Share

Bab 3.

Kukerjapkan mata. Ternyata aku sudah berada di dalam kamar, terbaring lemah di ranjang. Siapa yang memindahkan aku ke sini? Aku pun tak tahu. Terakhir aku berada di ruang tamu, dan melihat ada Mas Gilang di ambang pintu. Akan tetapi, mengapa aku jadi berada di sini? 

Baju yang kukenakan pun masih sama. Gamis satin dengan outer broklat warna abu. 

“Kamu sudah sadar, Sekar?” tanya Bulik Diah yang duduk di sisi ranjang. Beliau segera berdiri dan mengambil cangkir berisi teh panas dari atas meja belajarku. Kulihat asap teh itu masih mengepul. Tandanya, isinya masih panas. 

“Minum dulu, biar kamu ada tenaga,” tukas Bulik Diah sambil mengangsurkan cangkir teh tersebut. Kudengar sayup-sayup suara tamu masih ada. Sepertinya mereka masih berbincang di ruang tamu. 

Tak lama, kulihat ibu membuka pintu kamar. Lalu beliau masuk dan duduk di sisi ranjang, bersisihan dengan Bulik Diah. 

“Ndhuk, kamu masih lemes?” tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sepertinya aku ingin lebih baik di kamar, malas rasanya keluar. Suasana sangat canggung. 

“Nduk, Bapak dan Ibu sudah menentukan hari pernikahanmu dengan Mas Fajar. Sebulan lagi. karena Mas Fajar mau promosi dan mutasi ke Makassar. Jadi harus segera menikah sebelum pindah,” kata ibu. 

Mendengar itu, kepalaku menjadi kembali berdenyut. Mengapa ada pernikahan? Bukannya janjinya hanya kenalan?

“Wis ngga usah banyak dipikir. Kamu manut saja. Semua akan diurus sama keluarganya Mas Fajar,” imbuh ibu sambil bangkit dan berlalu meninggalkanku. Sementara, Bulik tersenyum sambil mengusap lenganku, seperti hendak berkata, tenang saja, semua akan berjalan lancar. 

Aku kembali memejamkan mata. Aku baru ingat, sepertinya aku tadi belum makan siang. Sejak tiba dari Jakarta, aku langsung di suruh ibu nganter kue ke rumah Bude Hanum. Pulang-pulang sudah ada bulik dan bude. Pantesan, badanku terasa lemah. 

Tapi, tunggu. Bukannya tadi ada Mas Gilang? Mengapa tiba-tiba menghilang. Bahkan, ibu tidak mengatakan apa-apa tentang Mas Gilang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu. 

Kupejamkan mataku rapat-rapat. Lalu aku berusaha mengerjapkannya kembali. Ini seperti halusinasi. Otakku pun kuajak bekerja keras. Jadi, Mas Fajar buru-buru menikah karena mau promosi ke luar Jawa. Apakah hanya itu alasannya? Atau, ada alasan lainnya? 

Di luar terdengar sudah mulai senyap. Suara deru mobil meninggalkan halaman rumah pun sudah sejak sepuluh menit yang lalu. Artinya, tamu sudah pulang. 

Beruntung aku tidak disuruh untuk keluar kamar. Lagi pula, aku tak tahu harus berbuat apa jika keluar. Pendapatku pun seolah tiada guna. Aku hanya diperintahkan untuk manut saja.

“Jadi, Sekar. Empat minggu dari sekarang acaranya,” kata Ibu sembari duduk di sisi ranjang setelah pakde, bude, palik dan bulik pun pulang. Lalu Ibu memintaku mengulurkan tanganku untuk memasangkan cincin di jari manisku. 

“Nanti Mas Fajar akan menemuimu di Jakarta. Ibu sudah memberikan nomor telponmu dan juga alamat kosmu,” kata ibu lagi.

Aku hanya mengangguk lemah. 

Syukurlah masih ada empat minggu lagi. Artinya, masih ada harapan untuk mengenal siapa Mas Fajar sesungguhnya. Jangan sampe deh aku menikah dengan orang yang tidak aku kenal. Ini jaman revolusi industri 5.0. bukan jaman Siti Nurbaya!

***ETW***

“Itu cincin dari si Fajar?” kata Mas Gilang sinis, saat kita bertemu di Stasiun Tugu. Hari itu kebetulan aku bareng naik kereta kembali ke Jakarta. Kami tidak janjian. Ini sungguh hanya kebetulan. 

Aku melirik cincin yang tersemat di jari manis tangan kiriku. Sebenarnya agak risih karena memang aku tak menyukai memakai perhiasan. Tapi, demi menuruti kemauan ibu, kupakai juga cincin itu. 

“Sudah aku bilang, jangan diterima,” tukas Mas Gilang sambil melirik sinis ke jari manisku. Dih, apa urusannya dia melarangku? Batinku. Aku hanya mencebik. Pasti Mas Gilang iri. Itu yang ada dalam fikiranku. 

Tapi, mengapa tidak ada seorangpun yang mengatakan tentang insiden dia datang saat aku dilamar malam itu ya? Apakah itu benar-benar halusinasiku sebelum aku pingsan? 

