Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya. “Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya. Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku. Aku bergeming, tapi tak urung juga kutarik amplop putih yang bentukannya seperti amplop kondangan itu. Hati penasaran, apa isinya? Masa sih aku dikasih uang? Duh geer banget, ya? “Hmmm, dikasih amplop gini, kok saya jadi deg-degan ya, Pak!” candaku seraya memasukkan amplop putih itu ke dalam tasku. “Jangan sampai pas dibuka nanti pingsan,” kekeh Pak Faqih lagi. Justru hal ini makin buat aku penasaran. “Duh makin penasaran jadinya. Buka sekarang saja, ya!” Aku mencoba menarik ujung amplop dari dalam tas. “Acara sudah dimulai loh, Yu! Gak seru kalau pas dipanggil ke depan kamunya gak datang karena pingsan.” Dia bicara dengan pelan
“Terima! Terima! Terima!” Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka. Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!Keringat dingin mendadak bermunculan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Teringat pesat ibu ketika saat itu dia bicara terkait jodoh. “Jika ada lelaki baik yang mengajak langsung menikah, maka terimalah! Berarti dia bersungguh-sungguh dan bukan hanya hendak melecehkan.” Itulah pesan yang dia sampaikan. Benar memang Pak Faqih orang baik, tetapi apakah baik saja cukup untuk mendasari sebuah pernikahan? Lalu, selama tujuh tahun bertahan itu sebetulnya aku karena apa? Karena belum ada lelaki baik yang datang atau karena Lingga Bardion yang belum bisa sepenuhnya menghilang dari lubuk hati paling dalam
Aku berjalan menunduk seraya memikirkan detik-detik menengangkan tadi dan semua prasangka ketika tiba-tiba aku menubruk tubuh seseorang. Bruk!“M--Maaf.” “Ehm, yang habis dilamar, ngelamunnya sampai segitunya!” Deg!Suara itu? Aku lekas mendongak dan benar saja seraut wajah yang kuharapkan tak pernah tahu semua kejadian inilah yang sudah berdiri di depanku. Lingga Bardion, apakah dia melihat juga semua yang tadi terjadi di lobi hotel ini? Ya Tuhaaan? Kenapa jadi serumit ini, sih? “K--kamu d--dari tadi?” Terbata aku bertanya padanya. “Enggak, tapi aku tahu semuanya! Selamat, ya!” Dia mengulurkan tangan ke arahku. Senyum itu masih sama, senyuman tujuh tahun lalu yang membuat aku kangen siang malam. Namun kok hati jadi terasa pedih, ya. Diucapin selamat sama seseorang yang belum pergi sepenuhnya dari relung hati yang paling dalam. Aku menunduk, mencoba menetralkan debar dalam dada yang tak menentu. Lalu kuangkat lagi kepala dan menatap ke arahnya. “Selamat untuk apa, sih?” tanyak
“Iya, Yu! Tuh lihat saja di grup! Koar-koar mulu!” Harum menunjukkan layar gawai. Benar saja, di grup tampak Dewi mengirimkan beberapa foto dengan Pak Anton disertai kalimat-kalimat yang menunjukkan kalau dia begitu konfiden jika Pak Anton datang buat kasih pengharagan ke dia. [Guys, asal kalian tahu! Di sini hanya aku deh alumnus yang kenal sama Sutradara kondang ini! Kalian wajib nunggu, ya! Sebentar lagi aku pasti dipanggil ke atas podium buat nerima pengharagaan dari sekolah. Secara aku sudah bisa membuktikan, kalau di dunia nyata bahkan aku bisa lebih berprestasi dari pada siswa yang dulunya berprestasi. Iya gak?] [Wah, pantas saja tumbenan ngundang orang dari dunia film, ya? Rupanya buat kasih penghargaan ke kamu ya, Wi? Selamat, ya, keren!] Salma. [Anjirrrr! Beda ya kalau sudah jadi artis mah, bisaan euy, Wi! Mantap pisan!] Eti[Ya ampuuun, kita dari kemarin nebak-nebak katanya mau ada kasih penghargaan dari sekolah dalam acara reuni sekarang! Gak kepikiran kalau orang yang
