All Chapters of MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU: Chapter 1 - Chapter 10
41 Chapters
AWAL KEJADIAN
MENOLAK DIHINA“Kok baru datang sih! Dari tadi kami sudah nungguin sampai pegal.” Baru saja membuka pintu, kami langsung disambut dengan kemarahan oleh Mas Rafly, kakak tertuaku. “Maaf, Mas! Tadi di jalan hujan. Jadi kami berteduh dulu,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah. Suamiku mengikuti di belakang membawa ransel kami. “Makanya beli mobil kayak kita, jadi kalau hujan enggak kehujanan,” cibir Mbak Mela, istri Mas Rafly. “Kami juga punya mobil, Mbak. Hanya saja sedang dipakai buat mengangkut barang,” sahutku setelah mencium takdim punggung tangan bapak dan ibu kemudian duduk di antara mereka. Suamiku meletakkan barang bawaan kami di pinggir tembok lalu duduk di sebelahku. Tentu saja setelah bersalaman dengan orang tuaku. “Punya kamu itu bukan mobil, tapi gerobak!” ejek Mas Rendy, kakakku yang nomor dua. “Iya, palingan juga mogok! Harusnya mobil kamu dijual rongsok saja!” timpal Mas Rafly.Sontak seisi ruangan dipenuhi oleh tawa kedua kakakku dan istrinya. Aku merasa tersinggung
Read more
BAB 2
“Ini gara-gara kamu! Jika bukan karena kamu yang sok kaya, pasti Bapak akan membagi uang itu!” Baru saja Bapak dan Ibu beranjak, Mas Rafly langsung memaki suamiku. “Loh, ini kan keputusan Bapak. Kenapa malah kami yang disalahkan!” sanggahku. “Seharusnya kamu setuju uang itu dibagi saja. Bukan malah menyumbang. Kami yang hidupnya enak saja enggak sok kaya seperti suamimu,” tambah Mas Rendy. Astaga! Baru tadi Mbak Arum bilang enggak pegang uang, eh sekarang suaminya bilang hidupnya enak.Aku melirik pada Mas Damar yang sedari tadi hanya tersenyum saja. Aneh! Dihujat kok bisa setenang itu. “Pokoknya kalian tak boleh menyumbang Bapak! Kalian harus membujuk Bapak agar membatalkan niatnya. Uang itu harus dibagi!” tekan Mas Rafly dengan mata menatap nyalang pada kami. Aku mengelus dada mendengar pernyataan kakakku. Sebagai anak seharusnya mendukung orang tua yang punya hajat baik. Bukan malah seperti itu. “Enggak bisa dong, Mas! Itu uang mereka. Jadi terserah Bapak mau dipakai buat a
Read more
BAB 3
3.“Jangan berlagak bodoh. Cepat kembalikan uang Bapak!” seru Mas Rendy. “Aku tidak mengambil uang itu!” Mas Damar menggeram. Tangannya terkepal. Tubuhnya bergetar seolah sedang menahan kemarahan. “Jangan bohong! Mengaku saja. Daripada nanti kami laporkan ke polisi,” tekan Mas Rafly. Mas Damar mendekat pada kakak pertamaku. Diraihnya kerah baju Mas Rafly lalu mencengkeram erat. Dia mengangkat tangan bersiap melayangkan tinju. “Jangan, Mas!” Aku menjerit, merangkul suamiku berusaha meredam amarahnya. “Hentikan!” bentak Bapak yang sedari tadi terdiam. Perlahan Mas Damar menurunkan tangan lalu melepas cengkeraman. Nafasnya masih memburu, tapi suara gemeletuk giginya tak lagi terdengar. “Kita sedang tertimpa musibah, tapi malah kalian bertengkar kayak anak kecil!” marah Bapak. Suasana hening seketika. Hanya ketegangan yang tersisa di antara kami. “Aku yakin Damar yang ambil uang itu, Pak!” Mas Rafly kembali menuduh suamiku. “Apa kamu punya bukti?” Bapak menatap penuh selidik pad
Read more
BAB 4