“Ayo naik,” kata Mas Gilang kemudian setelah kereta berhenti tepat di depan kami. 

Aku tidak diantar oleh Bapak atau Ibu ke stasiun. Aku memang melarang beliau mengantarkanku. Lebih praktis naik taksi online saja, dan pamit ke Bapak dan Ibu dari teras rumah. Apalagi, ada pemuda di sebelahku ini suka menyindirku kalau aku diantar oleh beliau, “Tidak mandiri, sukanya ngrepotin orang lain,” begitu selalu tukasnya. 

“Jadi, kamu nikah sama dia?” tanya Mas Gilang. Dia sebenarnya duduk di gerbong yang lain. Tapi, ia sengaja datang ke gerbong ini dan berdiri tepat di sebelah tempat dudukku. Tubuhnya menyandar pada kursi yang aku duduki sembari tangannya bersedekap. 

Aku hanya mengangguk. 

“Sebulan lagi,” sahutku dengan nada biasa. Kulihat ekspresinya masih datar dan dingin. 

“Nanti akan kutunjukkan padamu, siapa sebenarnya Fajar,” kata Mas Gilang sambil pergi meninggalkanku.

***ETW***

--

[Nanti, pulang kerja, aku jemput di kantormu] 

Aku mengernyitkan dahi. Ada pesan masuk tanpa nama dan tanpa profil. Kupikir itu pesan salah alamat. Segera kuletakkan ponselku ke laci mejaku. Biasanya aku hanya sesekali melihat pesan penting saat bekerja. 

Segera aku membereskan barang-barangku saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Pegawai lain pun sudah beranjak pulang. Aku pun segera bergegas mengikuti rombongan yang akan segera turun menggunakan lift dari lantai tempat kerjaku.

“Sekar!” 

Aku menoleh ke sumber suara. Tampak lelaki dengan badan atletis dan wajah yang tampan berdiri sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Tiba-tiba aku teringat pada pesan yang tadi siang masuk ke ponselku. 

“Lupa, ya?” tanya lelaki itu setelah aku mendekatinya. 

“Fajar,” katanya sambil mengulurkan tangannya. 

“Oh....” Kutepuk jidatku sendiri. Aku benar-benar lupa. 

Bahkan, ketika di rumah, aku tak sempat berkenalan secara pribadi. Menatapnya pun aku tak berani. Tak punya sedikitpun memori tentang rupa pemuda yang bernama Fajar itu. Dan kini pemuda tampan itu sudah berada di depanku. 

“Kita ngobrol sambil makan, yuk,” kata Mas Fajar. Lalu dia berjalan mendahuluiku sambil memberikan kode kepadaku untuk mengikutinya. Aku hanya mengekorinya, berjalan menuju parkiran di halaman gedung kantorku. 

“Masuk,” katanya sambil membuka pintu mobil di bagian kemudi. Lalu aku pun membuka pintu di bagian penumpang. Mobilnya bagus. Pajero Sport warna hitam. Pasti dia orang kaya. Pantas saja ibuku sampai klepek-klepek dibuatnya. 

Tapi, tiba-tiba hatiku menjadi linu? Kok rasanya aku tidak pantas naik mobil sebagus ini. Biasa juga aku naik angkutan umum. Paling mewah naik transjakarta atau MRT.

“Kok kamu malah melamun?” tanya Mas Fajar. Dari tadi aku memang hanya diam saja, mirip orang bego. Aku rasanya tidak bisa menjadi diriku sendiri. Ini baru permulaan. Duh, begini amat ya, batinku. 

Mas Fajar memarkir mobilnya di basemant sebuah pusat perbelanjaan. Lalu ia mengajakku masuk ke sebuah restoran jepang berkonsep all you can eat. 

Aku benar-benar mirip orang bodoh. Tak pernah aku masuk ke dalam restoran seperti ini. Biasa juga aku hanya berani makan di warteg atau paling banter kantin di kantor yang harganya miring. 

Aku hanya mengekori Mas Fajar. Dia tampak berpengalaman memilih beraneka ragam makanan yang akan kita santap. Lalu kami duduk di sebuah bangku dimana ada empat kursi yang mengelilinginya. Dengan cekatan pelayan datang dan menyalakan tungku pemasak yang tersedia di meja. Aku benar-benar dibuat melongo. 

“Hai, Mas Fajar. Sudah lama?” tiba-tiba seorang wanita cantik datang menghampiri Mas Fajar. Lalu tanpa canggung dia duduk di sebelahnya. 

“Sekar, kenalin ini Daniar. Temanku SMA,” kata Mas Fajar kemudian. 

Kusalami wanita cantik dengan rambut sepunggung dengan model kruwel-kruwel masa kini. Kulitnya putih, posturnya tinggi semampai. Sangat cantik seperti seorang dewi. Tiba-tiba aku memandang penampilanku sendiri. Sepertinya aku lebih pantas menjadi pembantunya Mas Fajar dibanding calon istrinya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marsindi Allen
semangat menulis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status