Semua Bab Jerat Cinta Sang Langit: Bab 1 - Bab 10
63 Bab
Bab 1. Menyebalkan
Asap menguar samar. Dentuman musik memekakkan telinga tak membuat dua insan itu tergoda. Pucuk hidung keduanya bersentuhan. Tangan kiri lelaki itu memeluk pinggang wanita erat. Sedang tangan kanan menahan punggung si wanita. Adegan panas bibir membuat orang lain yang melihat berpaling.Dalam sepersekian detik, semuanya berubah di luar kontrol. Leher jenjang si wanita yang hanya memakai kaos hitam ketat perut terbuka dan span mini telah basah oleh lumatan sang lelaki. Semakin ke bawah, remasan lelaki itu mampu membuat keduanya mendesah.“Grmmm.” Langit menggeram. Matanya merah menyala bak api membakar. Tangannya mengepal dijatuhkan ke meja. Sudah sekitar 5 menit ia menonton adegan hot kedua insan berlainan jenis itu bergumul tak melihat sekitar. Berjarak tak lebih dari sepuluh meter dari tempat duduknya, kelihatan kalau keduanya  tak mengetahui Langit berada di sana. Sekarang, saatnya ambil perhitungan. Tubuhnya bera
Baca selengkapnya
Bab 2. Patung Es
Langkah cewek itu berhenti mendadak tepat dua meter di depan Langit. Mulutnya terbuka, matanya melotot tak percaya. Netranya menghujam Langit. Dari bawah sampai atas. Mengamati secara detail setiap inci Langit. Celana jins biru dan kaus hitam dengan jaket jins biru pula. Wajah tampannya nyata-nyata tertera di sana. Tubuh atletisnya benar-benar idaman para wanita. Tapi cewek itu melihatnya tak minat, bahkan terkesan ada kebencian sinis di sana. “Kau?” desisnya takjub. Netranya menyamping memandang mobil Langit. Kembali arahnya ke Langit. Langit tak kalah tertegun. Di desa nan jauh dari hingar bingar kota, ada makhluk manis bak bidadari super polos turun dari kahyangan tanpa make up. Hanya memakai jins belel sana sini dan kaos hitam ketat dipadu hem kotak flanel panjang dengan kancing terbuka semua. Dipadu Sneakers biru bertali. Simpel dan madu!Cewek itu, lebih tepatnya gadis itu, tingginya setelinga Langit, Rambut hitam ikalnya
Baca selengkapnya
Bab 3. Misterius
Gadis itu, menghentikan langkah, mendengar gumaman Langit sepertinya. Menoleh dan menajamkan netra ke iris netra Langit. Raut mukanya penuh tanya. Kenapa pula cowok ini?Hanya detik yang membeku, Langit menepuk jidatnya sendiri. Duh, apa-apaan, sih, kenapa mata bulat gadis itu begitu menyita perhatiannya? Hening beberapa saat, sang gadis menghembuskan nafas pelan dan berbalik menuju pintu belakang.“Eh, mau kemana?” tanyanya reflek melihat gadis itu urung pergi. “Balik,” sahutnya menoleh lagi, heran. Langit melongo.“Balik mana?” tanya Langit seperti terkunci mau bilang apa.Gadis itu menunjuk rumah Pakde Tejo yang terlihat dari dapur dengan dagu terangkat sedikit. Langit menggaruk kepala dengan tangan kirinya bingung. Lalu berdiri mendekati gadis itu. Sangat dekat. “Ehm, makanan segini banyak, aku nggak bakalan habis. Temenin aku makan?” En
Baca selengkapnya
Bab 4. Galau
Hawa sejuk membuat Langit sedikit bermalas-malasan dengan selonjoran di karpet ruang tengah depan kamar. Ada TV berukuran besar di sana. Dinyalakan namun sama sekali tak menarik bagi Langit. Ia sibuk berkutat dengan ponsel dan laptop sekaligus. Sesekali menelpon seseorang atau dia yang ditelpon. Ada beberapa kerjaan yang akan dibereskannya hari itu. Meski jauh di desa, ia tetap harus mampu menganalisa masalah dan membereskan banyak hal pekerjan kantor. Ah, ya, kantornya sekarang ada di sini. Tanpa sekretaris, tanpa orang yang membantunya kecuali Pakde Tejo serta Bude Siti. Dan Bumi! Ah Bumi! Sekejap Langit menghentikan kesibukannya. Apa Bumi tinggal bersama pakde dan bude?Kenapa tadi tak langsung menanyakannya? Fiuh, Langit menepuk jidatnya pelan. Betapa lambatnya dia. Mata Bumi, dingin dan irit bicaranya, serta tubuh semampainya mampu membuat kebekuan Langit mencair sepersen. Ya, hanya satu persen saja. Di sisi lain, masih ada Dara. Dara! Ngapain memikirkan gadis
Baca selengkapnya
Bab 5. Terjebak
Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air  hujan.“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.“Bumi!” Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang
Baca selengkapnya
Bab 6. Terkulai
Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak. Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana. Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu.  Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas. Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebe
Baca selengkapnya
Bab 7. Ciuman
Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?” Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?” “Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali. “Kamu nggak papa? Beneran, nih?”  Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
Baca selengkapnya
Bab 8. Syarat
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”  Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk. “Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya? “Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin. “Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.  Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Baca selengkapnya
Bab 9. Panas
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya. Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.  Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas! Tangan kiri Langit menarik ma
Baca selengkapnya
Bab 10. Ketahuan
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci? “Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status