“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang.
Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan.
Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
“Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi.
“Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku.
“Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online.
“Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren.
Mas Gilang hanya diam saja. Dia memang begitu. Percuma saja aku cerewet dan banyak bertanya. Lebih baik aku ikuti saja apa maunya.
Tiba-tiba kakinya melangkah masuk sebuah resto. Duh, resto lagi. Eitttts, tunggu. Kira-kira masuk resto, dia mau mentraktirku apa tidak ya?
“Ayo buruan,” katanya sambil menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku yang sedang terhenti tepat di pintu resto.
“Aku yang traktir!” katanya lagi, seperti mengerti kekhawatiranku.
Aku mengangguk senang. Lalu kuikuti kembali langkahnya.
Kami memilih duduk di pojokan. Tak lama, seorang pelayan mendatangi kami dan memberikan daftar menu kepada kami.
Mas Gilang tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk memilih menu. Dugaanku, duitnya juga mepet. Jadi, dia memilih sendiri menu untukku dan untuknya. Aku pun tak masalah. Mungkin karena kita sama-sama dari kampung dan dari keluarga miskin. Aku tertawa dalam hati.
Tiba-tiba, hatiku ngilu saat teringat kemaren. Ditraktir sama Mas Fajar, tapi tingkahku mirip pembantu dari dusun. Padahal, aku ini 'kan udah kerja di Jakarta selama satu tahun. Kemana saja ya aku?
Aku dan Mas Gilang duduk saling berhadapan. Namun, tiba-tiba Mas Gilang pindah posisi duduk di sebelahku. Tentu saja hal ini membuatku bingung. Mau apa dia mendekati ku? Kulirik tingkah laku dia yang mulai janggal. Tapi dia justru melotot ke arahku.
Tak lama, menu yang kami pesan pun datang. Anehnya, Mas Gilang tak segera menyantap menu itu. Dia malah mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah itu, dia menunjuk-nunjuk ponselnya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi, dia memberi kode untuk tidak berbicara. Berulang dia letakkan telunjuknya di depan bibirnya. Sambil tetap melotot dia menunjuk-nunjuk ponsel.
“Apaan?” tanyaku akhirnya. Dia pake bahasa isyarat yang tidak aku mengerti.
Tanpa ba bi bu, dia malah menyambar tasku. Merogoh-rogoh kantung di tasku. Ya ampun, betapa malunya aku saat dia memegang pembal*t yang sengaja aku bawa, karena aku sedang halangan. Akhirnya, dia menemukan apa yang di carinya. Ponselku!
Segera dia berikan kepadaku, dengan sebelumnya membuka fitur pesan singkat.
Keningku berkerut saat aku membaca pesan dari dia terketik disana. Spontan aku menoleh kebelakang.
“Auwwww!” pekikku. Kaki Mas Gilang dengan sengaja menginjak kakiku.
Kulirik dia yang terus saja melotot sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.
Aku segera menatap layar ponselku kembali, lalu mengangguk-angguk mengerti setelah kubaca ulang pesannya.
[Jangan menoleh kebelakang. Dengarkan apa yang mereka katakan].
Kutajamkan pendengaranku.
“Kamu tenang saja. Begitu warisan kakekku di bagi, aku akan segera menceraikannya. Mana tahan aku menikah dengan gadis kampungan seperti dia. Kalau bukan karena desakan mama, aku tidak mau. Mama mengancamku tidak memberikan jatah warisan itu jika aku belum menikah,”kata lelaki yang duduk tepat di dibelakangku.
Posisiku memang membelakangi mereka, sehingga aku tidak bisa melihat siapa yang sedang berbicara.
“Tapi, bukannya kalau kamu menikah dengan dia, warisan yang kamu dapatkan harus dibagi dua juga setelah kamu bercerai?” tanya yang wanita.
“Dia bukan wanita matre. Dia sangat lugu. Hanya saja, ibunya sedikit matre. Nanti aku pikirkan kemudian. Yang penting, warisan itu jatuh duluan ke tanganku,” timpal lelaki itu.
Sebenarnya aku penasaran siapa lelaki yang berbicara itu. Tapi, lagi-lagi mas Gilang melarangku untuk menoleh. Mas Gilang malah mengajakku foto selfie dengan kameranya.
Tak lama, setelah dua orang dibelakangku mengganti topik pembicaraan lain. Mas Gilang memberiku kode untuk segera meninggalkan restoran itu. Dia memintaku keluar duluan tanpa gerak gerik mencurigakan dan menunggunya di luar resto. Sementara mas Gilang pergi ke kasir untuk membayar menu yang kita makan.
