Pernikahan terkadang adalah gerbang. Dari gerbang inilah bermula sebuah perjalanan antara lelaki dan perempuan. Menikah, merupakan komitment yang harus dijalankan. Aku, tetap berprofesi sebagai guru TK di samping kesibukkanku menjadi seorang Nyonya Lingga Bardion. Mulai dari hari pertama menikah, di mana kami kembali saling melewati masa penjajakkan sikap dan sifat. Banyak hal baru yang dulu tak aku tahu. Aku tetap menjalankan porsiku sebagai seorang istri, di samping tetap mengisi kesibukkanku dengan mengajar. Satu tahun pernikahan, aku baru diberikan kepercayaan. Aku mengandung seorang anak lelaki, itu seperti hasil USG. Suamiku, selalu baik dan semakin baik. Dia menjadi seorang suami siaga. Meskipun waktunya tak banyak, tapi ponselnya selalu 24 jam bisa kujangkau. Dion, dialah lelaki yang tujuh tahun terpisah jarak dan waktu. Namun, tiba-tiba kembali hadir. Beberapa peristiwa nyaris membuat kami tak bersama. Namun berbicara lain kalau sudah berhubungan dengan takdir. Aku dan di
"Fa … ini surat undangannya. Irfan gak berani datang ke sini sendiri, dia takut kamu sedih. Hanya saja Mama harap kamu bisa datang. Bagaimanapun, Merina itu kakak kamu juga. Apa kata para tetangga kalau kamu tak datang.” Namaku Assyfa Maulida Husna. Bekerja sebagai pramuniaga di Mama Mart. Mama Mart adalah sebuah mini market. Meskipun hidupku tak seberuntung orang lain. Sejak kecil, aku sudah berhadapan dengan banyak kesedihan. Aku tumbuh menjadi seorang pemberontak, tak terlalu suka ikut aturan. Namun, aku tak suka ditindas. Aku pun tetap meneruskan gerakkan tanganku yang tengah melipat pakaian. Rasanya tubuh ini lelah karena baru saja pulang kerja. Apalagi kalau hari minggu, para pengunjung minimarket cukup banyak. Ibu tak sempat melipat baju-baju milik kami. Hari ini Ibu rewang di rumah Bu RT. Anak gadisnya Bu RT mau dilamar malam ini. “Ya, Ma … nanti Syfa datang. Mama gak usah cemas.” Aku bicara datar. Rasa sakit hati dan perih ini tak pernah aku tunjukkan di depan istri pertam
Aku masih mengangguk-angguk dan tersenyum. Suara musik yang kuputar ini slow remix, lagu barat yang berjudul not you alias bukan lo ini, dipopulerkan oleh alan walker. Meskipun aku cuma lulusan SMA. Namun, aku mengerti sedikit-sedikit lagu bahasa inggris. Apalagi liriknya ini seperti mewakili perasaanku. Liriknya ini membuatku aku merasa teramat terwakili. Perlahan aku bersenandung tergoda oleh indahnya lirik yang Mas Alan ciptakan. Eh, maen panggil Mas saja, nanti ada yang gak terima, bule-bule kok dipanggil Mas. In my life, in my mindWhere I make up stories all the timeAnd I pretend that I am not someoneLeft to face the world aloneLately I'm not the sameI've found a stranger calling out my nameHave a feeling you would be so proudAnd he's gon' need me nowBut he's not youHe's not youHe will never be youItu penggalan kalimat yang membuat aku manggut-manggut dan bersenandung. Rasanya mewakili banget. Aku sudah tak lagi mengharapkan apapun lagi darimu, darimu dan darimu. Ya,
SUDAH, JANGAN NANGIS, BU! ADA AKU.3 komentar pertama, masing-masing 15 koin emas 🥰🥰🥰 yuk gercep amankan seat. Kerjaannya apa? Bikin pusing. Hmmm gak ada tuh keren-kerennya.Tiba-tiba terdengar deru sepeda motor berhenti di depan rumah mengganggu me timeku saja. Dari bau-baunya sepertinya aku paham siapa yang datang. Bergegas aku berjalan ke arah pintu. Rupanya benar feelingku. Rita yang datang, tapi seketika netraku terpaku pada sosok jangkung dengan hoodie hitam. Gak salah lihat aku? Wajahnya tampak mirip aktor Bollywood zaman dulu? Siapa dia?Sebagai tuan rumah yang baik, aku pun mempersilakan mereka masuk. Aku menarik lengan Rita dan berbisik padanya, “Itu siapa, sih? Kok asing mukanya?” “Ya ampunn, Fa! Kamu beneran lupa sama Reza? Dia itu Reza teman SMA kita.” Rita menatap heran padaku.“Reza? Seingetku Reza itu yang bibirnya maaf, ya, ada sedikit kemajuan! Kok ini enggak, sih?” Aku menatap laki-laki yang duduk di teras. “Oh, astagaa … sorry, sorry! Jadi kamu pikirnya Reza
