All Chapters of IBUKU PELAKOR: Chapter 1 - Chapter 10
98 Chapters
Perselingkuhan Bima dan Ibu
"Kok sepi," gumamku sendiri. Tak biasanya kondisi rumah tampak lengang begini. Biasanya ibu selalu ada di teras mengurus tanamannya setiap aku pulang kerja. Bik Sum, juga tak tampak batang hidungnya. Wangi masakannya juga belum tercium. Padahal, biasanya kalau aku pulang kerja, wangi masakan Bik Sum, selalu menggugah seleraku. "Astagfirullah, lupa kalau ini masih jam 2." Kutepuk sendiri jidatku. Aku lupa, kalau hari ini aku pulang lebih cepat dari sekolah tempatku mengajar. Biasanya, setelah jam pelajaran berakhir. Aku mengajar les beberapa siswa yang masih belum mengerti materi pelajaran yang kuberikan di kelas. Tapi hari ini, mereka pada libur les, karena ingin melaksanakan tugas kelompok di rumah salah satu siswa.Kucoba membuka pintu depan, ternyata dikunci. Huft, mana nggak bawa kunci cadangan lagi. Coba ke belakang ah, siapa tau, Bik Sum sama Ibu lagi di dapur. Kalau jam segini, Bapak biasanya masih di kantor desa. Sambil mengelus perutku yang membuncit, aku jalan lagi dari
Read more
Pendarahan
Sakit di perutku semakin hebat, bahkan hingga membuat kakiku menggeletar. Aku meringis, berusaha menahan rasa sakitnya. Kurasakan ada yang merembes dari dalamanku. Ya Allah, semoga kandunganku baik-baik saja. Aku mencoba bangkit, aku harus ke rumah sakit sekarang. Atau ke klinik yang terdekat dari rumah. Tertatih aku berjalan sambil memegangi perutku, kurasakan ada yang mengalir dari sela-sela pahaku. Aku tak dapat melihatnya, karena aku mengenakan gamis juga celana kulot di dalam gamisku. Ah sudahlah, tak usah dilihat dulu. Sekarang pikirkan saja, caranya bisa sampai ke rumah sakit. Kamar, kamar adalah tujuanku. Tasku tadi ada di kamar. Gawaiku ada di dalam tas. Aku ingin memesan taksi online dulu. Sampai di kamar, aku langsung meraih tasku. Sambil memegangi perut dan pinggangku aku duduk di tepian ranjang. Kuhapus kasar air mata yang terus saja mengalir. Ah, kenapa mata ini selalu saja tidak kompak dengan keinginanku. Aku tak ingin menangis, tapi mata ini, terus saja memanas. Mu
Read more
Tak ingin pulang ke rumah
Airmata terus merembes dari sudut mataku. Ya Tuhan, jangan ada apa-apa dengan anakku."Alhamdulillah, anaknya terlahir sempurna. Laki-laki. Hanya karena lahir prematur, sementara ini, dimasukkan ke inkubator dulu ya," kata Dokter Karmila sambil tersenyum penuh arti.Allah, alhamdulillah. Rasa bahagia segera mengaliri relung hatiku, kala mendengar kata-kata Dokter Karmila. Airmata kesedihan yang tadinya mengalir deras, kini mengalir lebih deras karena rasa haru sedang merajai hatiku. Syukurlah Nak. Kamu selamat. Tanpa kamu, Bunda nggak akan sanggup menghadapi semua ini. Demi kamu Nak, Bunda akan kuat menghadapi badai yang sedang memporak porandakan keluarga kita. "Ya sudah, saya tinggal dulu ya," ucap Dokter Karmila."Saya ingin lihat anak saya, Dok," kataku sebelum Dokter berwajah manis itu keluar dari ruangan tempat aku dirawat."Sabar ya Bu. Bayinya sehat kok, tak ada masalah apapun dengan kesehatannya. Paling hanya dua atau tiga hari saja di inkubator. Besok, Ibu bisa minta dit
Read more
Ingin berpisah
"Divya," panggil Bulek Ratmi lembut, saat aku sedang berada di kamarku. Begitu Bapak pulang, aku langsung masuk ke kamarku.Kuusap air mata yang mengalir di pipiku. Sebelum Bulek Ratmi sempat menatap wajahku. "Iya Bulek," sahutku. Aku pura-pura memperbaiki kain selimut yang menyelimuti anakku. "Cerita sama Bulek. Kamu sedang ada masalah apa sama Bima?" tanya Bulek Ratmi pelan, takut mengganggu tidur anakku yang nyenyak.Aku menghela nafas, sejak aku kecil, tak ada hal yang bisa aku sembunyikan dari Bulek Ratmi. Dia selalu saja tau, kalau aku sedang dalam masalah.Masa kecilku memang lebih banyak diasuh oleh Bulek Ratmi. Ibuku yang menikah di usia muda, tak bisa mengurusku dengan baik. Apalagi, jarak usiaku dan Satria adikku tak sampai dua tahun. Jadilah masa kecilku dihabiskan di rumah Nenek. Setelah aku sekolah Aliyah, baru aku ikut Bapak dan Ibu.Ah, aku rindu dengan adikku itu. Dia sekarang sedang berada di Kalimantan. Mengurus kebun sawit Bapak, warisan dari Kakek yang ada di sa
