Semua Bab DINIKAHI KONGLOMERAT: Bab 1 - Bab 10
127 Bab
BAB 1
BAB 1 “Ta, ungkep ayamnya udah matang! Cepetan angkat dan goreng!” seru Wa Imah---kakak kandung ibu.“Iya, Wa … bentar tanggung lagi marut kelapa sedikit lagi!” tukasku. Keringat sudah membanjiri pipi.“Eh, Ta … tolongin buatin kopi dong buat akang-akang kamu! Udah pada datang! Masaknya belum kelar juga?” teriak Selvi---kakak sepupu pertamaku.“Sinta belum kelar, Teh! Teteh buatin aja atuh sendiri! Airnya udah aku rebus juga dalam termos! Di dispenser dalam rumah juga ada!” ucapku.“Eh, dasar ya! Kalau diperintah sama yang lebih tua itu jangan banyak tingkah, tinggal bikin kopi aja susahnya apa sih?” tukasnya dengan mata memutar jengah.“Siapa, Teh yang banyak tingkah?” Kudengar Rema, kakak sepupuku yang lainnya menyahut dari dalam rumah.“Itu Si Babu!”Meskipun benar pekerjaanku hanya sebagai pembant
Baca selengkapnya
BAB 2
BAB 2 Aku kembali berjalan menuju dapur dan meneruskan memarut kelapa. Pekerjaan yang tadi kutinggalkan. Setelah selesai memarut, kuremas hasil parutannya dan kubuat santan. Kemudian kuserahkan pada Wa Imah untuk melengkapi masakan rendangnya.Sementara itu aku menyalakan kompor dan mulai menggoreng ayam ungkep ayam yang sudah Wa Imah tiriskan.Ponselku kembali bergetar. Beberapa notifikasi pesan masuk.“Nomor baru lagi?” Aku menghela napas melihat nomor baru pada layar ponselku. Segera kuusap layar dan kubuka pesan yang masuk.[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!][Saya peringatkan lagi! Saya tidak main-main dengan ancaman saya! Jika kamu masih tidak mau mundur dan bercerai dari Ashraf! Jangan salahkan saya kalau kamu ak
Baca selengkapnya
BAB 3
BAB 3 “Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan hanya dari pendidikannya. Apakah Ibu pernah mendengar jika Nabi Muhammad kuliah S1 atau S2, enggak ‘kan, Bu? Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau ‘kan jika Allah memilihku dan meninggikan derajat kita suatu hari nanti?”Wanita itu makin terisak. Aku memeluknya erat untuk meredam kesedihannya. Karena ibu dan bapak-lah aku memutuskan menerima pinangan Tuan Muda Ashraf. Meskipun hati kecilku belum yakin, tapi dalam istikharohku itu yang Allah tunjukkan. Terlebih aku sudah lelah melihat kedua orang tuaku di anak tirikan oleh orang tuanya sendiri.“Eh, di suruh masak malah pada nangis!”Kumenoleh pada asal suara. Wa Ikah datang dari dalam. R
Baca selengkapnya
BAB 4
BAB 4 Aku menoleh pada bapak kemudian menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi kesukaannya.“Kalau Sinta bilang itu memang suami Sinta, memang Bapak percaya?” tanyaku sambil meletakkan kopi untuknya. Bapak dengan lahapnya mamasukan tiap potongan kue rusak itu ke mulutnya.“Duh, kamu tuh sukanya bercanda aja, Ta! Memang hidup kita serba kekurangan, tapi jangan gitu juga, Ta! Gimana perasaan suami kamu kalau mendengar kamu malah mengaku-ngaku orang lain jadi suamimu! Bapak tidak pernah mengajari kamu untuk memandang orang dari hartanya!” ucapnya panjang lebar. Aku memutar mata jengah sambil berjalan kembali ke tempat di mana aku sedang menyiapkan kue-kue untuk bingkisan.“Ya udah, kalau Bapak masih gak percaya, nanti Sinta ajak Bapak sama Ibu liburan naik pesawat, ya biar percaya!” ucapku menatap wajah Bapak yang sedang serius menceramahiku.“Udah ah, kamu malah makin nge
Baca selengkapnya
BAB 5
BAB 5 Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak.Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.“Pak, Bapak sedang apa?”Kepalanya menyembul dari rumpun dan menatapku.“Nyari rokok, Ta! Tadi habis disuruh ngambil kelapa sama Wa’ Ikah, rokoknya lupa masih bapak kantongin, pas tadi turun kho gak ada!” ucapnya sambil kembali membungkuk.“Pak, udahlah ‘kan rokok Bapak masih ada! Nanti Sinta beliin lagi pas pulang! Yang lain udah pada kumpul, tinggal Bapak sendiri yang belum di sana!” ucapku menatapnya.“Sayang, Ta! Udah capek-capek bapak nyuciin mobil, eh rokoknya malah ilang!” ucapnya lagi.“Ya ampuuun, Pak!
