All Chapters of Another Word to Say I Love You: Chapter 1 - Chapter 10
18 Chapters
#PROLOG
Bayangkan bagaimana jadinya jika kau jatuh cinta pada lelaki yang seharusnya tidak sepantasnya kau cintai?Jatuh cinta tidaklah salah. Seseorang memang tidak bisa mencegah kepada siapa hatinya akan jatuh, namun jika rasa ini menjerumuskanmu pada lubang hitam yang kelam dan bisa menghancurkan masa depanmu dan dirinya, lalu siapa yang harus disalahkan?Buah cinta ini tidak boleh bertahan dan juga tidak boleh terlihat siapapun. Tentu saja kecuali aku dan dia. Jika dia tidak membantuku, maka aku sendiri yang akan menghancurkannya dari tubuhku.Bahkan aku juga yang akan menghilangkannya dari bumi.***Mahkluk kecil di dalam perutnya adalah hasil perbuatan kami. Ah tidak, jangan menyalahkan dia karena tidak bisa menjaga diri karena sebenarnya itu sama sekali bukan salahnya, tapi lebih padaku. Ini semua kesalahanku. Jadi jika ingin bertanya siapa yang salah, maka jawabannya sudah pasti aku, karena aku yang memulainya.Walaupun berkali-kali gadis it
Read more
1# Merebut
“Baguss ....” Lisa menghela napas. Hari ini adalah hari terakhir liburannya sebagai siswi SMP. Mulai besok ia harus memulai hari yang baru menjadi seorang siswi di SMA Nusa Bhakti, SMA Negeri yang terkenal biasa saja tapi cukup membuat gadis itu bernapas lega. Sebenarnya bukan tidak mungkin bagi dirinya untuk mendapatkan tempat yang lebih baik dari ini, hanya saja ini keputusannya dan Bima. Walaupun bukan SMA Favorit, tapi bagi Lisa bisa satu sekolah dengan Bima a.k.a sahabatnya sudah lebih dari cukup. Mengingat mereka memang selalu bersama semenjak TK, rasanya memilih sekolah yang sama sudah menjadi tradisi sejak dulu. Bahkan saat papi-mami Bima pindah ke Malaysia dua tahun lalu untuk urusan pekerjaan, lelaki itu lebih memilih tetap tinggal di sini bersama bibinya hanya demi agar tidak berpisah dengan Lisa. Hari ini Lisa dan Bima pergi ke toko buku. Seperti biasa mereka akan berpisah sesaat setelah memasuki toko. Bima pergi ke rak komik, sementara Lisa ke b
Read more
2# Pingsan
Lisa masih tidak habis pikir dengan kejadian aneh nan menyebalkan yang menimpa dirinya beberapa menit lalu di toko buku. Karena suasana hatinya menjadi buruk, akhirnya ia memutuskan untuk tidak membeli buku apapun. Bahkan ketika ia dan Bima sudah berpindah tempat ke Mcd, gadis itu masih memasang wajah kecut. Ia sedang berpikir keras. Bima yang sedari tadi bingung ada apa gerangan, hanya bisa menggeleng pasrah dan memilih untuk fokus saja dengan kentang goreng di hadapannya. Lelaki itu terlihat tidak begitu peduli. “Bim, Bima.” Di bawah meja, Lisa menendang pelan kaki Bima, tatapannya menerawang ke tembok sebelah meja mereka. “Apa?” Bima menyerngit, lalu menyuap beberapa keping kentang goreng ke mulutnya. Lisa menatap Bima lurus. “Menurutmu apakah aneh jika ada orang yang menguntitku?” “Tentu saja,” jawab Bima mantap. “Karena itu tidak mungkin.” “Kenapa bisa tidak mungkin?” Lisa mendengus.  “Sekarang lihat,” ujar Bima semba
Read more
3# Bertemu Lagi