Aku segera menjauh sedikit lalu membuka dompet, tapi seketika wajahku terasa panas, di dompetku hanya pas ada uang buat beli gula, gak akan cukup buat bayar parfum itu. Si Abang tadi sudah ke kasir untuk membayar belanjaannya. Aku segera membuntutinya lalu kutepuk bahunya. “Hmmm, Bang. Maaf banget, ya! Aku gak bawa uang ternyata. Kalau ada uang, Abang bayarin dulu semua boleh? nanti saya bayarnya pas gajian, gimana?” Sepasang manik hitam itu menatapku lekat, kedua alisnya saling bertaut. Aku mendadak gugup. Aku menelan saliva dan menoleh ke kanan dan ke kiri menunggu jawabannya. “Ok, tanggal berapa kamu gajian?” Sepasang mata itu menatap sekilas, lalu dia berpaling lagi memunggungiku. Kulihat dia mengangsurkan uang lima puluh ribuan untuk membayar.“Abang datang lagi saja ke sini tanggal 25. Saya kerja di minimarket ini.” Aku mengusap wajah sambil membuang napas kasar. Rasanya malu, tapi lega juga karena dia tak lagi memaksa. “Oh, ok. Tanggal 25, ya? Hmmm … nama kamu siapa?” Dia b
“Sudah deh, Bu! Ibu itu jangan lemah seperti itu! Kita itu harus kuat! Kalau masalah karma, itu urusan Tuhan bukan urusan orang! Makanya jangan cuma Syfa yang Ibu suruh move on, Ibu juga, dong! Ibu masih cantik, masih muda, Syfa yakin … Ibu pasti bisa dapetin yang lebih baik dari pada Bapak. Mari kita move on bareng-bareng, Bu! Kita pasti bisa!” Aku bersimpuh dan memeluk Ibu. Rasanya selalu tenang ketika berada di dekat perempuan yang kucintai itu.“Kamu ini ada-ada saja. Ibu sudah tua. Ibu sudah tak memikirkan masalah laki-laki. Sudah malam, kamu tidur sana! Makin ngelantur jadinya!” Ibu menepuk-nepuk punggungku sambil terkekeh. “Iyalah, ngantuk, Bu! Syfa tidur dulu. Pokoknya Ibu jangan melow-melow lagi. Ingat Bu, anakmu ini bukan tipe seperti lagu dangdut zaman dulu!” Aku bangun sambil mengibaskan rambut. “Lagu dangdut zaman dulu sih apa?” Kedua alis Ibu saling bertaut. “Aku bukan pe-ngemis cintaaa!!!” tukasku dengan nada mengikuti penyanyi aslinya lalu tergelak.Lagu itu sering
Dress code orange? Aku menatap pantulan diriku di depan cermin. Rasanya tak buruk. Kaos orange dengan jeans warna hitam kukenakan. Rambut diikat menjadi gulungan. Mirip disanggul, tapi bukan sanggul. Hanya biar gak terburai. Sepatu kets warna putih sudah membungkus kakikku dengan nyaman.Wajahku hanya dipoles cream saja. Malas bermake up. Aku make up kalau untuk kerja saja karena tuntutan. Bagaimanapun, kerja di minimarket memang harus selalu on, walau tak harus tebal. Sekitar jam tujuh pagi, mobil Reza sudah datang. Dia yang menyetir. Gayanya sama seperti kemarin casual. Kalau dipikir-pikir, aku dan dia sedikit ada kesamaan, tak suka bergaya pakaian formal. Berbeda dengan Rita dan Beni. Sepasang calon suami istri itu tampak serasi dengan dress batik bercorak orange couple. Rita memakai sepatu pantopel hitam dengan hak tiga sentian. Tubuhnya yang memang tak terlalu tinggi cukup terbantu. “Fa, kok pake kaos, sih?” protes Rita ketika aku membuka pintu mobil. Mau tak mau deh duduk di d
Aku menoleh. Beberapa detik dunia seakan berhenti. Itu ‘kan Abang Mart yang tempo hari. Duh, dia kenal aku gak, ya? Mau taruh di mana mukaku kalau dia inget aku yang mau janji bayar tapi gak jadi karena gak punya uang. Sebelum dia menoleh, sebaiknya aku menghindar. Bergegas aku menjauhi meja panitia. Namun mataku tetap memperhatikan Abang Mart yang tadi. Pakaiannya kali ini tampak rapi, berkelas bahkan dan tak terlihat seperti orang susah lagi. Apa dia minjam baju demi datang ke sini, ya? Ah, tapi masa iya, sih? Tak berapa lama, Pak Hakim Azhari yang tadi bertemu denganku muncul. Dia menyalami Abang Mart, tapi tampak sedikit membungkuk tanda sopan. “Loh, kok? Aku kira si Abang Mart ini pegawai atau anaknya Pak Hakim ini. Usianya jauh lebih muda, mungkin beberapa tahun di atasku. Tapi kok malah Pak Hakim yang membungkuk hormat seperti itu padanya.” “Eh, itu siapa pula?” Netraku memicing ketika terlihat ada perempuan cantik dan tinggi menghampiri Abang Mart. Dia terlihat muda dan ce