Baca selengkapnya
BAB 6
BAB 6 [Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?] [Siapa ini?] [Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?] Aku tertegun. Entah harus menjawab apa. Kenapa dia harus datang kembali di saat seperti ini?Aku membiarkan dan tidak membalas pesannya. Semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke kota.Segera kucuci semua gelas kotor yang sudah kukumpulkan. Piring-piring bekas, panci dan wajan bekas memasak tadi kucuci semua. Ibu dan Wa’ Imah juga tengah sibuk berbenah. Menjelang maghrib semua pekerjaan ini sudah selsai. Rumah kakek sudah bersih kembali.Aku bergegas menunaikan ibadah sholat maghrib. Bersujud dan meminta petunjuk atas kehidupan masa depanku kelak.Dalam untaian doa selalu kusisipkan dua nama yang selalu menja
Baca selengkapnya
BAB 7
BAB 7 Aku menoleh pada bapak. Kemudian aku menghampirinya.“Pak, ayo kita pulang nanti keburu malam!”Aku kemudian melangkah ke dalam menghampiri Ibu dan Wa’ Imah yang menyaksikan dari dalam. Aku berpamitan pada Wa’ Imah dan mengajak ibu pulang.“Ayo, Bu kita pulang nanti keburu malam!” Ajakku kemudian aku berpaling pada Wa’ Imah. Kuraih tangannya dan menciumnya. Aku mengeluarkan uang dual embar seratus ribuan.“Wa’ alhamdulilah Sinta ada sedikit rejeki, bonus dari Allah! Semoga ini bisa buat berobat Mang Husen!”Netra lesu itu berkaca-kaca menerima dua lembar uang pemberianku. Dia menyeka sudut matanya yang mengembun.“Memangnya kamu punya uang, Ta? Tadi aja 'kan pastinya uang simpenanmu yang dipakai buat bayarin ke Wa’ Ikah?” tanyanya menatapku.“Alhamdulilah … 'kan Sinta bilang dapat bonus dari Allah! Uwa
Baca selengkapnya
BAB 8
BAB 8  Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura?Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa?“Assalamu’alaikum!” Tiba-tiba kudengar seseorang yang mengucap salam.“Wa’alaikumsalam!” Aku, bapak dan ibu menjawab serempak.Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi, berdiri dari teras rumah kami yang masih gelap. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali sosok lelaki itu.“Maa Ta, aku berkunjung ke sini! Soalnya aku menunggu balasan pesan darimu tapi gak ada juga!” ucapnya sambil berjalan keluar dari teras menghampiri kami bertiga.“Eh, Nak Hafiz si kasep ini teh!” Bapak rupanya mengenali sosok yang kini tengah berdiri beberapa langkah jaraknya dari kami.
Baca selengkapnya
BAB 9
BAB 9 Aku menutup kaca dan melempar pandangan keluar jendela. Namun dari spion sebelah kiriku terlihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengernyit mengingat-ingat mobil serupa yang pernah kulihat.“Ya Allah itu 'kan, mobil Kang Hafiz! Kenapa dia mengikutiku?” batinku sambil terus memperhatikan laju mobil yang seolah menyesuaikan dengan kecepatan mobil yang kutumpangi.Aku masih berusaha untuk tenang karena jalan yang kami lewati belum memiliki percabangan. Berharap nanti di depan dia berbelok dan tidak mengikutiku lagi.Aku masih berusaha bersikap biasa sampai akhirnya dia mengikuti kami masuk toll. Aku masih melirik spion sesekali berharap tangkapan mataku salah. Namun ternyata memang dia masih mengikutiku. Aku tidak hendak memberitahu Bang Rudi masalah ini. Biarlah kucari caraku sendiri agar terhindar dari penguntit itu. Sebenernya apa, sih maunya?“Bang,
Baca selengkapnya
BAB 10
BAB 10 “Selamat datang, Non!” ucapnya sambil membungkuk menghormatiku. Aku melirik sekilas ke arah Bu Herman yang masih memegang uang beberapa lembar yang kuberikan. Aku melambaikan tangan padanya. Kulihat wajah wanita itu merah padam melihat perlakuan para penjaga rumah ini kepadaku. Apakah dia curiga siapa aku sebenarnya, entahlah?Aku bergegas masuk ke dalam rumah setelah menyapa para penjaga. Kulihat rumah masih sepi, mungkin para ART sedang beristirahat di taman belakang. Biasanya setiap pukul sepuluh pagi mereka akan istirahat dan menikmati camilan-camilan atau sekedar minum teh atau kopi yang memang sudah disediakan.Aku langsung menuju kamar utama. Kamar yang terpisah sendiri dan memiliki balkon yang cukup luas. Aku bergegas ganti pakaian menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh ibu Mertuaku. Semenjak aku menikah dengan putranya, ibu mertuaku melarang aku memakai pakaian yang berkualitas rendah. Buka napa-a
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status