Aku hanya diam, pastinya mereka mengira aku adalah orang yang paling tak punya uang di sini. Namun aku tetap memperhatikan, termasuk raut wajah Dewi yang tiba-tiba memucat. Aku hanya tersenyum di dalam dada. Setahuku, honor dari seorang pemeran figuran memang tak besar. Namun, siapa tahu Dewi punya tabungan dan benar-benar mau menolong Renata. Aku lihat kesungguhan memang terlintas pada wajahnya.
Setahuku, pemearn figuran bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu per hari, ada juga yang bahkan hanya puluhan ribu rupiah. Itulah yang kutahu dari artikel yang aku baca dan melihat wajah Dewi yang tiba-tiba pias, aku semakin yakin jika dia mungkin tak jauh dari rate para pemeran figuran tersebut. Namun, mari kita lihat apa yang akan dia jawab pada Renata. Semoga saja, Dewi beneran punya uang.
Kami semua menunggu jawaban Dewi ketika tiba-tiba dia mengangkat telepon. Padahal tak kudengar gawainya itu bergetar.
“Hallo, Sir! Hmmm, yes of right!”
Dengan menggunakan bahasa inggris dia menerima panggilan itu dan berdiri dengan elegan, lalu dia mengisyaratkan pada kami dengan bahasa tubuhnya kalau minta maaf harus menjauh. Renata pun mengangguk dengan senyuman pasrah.
“Itu yang telepon Dewi kayaknya kenalannya yang bule Amerika itu kali, ya?” Mirna memulai bahasan seperginya Dewi dari tempat kami berada.
“Pacarnya?” tanya Harum spontan.
“Bukan, tapi kayaknya dia tertarik buat ngajak syuting film hollywood, deh!” Salsa menimpali.
“Wawwww, keren banget, sih!” Tika pun yang sejak tadi lebih banyak diam bersama Nina dan Nenti turut excited.
“Iya keren banget dia. Hidupnya beruntung banget tahu gak sih? Padahal dulu di sekolah prestasi dia biasa saja, rupanya di luaran justru malah dia yang bisa sukses,” tukas Mirna.
Lagi-lagi matanya melirik ke arahku. Aku, lebih memilih tak menanggapi. Diam adalah lebih baik dari pada bersitegang dengannya.
“Jadi bisa lah ya dia beli minimarket aku, Mir?” Renata menatap Mirna dengan tatap penuh harap.
“Coba saja kamu tawarin ke Ayu, Re!” Tanpa kusangka, Harum---sahabatku yang kadang mulutnya ember ini nyeletuk.
Seketika Renata, Mirna dan Salsa menoleh ke arahku yang duduk di dekat Harum. Namun, beberapa detik kemudian, Mirna dan Salsa tergelak seraya meneliti penampilanku dari atas ke bawah.
“Rum, lo tuh kalau mau pergi ke tempat acara, bangun dulu, woy! Jadi gak ngelindur! Harga minimarket Renata itu li-ma ra-tus ju-ta! Ratus loh, Rum bukan ribu! Ayu saja kerja hanya guru TK, honorer pula. Semua orang juga tahu lah pasaran gaji honorer berapa.” Salsa memegangi perut sambil terpingkal-pingkal.
“Iya loh, Rum! Kamu jangan permalukan Ayu. Tetangga aku saja guru TK, mau beli baju seratus ribu saja ngitung berulang kali, apalagi ini lima ratus juta,” kikik Mirna ikut mendukung tawa Salsa.
Gak ada yang lucu padahal. Aku pun tak melihat ada kelucuan apapun di sana. Namun, kubiarkan saja biar Salsa puas. Sebentar lagi mungkin akan mengadu pada Dewi yang tak kunjung kembali. Entah bicara dengan siapa atau hanya alibi karena tak punya uang.
“Jangan ngejudge apa-apa dari kover, Mir, Sa! Bisa jadi kover Dewi bling-bling tapi isinya biasa, bisa juga kover Ayu biasa tapi ternyata dia banyak tuh tabungannya!” tukas Harum.
“Hish, Rum!” Aku mendelik padanya.
Dia memang tahu jika aku sudah menjadi seorang novelis sejak lima tahun lalu. Pada tahun ketiga aku kuliah kelas karyawan, alhamdulilah ketiban rejeki yang gak disangka-sangka. Tanpa sengaja berkenalan dengan platform kepenulisan online dengan gajian pertama dapat satu setengah juta. Namun dari sana merangkak terus tiap bulan hingga kini tak pernah lagi kurang dari dua puluh juta yang aku dapatkan setiap bulannya bahkan kadang sampai dua kali lipatnya meski jarang, tetapi Harum memang tak tahu kisaran pendapatan bulananku dari menulis, hanya saja dia tahu jika dua novelku dipinang oleh produser dan mendapatkan tawaran yang fantastis juga.
“Iya loh, Yu! Kalau kamu ada uang, boleh bantu aku sama suami ya, Yu! Dua kali bayar juga gak apa. Aku bener-bener capek terlilit hutang riba. Suami mau ajak aku hijrah, tapi mau lepas dulu utang-utang yang gak ketutup ini dari pemasukkan.”