Ketika Pak Edi memperkenalkan dan menyebut namanya, Pramana tersenyum dan melambai pada barisan murid. Saat mengedarkan pandangan, matanya terhenti pada salah satu siswi. Siswi itu berdiri di tengah, tepat di deretan pertama siswi perempuan. Seketika senyum Pramana memudar. Dia adalah gadis yang sama dengan yang ia pergoki di toko buku kemarin. Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Nyatanya dugaannya tidak meleset, gadis itu benar-benar menjadi muridnya. Namun Pramana merasa seperti ada yang salah dengan gadis itu, ia melihat dengan jelas bahwa raut wajah gadis itu gelisah dan pucat. Gadis itu jelas sedang tidak baik-baik saja. Sesekali matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia mencoba meraih punggung teman yang ada di depannya namun tidak sampai, dan Pramana melihat bahwa temannya itu tidak menyadarinya. Gadis itu limbung, tapi tetap berusaha bertahan.    Pramana terus mengawasi gerak-geriknya yang aneh. Gadis itu kini memejamkan matanya, ia terhuyung pelan
Read more
4# Pesan Bunda
Sore itu gerimis membasahi jalanan kota. Untungnya Lisa dan Bima buru-buru naik angkutan umum dan hujan berhenti beberapa saat kemudian. Mereka tiba di rumah dengan aman tanpa basah sedikit pun. Saat Lisa membuka pagar rumah nampak Bundanya sedang duduk di kursi teras seorang diri sambil menggenggam mug hijau kesayangannya. Lalu menyesap isinya pelan-pelan. “Hai Bunda,” Lisa menyapa ibunya sekilas, melepaskan sepatu lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Bunda menanggapinya dengan mengangkat mug di tangannya dan tersenyum. Gadis itu melempar tas ranselnya ke sembarang tempat, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu. “Haloo Bundaaa,” suara Bima terdengar menggelegar menyapa, “Bunda membuat panekuk hari ini?” “Tentu saja. Ambil saja di dapur. Ada selai nanas dan madu, ambil mana pun sesukamu.” Bima meringis senang. “Asyikkk!” setelah melepas sepatunya lelaki itu melengos masuk dan tidak menghiraukan keberadaan Lisa sedikit pun. Hal ini sudah lumrah bag
Read more
5# Dia Guruku
Pramana menghela napas panjang begitu menutup layar laptopnya. Sebelum mengajar, pagi ini semua guru dikumpulkan untuk meeting dadakan karena ada pembahasan mengenai pergantian guru di beberapa kelas. Tadinya Pramana dipercayai untuk mengajar mata pelajaran olahraga hanya di seluruh kelas sebelas baik dari jurusan IPA, IPS maupun Bahasa. Kebetulan guru olahraga di sekolah ini ada tiga orang, dua laki-laki termasuk dirinya sendiri dan satu perempuan. Namun ternyata satu guru olahraga lelaki pengajar kelas sepuluh telah genap pensiun tahun ini, sehingga saat ini tersisa dirinya dan satu guru perempuan bernama Bu Nike. Selain guru olahraga yang berkurang formasinya, juga ada dua guru lain yang harus paripurna tugas di tahun ini. Orang itu adalah guru matematika dan bahasa Inggris. Pihak yayasan juga sudah membuka pengumuman secara terbuka terkait lowongan tersebut. Selagi menunggu posisi itu terisi, untuk sementara waktu guru mata pelajaran yang ada harus merangkap dan
Read more
6# Salah Ukuran
Lisa mendecakkan lidah lalu memutar bola matanya. Belum sempat ia membalas perkataan Pramana, Naomi datang tanpa diminta dan menendang tulang kering kakinya pelan. Sementara Pramana hanya melirik, tidak menegur karena Lisa rupanya tidak merasa sakit sama sekali. “Berbarislah segera. Kumohon,” pinta Naomi kemudian. Lalu ia tersenyum manis pada Pramana sekilas, kemudian berlalu sambil mengikat rambutnya menjadi ikatan ekor kuda. Lisa buru-buru mengekor pada Naomi lalu berbaris bersama yang lainnya. Nampaknya gadis itu sedang tidak ingin berbicara apapun dengan gurunya. Alis Pramana terangkat, lalu ia mengangguk kecil. Baguslah, batinnya. “Alvin, kemari!” Pramana melambaikan tangannya memanggil Alvin. Siswanya itu lalu datang tergopoh-gopoh. “Tolong ambil beberapa bola basket di ruang peralatan, pintunya tidak terkunci, tapi jangan lupa menutupnya kembali nanti.” “Baik Kak!” Alvin memberi isyarat pada Bima bermaksud mengajaknya, lalu ber