Aku berbalik arah, berniat kembali ke dalam, tapi ternyata mereka semua ikut keluar kecuali ibu. “Puas kalian telah memfitnah kami!” bentakku menatap nyalang pada mereka. “Memfitnah bagaimana? Semua bukti mengarah pada kalian. Jadi jangan terus mengelak.” Mas Rendy balas membentak. “Bukti? Bukti yang mana? Apa hanya karena kami miskin jadi bisa dianggap maling? Dasar kalian picik!” Aku mengumpat, melampiaskan kemarahan. “Sekar!” Hardik bapak. Aku tersentak kaget, tapi dengan cepat amarah kembali menguasai pikiran. Berjalan mendekat pada lelaki yang sangat kuhormati.“Sekar pikir Bapak akan bijak menyikapi hal ini. Tapi ternyata salah. Bapak juga ikut-ikutan menuduh. Sekar kecewa sama Bapak!” tegasku berurai air mata. Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat sempurna di pipi sebelah kiri. Refleks, aku memekik memegangi pipiku yang terasa memanas. “Ini yang suamimu ajarkan? Dulu kamu tak pernah berkata kasar pada Bapak. Tapi setelah menikah justru kebalikannya. Bapak menyesal telah men
Read more
BAB 5
Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati. Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. “Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. “Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil melul
Read more
Bab 6
“Ibu menemukan di kamar Rafly.” Ibu tertunduk lesu.Kontan saja aku dan Mas Damar terperangah mendengar pengakuan Ibu. Enggak menyangka kakakku setega itu. Apa saking bencinya sama suamiku sampai memfitnah kami. Mas Damar mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, menyiratkan kemarahan yang nyata. “Tapi Ibu mohon jangan melabrak dia. Ibu tak ingin kalian bertengkar,” harapnya cemas. “Kenapa Ibu tidak jujur dari awal?” protes Bapak yang juga kaget. “Ibu tak ingin anak-anak kita bertengkar, Pak,” jawab Ibu mulai terisak. “Tapi bukan begitu caranya. Itu sama saja membiarkan mereka menzalimi kami,” Mas Damar menatap kecewa pada Ibu. Hening. Tak ada kata terucap apalagi canda dan tawa. Kami diam dalam kekakuan. “Sekarang di mana Mas Rafly?” Mas Damar bangkit. Berjalan keluar lalu kembali masuk. “Mereka sudah Ibu suruh pulang,” jawab Ibu. “Kenapa malah di suruh pulang, Bu? Seharusnya Mas Rafly didudukkan bersama kita,” keluhku. “Ibu sudah menasihati dia. Kakakmu juga sudah minta ma
Read more
WARISAN
Menjelang magrib para tetangga berangsur-angsur pulang hingga menyisakan kami sekeluarga. Semua pekerjaan sudah selesai. Tinggal menunggu acara yang akan dimulai bada isya. Sembari menanti magrib tiba, aku duduk di teras bersama Mas Rafly, Bapak dan Ibu. “Sudah hampir magrib, tapi Rendy dan istrinya belum datang juga. Kenapa ya, Bu?” Bapak terlihat gelisah. “Enggak tahu, Pak. Mungkin dia ada kepentingan jadi terlambat datang,” sahut Ibu tak kalah gelisah. “Iya ... Mas Rendy kan sibuk.” Aku berusaha menenangkan mereka.Bapak diam. Namun, raut gelisah masih tersirat dari wajahnya. Dia bangkit, mondar-mandir sebentar lalu duduk kembali. Tak berselang lama, sebuah motor dengan tiga orang penumpang memasuki halaman. Mas Rendy, Mbak Arum dan Tiara, anak mereka segera turun. Mas Rendy mengambil ransel sementara Istrinya menggandeng anaknya yang baru kelas dua SD. “Mobil kamu mana, Ren?” tanya Mas Rafly. Mas Rendy tak langsung menjawab. Dia menyalami kami bergantian. Pun dengan Mbak Ar