Renata menatapku dengan mengiba. Rasanya tak tega, tapi aku betul-betul bingung dan awam dalam investasi. Sudah sering mendengar investasi bodong, aku takut uang yang susah payah kukumpulkan gitu dibawa lari. Namun entah kenapa hatiku terketuk melihat wajah Renata yang memelas begitu.
“Ahm, tapi itu status bangunannya masih sewa atau sudah milik, Re?”tanyaku.
Seketika dua bola mata itu berbinar ketika mendengar pertanyaanku.
“Yang dua tersisa ini sudah milik semua, Yu! Yang statusnya sewa sudah gak ada semua, gak kuat lagi kami bayar sewanya dan akhirnya di handover paksa. Kamu tertarik, Yu?” Renata menatap penuh binar harap padaku. Namun belum sempat aku menjawab, Salsa tiba-tiba menimpali dengan nada sinis.
“Yu, bangun, woyyy!” kekeh Salsa.
“Duh, kayaknya ada yang panas, Sa! Dari tadi Dewi bahas dulu masalah kesuksesan dia. Eh, tahunya ada yang merasa lebih pantas!”timpal Mirna.
Dewi datang melenggang dengan manisnya seraya memasukkan gawai ke dalam tasnya. Lalu duduk kembali di antara dua sahabatnya itu.
“Duh, maaf tadi ada telepon dari Mr. William! Lupa akutuh kalau ada janji mau ketemuan sore nanti! Kita lagi ada kerja sama untuk investasi bernilai milyaran!” Dewi tersenyum seraya membagi pandang ke arah kami.
“Wah, banyak ya kamu investasinya, Dew? Hmmm … berarti yang minimarket lima ratus juta punyaku diambil juga, ya, Dew!” Renata menatap penuh harap pada Dewi.
“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah.
Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.
“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi.
“Ya ampuuun, Re. Tuh ‘kan akutuh suka gitu. Kebetulan uangnya memang hanya tinggal 5 M di rekening akutuh, tadi lupa aku iyain semua nilai investasinya ke Mr. William! Next time deh, ya, kalau honor aku dari syuting sudah cair lagi! Beneran lupa banget, maaf, ya, Re!” Dewi tampak memasang rasa bersalah. Wajah Renata mencelos kecewa. Aku tahu dia sudah berharap banyak dengan Dewi. Entah kenapa, bibir ini langsung menyambar begitu saja.“Ya sudah, Re! Besok atau lusa aku mau lihat tempatnya dulu, ya!”tukasku pada Renata yang membuat pandangan Dewi membeliak seketika dan menatap ke arahku. Lalu, kembali gelak tawa terdengar dari Salsa dan Mirna seraya menepuk-nepuk pundak Dewi. Aku membagi pandang pada mereka yang memandang rendah ke arahku. Namun, belum sempat aku berucap lagi, terdengar suara seseorang memecah perhatian dari tawa ketiga orang bersahabat itu. “Wah pada asyik banget ketawanya! Lagi ngobrolin apa, nih?” Suara bariton yang muncul dari arah samping itu rupanya milik Dio
“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut. Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion? Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku? Kartu nama dari Renata aku simpan juga. Ada alamat kantor suaminya di sana. Begitu pun dengan Dion. Dia pun memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. Bahasan beralih seiring dengan datangnya Pak Faqih. Namun tak berapa lama, terdengar suara panitia yang membawakan acara menyita perhatian. Obrolan kami terhenti dan beralih menatap ke
Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya. “Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya. Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku. Aku bergeming, tapi tak urung juga kutarik amplop putih yang bentukannya seperti amplop kondangan itu. Hati penasaran, apa isinya? Masa sih aku dikasih uang? Duh geer banget, ya? “Hmmm, dikasih amplop gini, kok saya jadi deg-degan ya, Pak!” candaku seraya memasukkan amplop putih itu ke dalam tasku. “Jangan sampai pas dibuka nanti pingsan,” kekeh Pak Faqih lagi. Justru hal ini makin buat aku penasaran. “Duh makin penasaran jadinya. Buka sekarang saja, ya!” Aku mencoba menarik ujung amplop dari dalam tas. “Acara sudah dimulai loh, Yu! Gak seru kalau pas dipanggil ke depan kamunya gak datang karena pingsan.” Dia bicara dengan pelan
“Terima! Terima! Terima!” Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka. Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!Keringat dingin mendadak bermunculan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Teringat pesat ibu ketika saat itu dia bicara terkait jodoh. “Jika ada lelaki baik yang mengajak langsung menikah, maka terimalah! Berarti dia bersungguh-sungguh dan bukan hanya hendak melecehkan.” Itulah pesan yang dia sampaikan. Benar memang Pak Faqih orang baik, tetapi apakah baik saja cukup untuk mendasari sebuah pernikahan? Lalu, selama tujuh tahun bertahan itu sebetulnya aku karena apa? Karena belum ada lelaki baik yang datang atau karena Lingga Bardion yang belum bisa sepenuhnya menghilang dari lubuk hati paling dalam