Read more
7# Tidak.Suka.Padamu
“Aku sudah memperingatkanmu dua kali sebelumnya, kan?” Lisa hanya diam. Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Bima dan terus berjalan menuju kelas mereka. Kelas olahraga baru selesai sekitar lima menit lalu, dan sekarang waktunya jam istirahat pertama. “Jangan memasang wajah kesal seperti itu,” ujar Bima mengikuti langkah Lisa yang mendekati loker. Lelaki itu membuka melanjutkan ucapannya, “Lagi pula tidak ada yang menyalahkanmu. Kami semua memakluminya.” Mendengar penjelasan Bima, Lisa tersenyum masam. Memaklumi apanya? Memangnya siapa yang akan memaklumi seseorang yang ceroboh memilih ukuran setelan olahraga sehingga baju dalamnya sampai terlihat? Sepertinya Lisa lebih percaya bahwa sebenarnya teman-temannya diam-diam menertawakan dirinya di belakangnya. Ya walaupun tidak semua temannya seperti itu. Namun satu hal yang pasti, saat ini ia memang ‘malu setengah mati’. Kalau boleh jujur, walaupun niat Pramana tak lain dan tak bukan adalah melind
Read more
8# Resolusi
Pramana menghempaskan tubuhnya di kursi begitu selesai mengajar kelas terakhirnya di hari ini. Wajahnya menengadah ke atas dan ia menghembuskan napas keras. Tubuhnya cukup letih bukan hanya karena usai mengajar, tapi juga belum makan siang. Saat melirik jam dinding ruang guru, jam menunjukkan pukul satu. Bel tanda pulang siswa-siswinya memang masih kurang dua jam lagi, namun untuk guru yang memang sudah menyelesaikan kelasnya bisa meninggalkan sekolah tanpa harus menunggu. Kebetulan Pramana memang ada kuliah sore ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk ia tetap di sekolah. Akhirnya setelah berkemas, lelaki itu menenteng ranselnya dan menyambar jaket biru yang tersampir di lengan kursinya. Ia tercenung sejenak, tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini saat mengajar di kelas sepuluh IPS-1. Mengenai gadis bernama Lisa yang memakai setelan olahraga ketat, hingga berujung pada percakapannya dengan gadis itu di koridor ruang peralatan olahraga. Pramana masih mengingat raut wajah
Read more
9# Sakit Perut
“Kau tidak keberatan jika kita nanti berjauhan?” Lisa menelan salivanya sendiri. Pertanyaan Bima terus berulang di kepalanya saat ini. Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan ia menatap Bima lamat-lamat. Sejujurnya ia juga tidak tau harus menjawab apa.      Bima membenahi posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Lisa. “Ada apa denganmu? Kenapa kau diam saja?” “Tidak, aku tidak apa-apa,” gumam Lisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menghela napas. Sejujurnya ada sepercik rasa kecewa jika membayangkan ia harus berjauhan dengan Bima saat di masa perkuliahan nanti.  “Kau tidak keberatan? Sama sekali?” ulang Bima, lelaki itu ingin memastikan bahwa Lisa mengijinkannya. Mengingat dari TK, hingga SMA mereka selalu bersama di sekolah yang sama, rasanya memilih untuk berkuliah di luar negeri adalah keputusan yang harus dibicarakan bersama. Bahkan mereka juga berbagi rahasia dan cerita mengenai keluarga merek
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status