“Ke sinilah, maafkan kalau istri saya tak mengenali kalian. Istri saya mengalamai hilang ingatan sementara.” Deg!Friska dan Lira tampak terkejut, lalu keduanya memburu ranjang rawat inap di mana Lani terbaring di sana.“Lani, kami sahabat kamu. Maaf kalau jadi seperti ini?” Lira yang teringat ini adalah perbuatan Viona langsung memeluk Lani diikuti Friska. Lani menatap dengan pandangan bingung, apalagi Lira terisak dengan sangat kencang. Rasa bersalahnya makin menjadi mengetahui apa akibat kenekatan Viona yang sudah bermain-main dengan nyawa. “Lani, maafkan aku. Maafkan putriku.” Lira berucap seraya menggenggam tangan Lani. “Kamu siapa, kenapa saya harus memaafkan kalian?” Lira menyeka air mata dan menatap Lani.“Saya Lira, ini Friska, kita sahabatan sudah sangat lama. Kalau anak sekarang bilang, kita ini adalah Bestie. Kamu beneran gak ingat kami, Jeng?” Lira menyeka air matanya. Lani menggeleng, dia membagi pandangan pada dua perempuan paruh baya itu. “Maaf, saya gak ingat.”
“Saya nikahan dan kawinkan engkau, Ananda Lingga Bardion Bin Ahmad Subekti dengan Ayunda Maulida Binti Gopur Hermawan dengan mas kawin, uang tunai sebesar seratus juta rupiah dibayar tunai!”“Saya terima nikah dan kawinnya Ayunda Maulida Binti Gopur Hermawan dengan mas kawin tersebut, tunai!” Aku menunduk dalam ketika segumpal haru menyelinap ke dalam kalbu. Lelaki yang dulu kusimpan bayangnya di dalam angan, kini nyata ada di sampingku. Menjabat tangan penghulu sebagai wali hakim dan mengucap akad sebagai pengambilan tanggung jawabnya terhadapku. “Bapak … kini aku tak lagi merasa sendiri … ada sosok lain yang hadir untuk menjadi pelindungku. Bapak … andai Bapak masih ada, tangan kokoh yang berjabat dengan tangannya sudah pasti tanganmu, melimpahkan tanggung jawab pada lelaki yang dipilihkan Allah untukku.” Bulir bening yang kutahan-tahan menyeruak berjatuhan. Aku sudah kuatkan hati agar tak nangis, tetapi tetap saja kebahagiaan yang memenuhi rongga dada mengalirkan rasa haru yang
Lelah? Tentu saja, tetapi semua itu terbayar dengan limpahan kebahagiaan. Pak Anton Wijaya---sang Sutradara pun datang memenuhi undanganku. Yang lebih aku buat terharu pemilik PH pun turut serta membawa ucapan selamat dan karangan bunga yang megah. Dia memberikan apresiasi yang sangat luar biasa karena salah satu film dari novelku yang diangkat ke layar lebar, berhasil menyabet penghargaan dalam festival film internasional. “Terus berkarya, Mbak Peri Aksara. Torehkan semua pesan kebaikan melewati tulisanmu dan sebarkan kepada lebih banyak orang dengan media pendukung yang memungkinkan. Kabari saya jika ada novel baru lagi yang berkualitas dan berkelas, ya!” Satu tepukan dari Pak Rafli---pemiliki salah satu PH yang menaungi film dari novelku, mendarat pada bahu. Ditepuknya berulang dan tampak penuh kebanggaan di akhir ucapan selamat yang dia berikan padaku dan Dion. Dia pun melirik Dion dan berpesan, “Istrimu memiliki misi penting, menyampaikan pesat tersirat lewat tulisannya yang m
Pernikahan terkadang adalah gerbang. Dari gerbang inilah bermula sebuah perjalanan antara lelaki dan perempuan. Menikah, merupakan komitment yang harus dijalankan. Aku, tetap berprofesi sebagai guru TK di samping kesibukkanku menjadi seorang Nyonya Lingga Bardion. Mulai dari hari pertama menikah, di mana kami kembali saling melewati masa penjajakkan sikap dan sifat. Banyak hal baru yang dulu tak aku tahu. Aku tetap menjalankan porsiku sebagai seorang istri, di samping tetap mengisi kesibukkanku dengan mengajar. Satu tahun pernikahan, aku baru diberikan kepercayaan. Aku mengandung seorang anak lelaki, itu seperti hasil USG. Suamiku, selalu baik dan semakin baik. Dia menjadi seorang suami siaga. Meskipun waktunya tak banyak, tapi ponselnya selalu 24 jam bisa kujangkau. Dion, dialah lelaki yang tujuh tahun terpisah jarak dan waktu. Namun, tiba-tiba kembali hadir. Beberapa peristiwa nyaris membuat kami tak bersama. Namun berbicara lain kalau sudah berhubungan dengan takdir. Aku dan di