Kami segera bergegas pergi meninggalkan pusat perbelanjaan itu. Tapi otakku masih penuh tanda tanya.
“Aku kirim foto kita berdua,”kata Mas Gilang sesaat sebelum aku naik taksi online menuju kosanku. Jangan salah, taksi online yang aku tumpangi ini Mas Gilang yang bayar ongkosnya. Aku? Terlalu mewah untuk naik taksi online. Ojek saja sudah kemahalan. Biasanya hanya transjakarta turun di halte terdekat dan jalan kaki menuju kosan.
Kurebahkan badanku seusai mandi. Jakarta memang luar biasa. Hanya jalan sebentar aja, badan rasanya pegal-pegal.
Kuraih ponselku. Berdebar-debar rasanya ingin segera membuka gambar selfie yang Mas Gilang kirimkan tadi. Akhirnya, aku akan punya foto berdua dengan Mas Gilang. Hmmm, jangan-jangan Mas Gilang naksir aku. Tiba-tiba aku menjadi GR.
Setelah beberapa detik berputar, akhirnya terbuka juga gambar itu. Wow! Cakep! Pekikku saat aku fokus melihat foto Mas Gilang. Dia memang tampan, asal tidak sedang jutek. Secara aku tidak pernah melihat lelaki itu secara bebas. Dia selalu membuang muka.
Tapiiii....siapa dua orang di belakangku tadi?
Mataku terbelalak begitu menyadari orang itu. Hatiku tersentak dan ingin menangis sejadi-jadinya.
“Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin. Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku. “Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku. Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku. “Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup. “Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek. “Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!
“Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan. “Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang. “Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi
Jalanku sudah buntu. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jalan satu-satunya menghindar dari pernikahan dengan Mas Fajar adalah melunasi hutangnya. Masalahnya, uang dari mana?Akhirnya, aku pun pasrah menemui takdir. Perhelatan itu terjadi juga. Bulik Diah sudah siap untuk merias wajahku. Para tamu pun sudah berduyun-duyun datang.Aku memang meminta ibu tidak perlu terlalu mewah, tidak perlu di gedung. Cukup di rumah saja. Meskipun kata ibu semua ditanggung oleh keluarga Mas Fajar. Usai dirias, ibu memintaku keluar dari kamar. Aku sendiri merasa aneh dengan penampilan ini. Aku yang tak pernah dandan, tadi sempat melirik sekilas ke cermin di kamar. Hampir saja aku tak dapat mengenali diriku sendiri. Aku memilih menunduk saja. Apalagi aku masih ingat dengan jelas, bagaimana Mas Fajar mengataiku sebagai gadis kampungan. Ibu menyuruhku duduk di belakang di bagian barisan wanita. Di sebelah Bude dan ibu. Sedang, Bulik memilih berdiri sambil terus mengawasi penampilanku. Aku mengenaka
“Memang kamu dapat uang sebanyak itu dari mana, Mas?” tanyaku saat Mas Gilang memberi kuitansi tanda terima pembayaran hutang ke orang tuanya Mas Fajar. Aku benar-benar tidak menyangka dia melakukan semuanya, demi aku, agar aku batal menikah dengan Mas Fajar. Sebegitu pedulikah dia padaku? Sampai-sampai dia mengorbankan masa depannya menjadi mempelai pengganti di hari pernikahanku. “Uang itu sebagian kecil adalah uang tabunganku untuk beli rumah dan menikah. Yang jelas bukan menikah sama kamu!” Kata-kata Mas Gilang terdengar nyolot. Lalu dia memijit keningnya. Sepertinya dia pusing dengan keputusannya.Aku juga bingung harus bagaimana? “Sebagian besarnya, aku pinjem ke bank dengan jaminan gajiku. Setiap bulan gajiku akan dipotong sepuluh juta!” lanjutnya lagi. Dih, ngapain sih dia repot banget ngurusin hidup aku. Padahal aku sendiri sudah pasrah. “Tunggu! Jadi, kamu sebenarnya sudah ada rencana menikah?” tanyaku tak percaya. Tatapanku masih tak berpindah menatapnya lekat. Lantas,