Riuh tepuk tangan terdengar. Aku bangkit dari tempat duduk seraya menoleh ke arah tempat Dewi dan kedua temannya yang kini melotot ke arahku. Hanya anggukan singkat dan senyuman manis aku lemparkan membalas tatap tak percaya itu. Aku berjalan sambil menunduk menuju ke arah Karmin dan Hana yang tersenyum lebar menyambutku. Rasanya belum siap identitas ini ditelanjangi, tetapi mengingat alasan dari pihak sekolah agar banyak yang terinspirasi dan ke depannya aku didaulat untuk mengembangkan siswa-siswa dengan potensi serupa, maka aku tak ingin melewatkan kesempatan ini. Bukankah kesempatan katanya tak datang dua kali? Bukankah ini adalah salah satu jalan untukku agar bisa menebar manfaat sebanyak-banyaknya? “Ya ampuuun, Bestie! Selamat, ya!” Karmin sudah nyelonong saja hendak memelukku. Namun tiba-tiba lengan Hana menahan dadanya. “Eh, Mas Bro … bukan mahram!” ucap Hana seraya memutar bola mata ke atas. Karmin terkikik lalu hanya berganti dengan mengulurkan tangan menyalamiku. “Selam
Langkahku semakin dekat pada meja di mana ada Harum dan teman-temanku yang lain, sekilas aku melirik ke arahnya, eh sepasang mata elang itu tengah tertuju ke arahku dengan senyum yang dikulum. Denyut-denyut dalam dada, untung gak ada suara, duh berasa nostalgia pada masa-masa SMA. Tatapan itu masih sama, persis seperti tujuh tahun lalu. Tatapan yang membuat Dewi memusuhiku hingga sebelum penghargaan ini diberikan. Barusan kan dia ngajak damai, eh. Namun, fokusku terpecah pada tawa beberapa temanku yang tengah fokus pada layar gawai. Termasuk Harum, dia pun tertawa lepas sampai terpingkal-pingkal.“Lihat ini, Yu! Pasti Dewi semakin merasa gak punya muka.” Harum menjuk layar gawai yang tengah dilihatnya bersama.Aku pun beranjak duduk ke tempatku semula, lalu melongok pada kerumunan para mantan siswa. Kami sudah mantan, tapi kenang masih tersimpan.“Ada yang lucu, ya?” tanyaku setelah berada di antara mereka. “Lihat ini!” kekeh Harum. Tangannya menunjuk foto yang dishare di WAG alumni
POV Dewi Acara reuni tahun ini, aku yakin, aku akan kembali menjadi bintang seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka biasanya begitu kagum padaku yang sudah beberapa kali muncul sebagai bintang iklan. Beberapa kali juga aku terpilih sebagai pemeran figuran dalam beberapa drama serial. Ya, walaupun baru hanya mendapatkan peran figuran, tetapi setidaknya aku sudah bisa membuktikan kalau aku ini memang berbakat di dunia entertainment.Jujur, aku sangat bersemangat menghadiri reuni yang sekarang. Apalagi, katanya reuni tahun ini akan ada penghargaan bagi alumni yang berprestasi. Aku yakin, aku akan menjadi salah satu yang termasuk di dalamnya. Bagaimana tidak, pihak sekolah pastinya bangga, dong! Dari sekian ribu alumni yang bertebaran, sepertinya hanya aku yang terjun di dunia entertainment. Gengsiku akan naik semakin tinggi, nanti akan aku posting pas aku memegang piala dengan anggunnya ketika dipanggil nanti. Ah, indahnya hidup ini. Kebahagiaan itu tak berhenti sampai disitu, meli
Mobil fortuner milik Dion terus membelah keramaian. Aku duduk dengan jantung yang berdgub-degub. Tak bisa dipungkiri jika keberadaannya mampu membuka lembaran memori yang sudah kulipat rapat-rapat. “Hmmm, mau makan dulu, gak?” Suaranya terdengar lembut bertanya. “Makan?” Bimbang, antara mengiyakan dan tidak. Bukan apa-apa, aku hanya takut jika rasa ini semakin subur saja dan akan berakhir kecewa. “Aku sudah lama gak makan menu angkringan dekat alun-alun kota! Di sana ada bubur ayam yang enak banget, loh!” Aku masih berpikir, kadang lemot emang. Di dalam sini ribut berperang antara hati dan logika. Masih teringat kata-kata ibu padaku.“Neng, kita harus bisa ngukur diri. Kita bukan orang kaya. Jadi kalau mau cari jodoh yang sepadan saja. Gak perlu kaya, cukup dia baik, dewasa, sayang sama kamu dan memiliki penghasilan tetap. Ibu pernah punya pengalaman pahit dulu, jadi Ibu gak mau hinaan yang dulu Ibu terima, kamu alami juga.” Aku memejamkan mata, entah kenapa kriteria yang Ibu uca