Aku berjalan menunduk seraya memikirkan detik-detik menengangkan tadi dan semua prasangka ketika tiba-tiba aku menubruk tubuh seseorang. Bruk!“M--Maaf.” “Ehm, yang habis dilamar, ngelamunnya sampai segitunya!” Deg!Suara itu? Aku lekas mendongak dan benar saja seraut wajah yang kuharapkan tak pernah tahu semua kejadian inilah yang sudah berdiri di depanku. Lingga Bardion, apakah dia melihat juga semua yang tadi terjadi di lobi hotel ini? Ya Tuhaaan? Kenapa jadi serumit ini, sih? “K--kamu d--dari tadi?” Terbata aku bertanya padanya. “Enggak, tapi aku tahu semuanya! Selamat, ya!” Dia mengulurkan tangan ke arahku. Senyum itu masih sama, senyuman tujuh tahun lalu yang membuat aku kangen siang malam. Namun kok hati jadi terasa pedih, ya. Diucapin selamat sama seseorang yang belum pergi sepenuhnya dari relung hati yang paling dalam. Aku menunduk, mencoba menetralkan debar dalam dada yang tak menentu. Lalu kuangkat lagi kepala dan menatap ke arahnya. “Selamat untuk apa, sih?” tanyak
“Iya, Yu! Tuh lihat saja di grup! Koar-koar mulu!” Harum menunjukkan layar gawai. Benar saja, di grup tampak Dewi mengirimkan beberapa foto dengan Pak Anton disertai kalimat-kalimat yang menunjukkan kalau dia begitu konfiden jika Pak Anton datang buat kasih pengharagan ke dia. [Guys, asal kalian tahu! Di sini hanya aku deh alumnus yang kenal sama Sutradara kondang ini! Kalian wajib nunggu, ya! Sebentar lagi aku pasti dipanggil ke atas podium buat nerima pengharagaan dari sekolah. Secara aku sudah bisa membuktikan, kalau di dunia nyata bahkan aku bisa lebih berprestasi dari pada siswa yang dulunya berprestasi. Iya gak?] [Wah, pantas saja tumbenan ngundang orang dari dunia film, ya? Rupanya buat kasih penghargaan ke kamu ya, Wi? Selamat, ya, keren!] Salma. [Anjirrrr! Beda ya kalau sudah jadi artis mah, bisaan euy, Wi! Mantap pisan!] Eti[Ya ampuuun, kita dari kemarin nebak-nebak katanya mau ada kasih penghargaan dari sekolah dalam acara reuni sekarang! Gak kepikiran kalau orang yang
Riuh tepuk tangan terdengar. Aku bangkit dari tempat duduk seraya menoleh ke arah tempat Dewi dan kedua temannya yang kini melotot ke arahku. Hanya anggukan singkat dan senyuman manis aku lemparkan membalas tatap tak percaya itu. Aku berjalan sambil menunduk menuju ke arah Karmin dan Hana yang tersenyum lebar menyambutku. Rasanya belum siap identitas ini ditelanjangi, tetapi mengingat alasan dari pihak sekolah agar banyak yang terinspirasi dan ke depannya aku didaulat untuk mengembangkan siswa-siswa dengan potensi serupa, maka aku tak ingin melewatkan kesempatan ini. Bukankah kesempatan katanya tak datang dua kali? Bukankah ini adalah salah satu jalan untukku agar bisa menebar manfaat sebanyak-banyaknya? “Ya ampuuun, Bestie! Selamat, ya!” Karmin sudah nyelonong saja hendak memelukku. Namun tiba-tiba lengan Hana menahan dadanya. “Eh, Mas Bro … bukan mahram!” ucap Hana seraya memutar bola mata ke atas. Karmin terkikik lalu hanya berganti dengan mengulurkan tangan menyalamiku. “Selam
Langkahku semakin dekat pada meja di mana ada Harum dan teman-temanku yang lain, sekilas aku melirik ke arahnya, eh sepasang mata elang itu tengah tertuju ke arahku dengan senyum yang dikulum. Denyut-denyut dalam dada, untung gak ada suara, duh berasa nostalgia pada masa-masa SMA. Tatapan itu masih sama, persis seperti tujuh tahun lalu. Tatapan yang membuat Dewi memusuhiku hingga sebelum penghargaan ini diberikan. Barusan kan dia ngajak damai, eh. Namun, fokusku terpecah pada tawa beberapa temanku yang tengah fokus pada layar gawai. Termasuk Harum, dia pun tertawa lepas sampai terpingkal-pingkal.“Lihat ini, Yu! Pasti Dewi semakin merasa gak punya muka.” Harum menjuk layar gawai yang tengah dilihatnya bersama.Aku pun beranjak duduk ke tempatku semula, lalu melongok pada kerumunan para mantan siswa. Kami sudah mantan, tapi kenang masih tersimpan.“Ada yang lucu, ya?” tanyaku setelah berada di antara mereka. “Lihat ini!” kekeh Harum. Tangannya menunjuk foto yang dishare di WAG alumni