Saat aku terbangun, Mas Gilang sudah tidak ada di ranjang. Kupastikan dia sudah pergi ke masjid. Sejak kecil dia memang rajin jamaah di masjid. Aku segera bergegas keluar kamar untuk mandi. Ibu melihatku keluar kamar mandi malah senyum-senyum sendiri. Tapi, aku mencoba untuk tak memedulikannya. Mungkin ibu sedang merasa senang terbebas dari hutang, dan sawah milik kakek yang akan dibagi pun sudah aman. Bergegas aku masuk ke kamar untuk segera menunaikan sholat subuh. Jika sampai Mas Gilang pulang, aku belum sholat, pasti dia akan marah. Aku mengenalnya, dia selalu mengutarakan hal-hal yang tidak disukainya secara spontan. Tak peduli itu membuatku sakit hati. Termasuk masalah sholat ini. Dulu sewaktu kecilpun tak jarang aku ditegurnya jika terlambat sholat. Usai salam, aku belum mendengar suara Mas Gilang dari dalam kamarku. Biasanya, percakapan di luar kamar akan terdengar meskipun samar. Segera mukena kulepas dan kulipat. Namun, mendadak aku menoleh saat terdengar suara ponsel be
Badanku terasa sangat capek karena baru tiba di Jakarta Hari Senin pagi. Seperti kebiasaanku sejak kerja di ibukota, setiap pulang dari kota kelahiranku, aku langsung masuk kerja. Aku sudah menyimpan peralatan mandi dan stok baju kerja di loker kantor. Sehingga, aku tak perlu repot pulang ke kosan dulu. Hari ini pun aku melakukan hal yang sama. Ada untungnya juga dengan kesepakatanku dengan Mas Gilang untuk tinggal di kosan masing-masing. Tidak terbayang kalau aku mesti pulang ke kosan Mas Gilang. Aku masih harus ngurusin dia juga. Lagi pula, aku pun belum tahu kosan Mas Gilang di mana. Hidupnya seperti apa. Membayangkan hidup bersamanya saja kadang aku masih tergidik ngeri. Meskipun dalam hati ingin juga. Ngeri karena dia sering marah-marah padaku. Apapun yang kulakukan, sepertinya salah di matanya. Apalagi, aku selalu terlihat bego dimatanya, meski menurutku aku nggak bego-bego amat. Buktinya, di kantor aku bisa kerja dengan baik. Kalaupun aku ingin hidup bersamanya secepatnya
Tak lama, motor Mas Gilang sudah berhenti di sebuah kos-kosan. Setelah memarkirnya, Mas Gilang mengajakku naik ke atas melalui tangga. Rupanya ada beberapa kamar di kosan ini. Aku sebenarnya agak canggung masuk ke kos- kosan bersama laki-laki. Bisa jadi ini memang kosan laki-laki. "Kamu santai aja. Di sini banyak pasutri juga, kok," ucapnya, seolah membaca keraguanku saat diajaknya masuk. Mas Gilang sudah paham betul kalau aku pemalu dan segan masuk ke sarang laki-laki. Bagaimanapun hampir 17 tahun kami dibesarkan di kampung yang sama. Sudah saling kenal jelek-jeleknya masing-masing.Kami melewati beberapa kamar sebelum akhirnya berhenti di kamar Mas Gilang. Berbeda dengan kosanku yang tanpa pendingin ruangan dalam kamar. Biasanya, pintu kamar kami biarkan terbuka, kecuali kalau sedang istirahat atau ganti baju saja. Karena kalau pintu kamar ditutup sepanjang hari, akan terasa pengap. Sementara, kosan Mas Gilang sepertinya banyak dihuni dari menengah ke atas. Tak heran jika semua
Aku segera pura-pura sibuk membentangkan baju kotorku agar keringat yang menempel di sana mengering terkena AC, saat terdengar gemericik air di kamar mandi sudah terhenti. Baju ini masih akan kupakai saat pulang nanti. Aku tak suka memakai baju bekas keringat. Tapi, bagaimana lagi, Mas Gilang mengajakku kemari tanpa berkabar dulu. Padahal, di kantor aku masih punya stok baju bersih.Saat pintu kamar mandi dibuka, refleks aku melihat ke arah sana. Mas Gilang keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk yang terlilit di pinggang.Deg, aku baru kali ini melihatnya begitu di siang bolong. Aku langsung memalingkan pandanganku saat tak sengaja kulihat dia tersenyum mengejek padaku.Aishhh, dalam kondisi seperti ini dia masih saja begitu.Meski tetanggaan, aku nggak pernah melihatnya dalam kondisi seperti itu. Dia termasuk rapi dalam menutup aurat meskipun laki-laki. Bahkan, kalau pun main dengan tetanggaku yang lain, misal main air di kali, tetap saja dia masih pakai kaos lengkap.Huff, piki