Share

Bab 4.

“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. 

Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. 

Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. 

“Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. 

“Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. 

“Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. 

“Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. 

Mas Gilang hanya diam saja. Dia memang begitu. Percuma saja aku cerewet dan banyak bertanya. Lebih baik aku ikuti saja apa maunya.

Tiba-tiba kakinya melangkah masuk sebuah resto. Duh, resto lagi. Eitttts, tunggu. Kira-kira masuk resto, dia mau mentraktirku apa tidak ya?

“Ayo buruan,” katanya sambil menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku yang sedang terhenti tepat di pintu resto. 

“Aku yang traktir!” katanya lagi, seperti mengerti kekhawatiranku. 

Aku mengangguk senang. Lalu kuikuti kembali langkahnya. 

Kami memilih duduk di pojokan. Tak lama, seorang pelayan mendatangi kami dan memberikan daftar menu kepada kami. 

Mas Gilang tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk memilih menu. Dugaanku, duitnya juga mepet. Jadi, dia memilih sendiri menu untukku dan untuknya. Aku pun tak masalah. Mungkin karena kita sama-sama dari kampung dan dari keluarga miskin. Aku tertawa dalam hati. 

Tiba-tiba, hatiku ngilu saat teringat kemaren. Ditraktir sama Mas Fajar, tapi tingkahku mirip pembantu dari dusun. Padahal, aku ini 'kan udah kerja di Jakarta selama satu tahun. Kemana saja ya aku? 

Aku dan Mas Gilang duduk saling berhadapan. Namun, tiba-tiba Mas Gilang pindah posisi duduk di sebelahku. Tentu saja hal ini membuatku bingung. Mau apa dia mendekati ku? Kulirik tingkah laku dia yang mulai janggal. Tapi dia justru melotot ke arahku. 

Tak lama, menu yang kami pesan pun datang. Anehnya, Mas Gilang tak segera menyantap menu itu. Dia malah mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah itu, dia menunjuk-nunjuk ponselnya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi, dia memberi kode untuk tidak berbicara. Berulang dia letakkan telunjuknya di depan bibirnya. Sambil tetap melotot dia menunjuk-nunjuk ponsel. 

“Apaan?” tanyaku akhirnya. Dia pake bahasa isyarat yang tidak aku mengerti. 

Tanpa ba bi bu, dia malah menyambar tasku. Merogoh-rogoh kantung di tasku. Ya ampun, betapa malunya aku saat dia memegang pembal*t yang sengaja aku bawa, karena aku sedang halangan. Akhirnya, dia menemukan apa yang di carinya. Ponselku!

Segera dia berikan kepadaku, dengan sebelumnya membuka fitur pesan singkat. 

Keningku berkerut saat aku membaca pesan dari dia terketik disana. Spontan aku menoleh kebelakang.

“Auwwww!” pekikku. Kaki Mas Gilang dengan sengaja menginjak kakiku. 

Kulirik dia yang terus saja melotot sambil meletakkan telunjuk di bibirnya. 

Aku segera menatap layar ponselku kembali, lalu mengangguk-angguk mengerti setelah kubaca ulang pesannya.

[Jangan menoleh kebelakang. Dengarkan apa yang mereka katakan]. 

Kutajamkan pendengaranku. 

 “Kamu tenang saja. Begitu warisan kakekku di bagi, aku akan segera menceraikannya. Mana tahan aku menikah dengan gadis kampungan seperti dia. Kalau bukan karena desakan mama, aku tidak mau. Mama mengancamku tidak memberikan jatah warisan itu jika aku belum menikah,”kata lelaki yang duduk tepat di dibelakangku.

Posisiku memang membelakangi mereka, sehingga aku tidak bisa melihat siapa yang sedang berbicara.  

“Tapi, bukannya kalau kamu menikah dengan dia, warisan yang kamu dapatkan harus dibagi dua juga setelah kamu bercerai?” tanya yang wanita. 

“Dia bukan wanita matre. Dia sangat lugu. Hanya saja, ibunya sedikit matre. Nanti aku pikirkan kemudian. Yang penting, warisan itu jatuh duluan ke tanganku,” timpal lelaki itu. 

Sebenarnya aku penasaran siapa lelaki yang berbicara itu. Tapi, lagi-lagi mas Gilang melarangku untuk menoleh. Mas Gilang malah mengajakku foto selfie dengan kameranya. 

Tak lama, setelah dua orang dibelakangku mengganti topik pembicaraan lain. Mas Gilang memberiku kode untuk segera meninggalkan restoran itu. Dia memintaku keluar duluan tanpa gerak gerik mencurigakan dan menunggunya di luar resto. Sementara mas Gilang pergi ke kasir untuk membayar menu yang kita makan. 

Kami segera bergegas pergi meninggalkan pusat perbelanjaan itu. Tapi otakku masih penuh tanda tanya. 

“Aku kirim foto kita berdua,”kata Mas Gilang sesaat sebelum aku naik taksi online menuju kosanku. Jangan salah, taksi online yang aku tumpangi ini Mas Gilang yang bayar ongkosnya. Aku? Terlalu mewah untuk naik taksi online. Ojek saja sudah kemahalan. Biasanya hanya transjakarta turun di halte terdekat dan jalan kaki menuju kosan. 

Kurebahkan badanku seusai mandi. Jakarta memang luar biasa. Hanya jalan sebentar aja, badan rasanya pegal-pegal. 

Kuraih ponselku. Berdebar-debar rasanya ingin segera membuka gambar selfie yang Mas Gilang kirimkan tadi. Akhirnya, aku akan punya foto berdua dengan Mas Gilang. Hmmm, jangan-jangan Mas Gilang naksir aku. Tiba-tiba aku menjadi GR. 

Setelah beberapa detik berputar, akhirnya terbuka juga gambar itu. Wow! Cakep! Pekikku saat aku fokus melihat foto Mas Gilang. Dia memang tampan, asal tidak sedang jutek. Secara aku tidak pernah melihat lelaki itu secara bebas. Dia selalu membuang muka. 

Tapiiii....siapa dua orang di belakangku tadi?

Mataku terbelalak begitu menyadari orang itu. Hatiku tersentak dan ingin menangis sejadi-jadinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status