"Fa … ini surat undangannya. Irfan gak berani datang ke sini sendiri, dia takut kamu sedih. Hanya saja Mama harap kamu bisa datang. Bagaimanapun, Merina itu kakak kamu juga. Apa kata para tetangga kalau kamu tak datang.” Namaku Assyfa Maulida Husna. Bekerja sebagai pramuniaga di Mama Mart. Mama Mart adalah sebuah mini market. Meskipun hidupku tak seberuntung orang lain. Sejak kecil, aku sudah berhadapan dengan banyak kesedihan. Aku tumbuh menjadi seorang pemberontak, tak terlalu suka ikut aturan. Namun, aku tak suka ditindas. Aku pun tetap meneruskan gerakkan tanganku yang tengah melipat pakaian. Rasanya tubuh ini lelah karena baru saja pulang kerja. Apalagi kalau hari minggu, para pengunjung minimarket cukup banyak. Ibu tak sempat melipat baju-baju milik kami. Hari ini Ibu rewang di rumah Bu RT. Anak gadisnya Bu RT mau dilamar malam ini. “Ya, Ma … nanti Syfa datang. Mama gak usah cemas.” Aku bicara datar. Rasa sakit hati dan perih ini tak pernah aku tunjukkan di depan istri pertam
Aku masih mengangguk-angguk dan tersenyum. Suara musik yang kuputar ini slow remix, lagu barat yang berjudul not you alias bukan lo ini, dipopulerkan oleh alan walker. Meskipun aku cuma lulusan SMA. Namun, aku mengerti sedikit-sedikit lagu bahasa inggris. Apalagi liriknya ini seperti mewakili perasaanku. Liriknya ini membuatku aku merasa teramat terwakili. Perlahan aku bersenandung tergoda oleh indahnya lirik yang Mas Alan ciptakan. Eh, maen panggil Mas saja, nanti ada yang gak terima, bule-bule kok dipanggil Mas. In my life, in my mindWhere I make up stories all the timeAnd I pretend that I am not someoneLeft to face the world aloneLately I'm not the sameI've found a stranger calling out my nameHave a feeling you would be so proudAnd he's gon' need me nowBut he's not youHe's not youHe will never be youItu penggalan kalimat yang membuat aku manggut-manggut dan bersenandung. Rasanya mewakili banget. Aku sudah tak lagi mengharapkan apapun lagi darimu, darimu dan darimu. Ya,
SUDAH, JANGAN NANGIS, BU! ADA AKU.3 komentar pertama, masing-masing 15 koin emas 🥰🥰🥰 yuk gercep amankan seat. Kerjaannya apa? Bikin pusing. Hmmm gak ada tuh keren-kerennya.Tiba-tiba terdengar deru sepeda motor berhenti di depan rumah mengganggu me timeku saja. Dari bau-baunya sepertinya aku paham siapa yang datang. Bergegas aku berjalan ke arah pintu. Rupanya benar feelingku. Rita yang datang, tapi seketika netraku terpaku pada sosok jangkung dengan hoodie hitam. Gak salah lihat aku? Wajahnya tampak mirip aktor Bollywood zaman dulu? Siapa dia?Sebagai tuan rumah yang baik, aku pun mempersilakan mereka masuk. Aku menarik lengan Rita dan berbisik padanya, “Itu siapa, sih? Kok asing mukanya?” “Ya ampunn, Fa! Kamu beneran lupa sama Reza? Dia itu Reza teman SMA kita.” Rita menatap heran padaku.“Reza? Seingetku Reza itu yang bibirnya maaf, ya, ada sedikit kemajuan! Kok ini enggak, sih?” Aku menatap laki-laki yang duduk di teras. “Oh, astagaa … sorry, sorry! Jadi kamu pikirnya Reza
Aku segera menjauh sedikit lalu membuka dompet, tapi seketika wajahku terasa panas, di dompetku hanya pas ada uang buat beli gula, gak akan cukup buat bayar parfum itu. Si Abang tadi sudah ke kasir untuk membayar belanjaannya. Aku segera membuntutinya lalu kutepuk bahunya. “Hmmm, Bang. Maaf banget, ya! Aku gak bawa uang ternyata. Kalau ada uang, Abang bayarin dulu semua boleh? nanti saya bayarnya pas gajian, gimana?” Sepasang manik hitam itu menatapku lekat, kedua alisnya saling bertaut. Aku mendadak gugup. Aku menelan saliva dan menoleh ke kanan dan ke kiri menunggu jawabannya. “Ok, tanggal berapa kamu gajian?” Sepasang mata itu menatap sekilas, lalu dia berpaling lagi memunggungiku. Kulihat dia mengangsurkan uang lima puluh ribuan untuk membayar.“Abang datang lagi saja ke sini tanggal 25. Saya kerja di minimarket ini.” Aku mengusap wajah sambil membuang napas kasar. Rasanya malu, tapi lega juga karena dia tak lagi memaksa. “Oh, ok. Tanggal 25, ya? Hmmm … nama kamu siapa?” Dia b