Semua Bab Aku Menyerah Menjadi Istrimu, Mas!: Bab 1 - Bab 10
148 Bab
Satu
"Mil, ini jatah belanja bulanan untuk kamu. Lima juta rupiah. Cukup, 'kan?" tanyaku pada Mila, wanita muda yang baru sebulan lalu kunikahi dan kujadikan istri kedua. Kuangsurkan selembar amplop berwarna coklat padanya yang segera diterimanya dengan senyum tipis terkembang di bibirnya. Mila memang cantik. Ia selalu bisa memanjakan mata ini dengan penampilannya yang menyenangkan dan sedap dipandang mata. Ia juga tak pernah menolak setiap kali aku membutuhkan pelayanan darinya. bTak salah jika akhirnya aku mengambil keputusan untuk menjadikannya istri kedua guna melengkapi hidup yang selama ini terasa bosan dan menjemukan. Mila mengambil amplop gaji di tanganku lalu menyimpannya sedikit tak bersemangat.  Melihat ekspresinya yang tampak tak bersemangat itu, aku pun memicingkan mata dan bertanya heran. "Kenapa? Kurang ya?" tanyaku sembari meneliti paras cantik di depanku itu. Perempuan itu memandangku sekilas lalu menundukkan kepa
Baca selengkapnya
Dua
"Aaaaa ... aaaa ... aaaa ...." teriak ibu saat aku melintas di depan kamar beliau yang pintunya terbuka lebar. Seperti biasanya, itu kode jika ibu menginginkan sesuatu. Bukan ingin BAB atau BAK karena jika ingin melakukan dua hal itu, ibu cukup membuangnya di tempat tidur lalu Andin akan buru-buru membersihkan. Kode itu berarti ibu ingin minum atau makan, yang kedua-duanya harus disuapkan dengan telaten. Mendengar teriakan ibu itu, bergegas aku memanggil Andin yang barusan kulihat sedang membersihkan diri di kamar mandi. Aku sendiri sedang buru-buru karena Mila sudah menungguku di apartemen, hendak mengajakku sama-sama hunting baju baru di butik. "Din, Andin. Ini ibu manggil-manggil. Pengen makan mungkin!" teriakku pada Andin yang masih berada di dalam kamar mandi. Mendengar teriakanku, Andin diam saja. Tumben? Biasanya istri penurutku itu akan cepat-cepat datang untuk melaksanakan perintahku. Tapi kali ini kelihatannya tidak meski aku y
Baca selengkapnya
Tiga
"Mas, aku pergi dulu ya. Tolong jaga Sekar dan Seruni. Aku nggak akan lama. Paling mau ke butik Jeng Dina aja. Lihat-lihat koleksi terbarunya yang kemarin dipajang di I*******m," ucap Andin sembari menyampirkan tas di pundak lalu bersiap pergi. Aku yang sedang menyuapi ibu bubur nasi, hanya bisa melongo heran. Aneh.Tak biasa-biasanya Andin begini, ingin pergi ke butik segala untuk belanja pakaian. Biasanya ia hanya akan menunggu setahun sekali untuk beli baju baru, itu pun cuma beli di kios kaki lima pinggir jalan, bukan di butik seperti ini. Apalagi butik milik Jeng Dina, seleb kompleks perumahan yang punya bisnis toko pakaian besar di kota ini. Satu pertanyaan lagi, alasan apa sih yang tiba-tiba membuat istriku berubah drastis secepat ini? Dari istri kampungan dan tak bisa dandan, menjadi istri yang tiba-tiba peduli fashion, sampai hendak ke butik segala. Ya. Apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri Andin hingga dia yang biasany
Baca selengkapnya
Empat
"Pa, Nenek BAB. Udah gelisah dari tadi, kayaknya minta dibersihkan," beritahu Seruni dari arah pintu kamar yang terbuka. Aku yang sedang tiduran sembari sibuk dengan ponsel di tangan membalas pesan Mila yang sedari tadi sibuk protes karena kami gagal pergi bersama, merasa terkejut mendengarnya. Apa? Ibu buang air besar? Ya Tuhan, pasti bau sekali dan tak nyaman membersihkannya. Kalau nyaman dan tidak berat, pastilah pengasuh-pengasuh yang selama ini kupekerjakan merawat ibu, akan betah bekerja di sini merawat dan melayani beliau. Tidak bosan dan minta berhenti bekerja karena tak sanggup lagi mengurus wanita yang telah melahirkanku ke dunia itu seperti alasan mereka. Beda dengan Andin yang kulihat memang selalu sabar mengurus ibu. Bukan saja soal makan, tapi juga soal buang hajat di tempat tidur seperti saat ini. Andin memang menantu yang baik. Tidak salah aku memilih
Baca selengkapnya
Lima
"Assalamualaikum, Mas ... anak-anak? Mama pulang." Sebuah suara terdengar dari arah depan rumah.  Aku yang sedang membersihkan tubuh ibu serentak menoleh padanya dan tersenyum lega. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya malaikat penolong itu pulang juga. Segera kuletakkan kain lap, lalu menyongsong Andin yang baru saja pulang. Tapi ... melihat penampilan Andin saat ini, serta merta kuhentikan langkah lalu membulatkan mata lebar-lebar. Tidak salahkah penglihatan saat ini? Andin terlihat beda dari biasanya. Tubuhnya yang biasanya bau keringat dan beraroma tak sedap, sekarang menguar bau harum yang melenakan indera penciuman. Rambutnya yang biasanya hanya diikat ke atas dengan tali rambut seadanya, sekarang sudah dirapikan dan terlihat berkilau dan wangi. Ke mana sebenarnya Andin seharian ini, kok bisa berubah drastis jadi cantik seperti sor
