All Chapters of Bukan Perawan Tua: Chapter 1 - Chapter 10
73 Chapters
Malam Pertama
Aku akui salah dan dosaku ini memang banyak. Dosaku bejibun, tak terhitung. Tapi kenapa harus seperti ini takdir hidupku?   "Aaa!" Untuk kesekian kalinya aku berteriak frustrasi di malam pertama.   "Tante berisik banget dah! Ngapain teriak-teriak mulu, sih? Minta dikelonin?"   Mataku melotot. Bocah ingusan ini memang selalu membuatku kesal. Dari awal pertemuan kami, dia memang sangat menyebalkan. Mama dan Papa juga tak kalah kejam.   Hanya karena sering mendapat cibiran dari para tetangga bahwa anaknya ini perawan tua, Papa dan Mama tega menikahkanku dengan bocah ingusan yang usianya bahkan dibawah tujuh tahun dariku. Beda usia tujuh tahun, gaes! Bayangkan! Aku lebih mirip induk bebek dari pada seorang istri. Dia masih dua puluh tahun. Ya ampun! Masih imut-imut harusnya. Tapi ini, kok, ya amit-amit.   Wajahnya lumayan cakep, sih. Hidungnya mancung juga. Cuma kulitnya kusam. Mungk
Read more
Tersinggung
Kuusap keningku berkali-kali agar bekas ciuman si Rafael hilang. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia tidak salah juga. Aku ini, kan, istrinya. Mau diapain juga sudah halal.   "Kamu kenapa, sih, May? Dari tadi Mama lihatin itu kening diusap-usap mulu. Pusing?"   Aku memutar bola mata malas. "Iya, pusing banget. Mual, mau muntah juga," jawabku asal.   Di luar dugaan, Mama malah menganga sambil melotot, "Wah! Hebat banget si Rafael, ya. Baru juga semalam, udah tokcer aja."   Yasalam! Apa yang sedang dipikirkan Mama sekarang?   "Tokcer apanya, sih, Ma? Mama pikir aku hamil gitu? Astaga, Ma! Mana ada orang baru tidur bareng semalam langsung hamil? Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain, kok," jawabku kesal.   Mama tergelak, lalu melenggang meninggalkanku begitu saja. Puas banget itu ketawanya.   Rasanya seisi rumah ini lama-lama membuatku n
Read more
Suami Salih
Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana?   Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku.   **   Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama.   Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali.   "Dari mana?" tanyaku serius.   Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku.   Aku mera
Read more
Bulan Madu
Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu.   Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun.   "May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!"   Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih?   Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu.   "Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam.   "Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau
Read more
Masih Bulan Madu
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue." Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga. Sadar, Mayang! Sadar! Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga. "Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya. "Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya. "Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini." Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!" Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
Read more
Keseleo
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini.   Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan.   "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?"   Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD."   "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan."   Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin.   "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
Read more
Romantisnya Rafael
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh. "Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?" Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu. "Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku. "Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese. Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi. "Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Read more
Bertemu Duda
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis. Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu. Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman. "Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang. "Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut. "Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Read more
Ke Mana Rafael?
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya?   Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab!   Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?"   Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk.   Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?"   "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Read more
Hadiah Ulang Tahun
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael? Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan. Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang. "Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol. "Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis." Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status