Share

Bab 6

“Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.

Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!

Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan. 

“Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.

“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.

Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang. 

“Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi sama Pak Lik dan Bulik, akan diambil sama ibunya Mas Fajar,” jelasku sambil memotes daun kemangi sebagai lalap bersama lele yang sudah siap disantap. 

“500 juta? Buat apa ibumu pinjem uang sebanyak itu?” Mas Gilang mencuci tangannya di kobokan. Lalu ia menggeser piring kotornya menjauh. 

“Awalnya utangnya 300 juta. 100 juta untuk ibu, 100jt untuk Paklik, dan 100juta untuk Pakde. Ya buat sekolah kita-kita, anak-anaknya,” tukasku. 

“Kenapa jadi 500?” Dahi Mas Gilang berkerut, matanya tajam menatapku, penuh selidik.

Aku juga bingung.

Tapi, menurut ibu, karena kita tidak segera melunasinya, jadilah sampe segitu. Apalagi, jaminannya tanah warisan kakek yang harga tanahnya juga semakin melambung tinggi. Konon, kalau di jual saja, tanah warisan kakek itu harganya sudah 1M. 

“Rente juga dong ibunya Fajar. Kamu mau nikah sama Fajar?" tanya Mas Gilang lagi. Entah berapa kalinya dia menanyakan apakah aku mau atau tidak nikah sama Mas Fajar. Sepertinya dia belum yakin.

Jangankan dia. Aku sendiri pun tak yakin. 

“Jadi kamu mau pilih bayar apa nikah sama Fajar?” tanya Mas Gilang lagi. 

Kepalaku jadi berdenyut. Pusing rasanya. Uang sebanyak itu, mana aku punya. Tapi, nikah sama Mas Fajar? Bukannya dia hanya main-main saja? Dia menyebutku gadis kampungan. Dan dia akan segera menceraikanku setelah mendapatkan warisan. Jadi, buat apa? 

“Ya Pakde sama Paklikmu suruh bayar juga lah. Masak cuma kamu. Mereka kan sudah sukses. Jual saja mobilnya,” sambung Mas Gilang sambil mengaduk es jeruknya.

Mas Gilang memang tahu kalau kedua saudara ibu itu memiliki kendaraan roda empat. Setiap datang ke rumah, mobil itu terparkir di halaman rumahku.

“Nggak semudah itu. Mereka justru mendukung aku nikah sama Mas Fajar agar tidak perlu membayar utang,” tukasku.

Nasi dan pecel lele serasa susah tertelan di tenggorokan, karena memikirkan nasib ini. Perutku tiba-tiba merasa kenyang. Segera aku mencuci tangan di kobokan. 

“Jangan dibiasakan makan tidak habis. Kamu perlu tenaga untuk memikirkan hutang keluargamu,” sindir Mas Gilang sambil melirik ke piring di hadapanku yang nasinya belum berkurang setengah. 

“Mas, kamu mau kemana?”tanyaku saat tiba-tiba kulihat Mas Gilang sudah bangkit dari duduknya. 

“Aku duluan! Masalahmu terlalu ruwet. Aku pusing!”katanya sambil pergi begitu saja. Tak sedikitpun ia menoleh ke arahku yang masih menunggu saran-sarannya. 

--

***ETW***

“Ngapain, Mas kita di sini?” tanyaku ke Mas Gilang. Dia malah mengajakku nongrong di angkringan yang terletak di trotoar depan sebuah hotel. 

“Kamu lihatin terus hotel itu. Aku mau makan," sahutnya.

Kulihat Mas Gilang malah menyeduh teh panas dengan gula batu pada cangkir yang terbuat dari aluminium dengan motif klasik. Lalu ia makan dengan lauk orek tempe, bihun coklat, pindang telur, kikil dan segala rupa masakan rumahan. 

“Mas! Mas...itu,” panggilku sambil menunjuk sepasang kekasih yang tentu saja sangat kukenal, keluar dari lobi hotel. 

“Foto!” perintah Mas Gilang sambil tetap sibuk dengan makanannya. 

“Buat apa?” tanyaku tak mengerti.

Tapi, aku ikuti saja petunjuknya.

Kubidikkan kamera handphone ke arah mereka dari tempat aku duduk.

Mereka berdua tampak sangat mesra berangkulan. Apa aku cemburu? Tentu tidak. Padahal Mas Fajar adalah calon suamiku.  

“Itu artinya mereka habis check in,” komentar Mas Gilang datar. 

“Memang apa istimewanya orang check in di foto?” tanyaku penasaran. Bukannya kita juga sering check in di hotel kalau lagi dinas ke luar kota? 

“Ini 'kan di dalam kota. Ngapain mereka check in di hotel?” pancing Mas Gilang. 

“Jadi, kesimpulannya?” Aku tetap tidak mengerti? Apa mereka sedang lembur mengerjakan kerjaan kantor? Atau barang kali mereka habis meeting?

Mas Gilang menghela nafasnya dengan kesal. Terlihat jelas dia menatapku geregetan. Tapi, kenapa? Bukannya biasa saja? Ada yang aneh? Apa pertanyaanku aneh?

“Jadi, kalau kamu nikah sama Fajar, artinya kamu make bekasnya si Daniar. Ngerti?” ucap Mas Gilang. Matanya melotot menatapku. Telunjuknya pun mengarah ke wajahku. Sadis!

Aku masih mengerutkan dahi, dan tak lepas menatap Mas Gilang yang terlihat frustasi. Dia mengacak rambutnya kasar sambil mendengus berulang. 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ning Kusdiarini
Orang bisa kuliah kok oon.....pasti kampus abal2
goodnovel comment avatar
Patricia Mediatrix Fole
Duhhhh Sekar jgn jadi bego kenapa yak......‍♀️...‍♀️
goodnovel comment avatar
Andi Andriani
sekar kamu ayu2 oon ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status