Read more
MEMPRIHATINKAN
Tadi, seusai subuh Bapak dan Ibu berangkat. Mereka dijemput oleh tim penyelenggara, jadi kami tak ada yang mengantar. Setelah mereka berangkat, Mas Damar membersihkan halaman belakang rumah. Mencabuti rerumputan yang mulai tumbuh. Tanpa di minta, aku membawakan secangkir kopi dan kue bolu sisa semalam. “Istirahat dulu, Mas.” Aku meletakkan minuman di atas tunggul kayu yang menyerupai meja. “Iya.” Mas Damar mendekat, duduk di atas batang kayu lalu mengambil cangkir dan menyeruput isinya. “Pahit banget kopinya, Dek!” ucap Mas Damar. “Masa sih, Mas?” tanyaku tak percaya. “Iya. Coba saja sendiri!” perintahnya. Aku mengambil cangkir itu lalu mencicipi sedikit. Memang benar agak pahit, tapi bukannya selera Mas Damar seperti ini?“Biasanya juga kayak gini rasanya,” protesku. “Iya, tapi biasanya aku minum sambil lihat senyummu, tapi sekarang kamu murung begitu,” jawab suamiku. “Terus apa hubungannya sama kopi?” tanyaku bingung.“Senyum kamu,” sahutnya memasang wajah serius. “Senyu
Read more
TAK TAHU MALU
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba pintu kamar diketuk tiga kali. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sedikit. Untung saja aku tak lupa mengunci pintu, jadi tak perlu khawatir. “Mengganggu saja!” gerutuku lirih. “Sekar... keluar sebentar. Kakakmu ingin bicara, kami tunggu di ruang tamu,” ucap Mbak Arum setengah berteriak. “Iya, Mbak, sebentar!” jawabku. Gegas aku bangkit, membenahi pakaian lalu mengikat rambut yang awut-awutan. Mas Damar hanya diam menatap kecewa. Sesampainya di ruang tamu, Mas Rendy telah duduk berjajar dengan istrinya. Aku menghempaskan tubuh di atas sofa menghadap mereka. “Ada apa, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Mas Rendy menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan-lahan seolah sedang menata pikiran. “Begini, kamu kan sudah tahu masalah yang sedang menimpa kami. Aku harap kamu mau membantu kami,” ucap Mas Rendy terdengar ragu. “Membantu bagaimana, Mas?” tanyaku penasaran. “Kami mau pinjam uang sama kamu. Siapa t
Read more
ARISAN KELUARGA
Beberapa hari ini Mas Damar bolak-balik dari rumah ini ke rumah yang satu. Sebenarnya aku kasihan dengan suamiku. Aku sudah memintanya untuk libur tapi dia menolak. Pekerjaanlah yang jadi alasan utamanya. Hari ini aku memaksanya libur bekerja. Selain karena ingin berduaan, nanti siang ada acara arisan keluarga di rumah pakde Herman, kakak Ibu yang tertua. Sebuah acara yang diadakan untuk mempererat tali persaudaraan, tapi tak jarang dijadikan ajang pamer kekayaan. “Mas, kita sarapan singkong rebus saja ya, mau masak tapi takut enggak dimakan. Kan kita mau ke rumah Pakde Herman. Nanti malah Mubazir,” ucapku seusai salat subuh. “Iya, singkong juga bagus buat sarapan,” jawab suamiku. Sebenarnya Mas Damar tak pernah mempermasalahkan mau masak apa. Selama ini dia tak pernah memprotes masakanku. Namun, tak ada salahnya jika aku bilang dulu. Aku melipat mukena lalu segera ke dapur. Tak banyak yang kukerjakan pagi ini. Piring dan gelas kotor sudah kucuci semalam sebelum tidur. Sengaja
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status