Baca selengkapnya
Enam
"Jadi kamu mau mengungkit-ungkit kebaikan yang sudah kamu lakukan pada ibu, Din? Apa itu pantas? Lagipula kenapa sih tiba-tiba kamu berubah begini? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba kamu marah-marah begini. Kamu mau apa sebenarnya?" tanyaku sembari menatap wajah Andin lekat.   Wajah yang biasanya lugu dan polos itu entah kenapa sekarang berubah dingin dan datar. Ah, apa sih yang sebenarnya membuat Andin seperti ini? Apa salahku sebenarnya?   "Aku nggak ngungkit-ngungkit, Mas. Kamu saja yang aneh, masa bersihin kotoran ibu kandung sendiri kok perhitungan. Ibu kan ibu mas sendiri. Saat mas kecil, beliau yang mandiin dan nyuciin kotoran mas, masa sekarang mas gak mau gantian? Ingat, kunci surga mas ada di bawah telapak kaki ibu, kalau aku aja yang merawat beliau, apa mas nggak takut surganya dikasihkan ke aku?" tanya Andin terdengar konyol di telingaku, membuatku merasa dipermainkan karena ucapan kekanak-
Baca selengkapnya
Tujuh
"Din! Andin!" Turun dari mobil, aku langsung masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil istriku. "Ada apa sih, Mas? Jangan teriak-teriak gitu dong, ibu baru saja tidur, nanti bangun." Andin muncul dari balik pintu kamar ibu lalu menyahut sembari menempelkan telunjuk di bibir, memintaku memelankan suara. "Kamu ganti pin ATM mas ya? Ngapain sih diganti-ganti segala? Terus kamu kemana kan uang lima juta yang kamu ambil dari ATM mas itu? Kemarin mas kan udah kasih kamu jatah belanja, kok masih ngambil uang lagi!?" tanyaku dengan amarah yang tidak bisa dibendung.  Gara-gara dia, Mila ngambek seharian hingga acara jalan bersama wanita itu jadi tak nyaman karena ia terus-terusan manyun dan membuat suasana jadi tidak enak. "Aku ambil uang buat ke salon dan beli pakaian baru, Mas. Nggak masalah kan sekali-kali aku menikmati uangmu? Toh, aku
Baca selengkapnya
Delapan
"Din, kamu mau ke mana?" tanyaku pada Andin yang tampak sedang berdandan di depan kaca rias. Penampilannya terlihat bersinar dengan sapuan make up tipis yang dipoleskan ke wajahnya.   Mengenakan tunik panjang berwarna krem,  jilbab sepunggung serta sepatu bertumit tinggi yang tampak melekat pas membalut kaki kurusnya, penampilan istriku itu kelihatan muda dan menawan. Aih, mau ke mana istriku ini pagi-pagi begini sudah rapi?   "Din, kamu mau ke mana?" tanyaku dengan tatapan ingin tahu kuarahkan padanya. Tanpa berpaling, Andin membuka mulutnya.   "Mau ke kantor, Mas. Hari ini aku mulai masuk kerja," sahutnya singkat.   Mendengar jawabannya, sontak aku mendongak kaget. Jadi ia benar-benar serius soal hendak bekerja kembali kemarin? Apa dia tak mendengar keberatan dan penolakan dariku?   "Kamu mau kerja l
Baca selengkapnya
Sembilan
Andin mengusap pipinya yang terlihat merah akibat tamparan tanganku. Matanya menyapu wajahku dengan tajam. Ada kilat marah dan kebencian yang terlihat jelas di sana, tetapi Andin tak bicara apa-apa melainkan secepat kilat membalikkan tubuhnya dan berlalu dari hadapanku, menuju ke luar kamar.Aku mematung, memandang telapak tangan yang barusa melayang ke wajah istriku itu. Seumur-umur baru kali ini aku menyakitinya secara fisik. Dulu tak pernah, sebab Andin selalu menuruti apa pun perintah dariku. Bahkan saat aku memaksanya berhenti bekerja di saat kariernya sedang berada di posisi puncak, Andin menurut saja demi mendapat ridho-ku. Tapi itu dulu, saat belum ada Mila dalam hidupku. Saat aku masih menjadikan Andin satu-satunya wanita di hati ini. Meski kala itu perusahaan yang kudirikan belum besar, tetapi wanita itu bersedia patuh mengikuti mauku demi baktinya sebagai seorang istri. Tetapi saat perlahan Mila mulai hadir dan merenggut
Baca selengkapnya
Sepuluh
Aku menutup telepon dan menyeringai lebar setelah berhasil bicara dengan Maruto.   Setelah kuancam dengan keras akhirnya lelaki itu berjanji akan membatalkan tawaran bekerja kembali pada Andin sebab takut aku benar-benar membatalkan kerjasama dengan perusahaan yang ia pimpin.   Ia sendiri mengatakan jika selama ini tak tahu kalau Andin adalah istriku, sebab saat wanita itu resign dari pekerjaannya, saat itu namaku belumlah dikenal orang karena masih benar-benar baru di dunia perusahaan.   Tapi, aku tak peduli itu. Bagiku cukup ia bersedia kerja sama dengan tak memberikan lowongan pekerjaan pada Andin, itu sudah cukup.   Aku ingin melihat seberapa kuat ia bertahan hidup tanpa pekerjaan dan tanpa bantuanku di luar sana.   Aku ingin tahu seberapa lama ia akan sanggup mempertahankan prinsip
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status