! Bukannya membantu, dia malah memarahiku!"Padahal Yayuk biasanya bersikap lembut. Walau kadang dia memasang ekspresi masam saat ada karyawan lain. Kening Adi terasa berdenyut nyeri. Padahal dia biasanya bisa ungkang-ungkang kaki dan menyerahkan semua pekerjaan pada karyawan lain. Tak ada satupun diantara mereka yang berani membantah. Tapi kali ini, Adi sepertinya harus bekerja keras.Apalagi Rosa sempat memperingatinya untuk segera membawa dokumen berisi laporan keuangan dengan segera ke ruangan Handi.Adi menghela napas berat. Percuma saja menggerutu karena tak ada siapapun yang mau membantu.Di ruangan direktur utama, Rosa kembali setelah pergi ke bagian departemen keuangan. Handi lantas menoleh dengan tatapan meminta penjelasan."Pak, saya sudah mengeceknya. Tapi dokumen masih belum diselesaikan," jelasnya singkat.Handi mengangguk perlahan. Dia sudah