Read more
Move on
Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Read more
Pembelaan Bapak yang berat sebelah
Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Read more
Darah tinggi
Bapak jatuh tergeletak di lantai, cepat aku berlari ke arah Bapak. Membiarkan koperku terletak begitu saja."Pak, Bapak!" Aku histeris. Bapak mencoba mengangkat tangannya, lalu dilambaikan padaku. Seolah mengatakan jangan bantu. Bapak bangkit. Bapak kesusahan untuk bangkit, tubuhnya seperti kaku. "Ya Allah, Pak!" Ibu datang. Dia langsung histeris melihat keadaan Bapak. Ibu juga berusaha membantu Bapak bangkit, tapi Bapak juga melambaikan tangan, melarang Ibu menolongnya. Tapi Ibu abai, dia tetap membantu Bapak untuk duduk. Aku juga tak tinggal diam, Kubantu Ibu untuk mendudukkan Bapak. Sementara aku lupa akan hal yang baru terjadi pada kami.Aku sangat cemas dengan keadaan Bapak. Bapak mendadak kehilangan suaranya. Bapak berusaha bicara, tapi suaranya seakan tertahan di lehernya."Kenapa Bapak?" Mas Bima baru datang, entah darimana, aku tak peduli tentang itu. "Bim, tolong panggil Dokter Toto," titah Ibu. Mas Bima langsung cepat pergi menuruti titah Ibu. Aku dan Ibu berusaha meng
Read more
Haruskah ada kesempatan kedua?
Bapak benar, kalau aku pergi meninggalkan Bapak, tanpa menyelesaikan masalahku dengan Mas Bima terlebih dahulu. Mas Bima pasti tetap akan bertahan di rumah ini. Tentunya dia akan semakin bebas berbuat apa saja di rumah ini dengan Ibu. Apalagi kondisi Bapak sedang kurang sehat. "Bapak usir saja Mas Bima," saranku."Tak semudah itu Divya. Bisa jadi, akan tersebar berita fitnah di luar sana. Bukan hanya nama baik Bapak yang akan tercoreng. Tapi juga nama kamu. Kamu pikir ulang lagi keputusanmu." Huft, lagi dan lagi Bapak memintaku memikirkan ulang keputusanku. Persetan tentang nama baik. Daripada batinku terus tersiksa. Tapi tampaknya, prinsipku berbeda dengan Bapak."Kalau kamu merasa tak nyaman tinggal di rumah ini. Kamu dan Bima, bisa menempati rumah yang ada di kebun," kata Bapak. "Divya, Bapak tak pernah minta apa-apa sama kamu kan? Sekali ini Bapak memohon sama kamu, nurut sama Bapak. Bukan Bapak tak memikirkan tentang perasaan kamu. Tapi kamu juga tak bisa secepat itu mengambil
Read more
Rewelnya Arsen
"Cup cup Sayang. Panas ya Nak? Kita keluar ya," ucapku.Kugendong Arsen keluar rumah. Mungkin dengan menghirup udara segar di luar, Arsen bisa tenang. Terus kutimang tubuh mungilnya, namun tak kunjung Arsen mau diam. Aku mulai kewalahan, apalagi wajah Arsen hingga memerah. Aku khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan. Rasa cemas mulai menjalari hatiku. Suaranya tangisannya sangat melengking. Sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Nak, apa kamu bisa merasakan kepedihan hati Bunda? Atau kamu bisa merasakan, kalau Bunda ingin membawamu pergi jauh dari ayahmu?"Sini Sayang," kata Mas Bima yang ternyata ikut keluar menyusulku.Dia mencoba mengambil Arsen dari gendonganku. Kali ini, terpaksa aku menyerahkan Arsen padanya. Aku harus menepiskan egoku demi Arsen. Aku khawatir, tangis Arsen akan berkelanjutan."Hei, jagoan. Kenapa Sayang?" katanya pada Arsen, sambil menatap wajah Arsen. Ah Mas. Melihat caramu membujuk Arsen, membuat hatiku luluh. Kenapa Mas, kamu mengkhianati a
Read more
Telepon dari Adek
"Pak, kunci rumah yang di kebun mana?" Bapak tercengang melihatku. Bukannya langsung memberi kunci yang kuminta."Mana Pak?" tanyaku lagi. Mungkin, kalau ada yang melihat sikapku sama Bapak dan Ibu saat ini. Pasti akan menganggap aku orang yang tak tau bersopan santun pada orangtua. Biarlah, aku juga tak pandai pura-pura kalau aku baik-baik saja sekarang. Hatiku sakit, dan aku belum menemukan cara untuk mengobatinya.Bapak bangkit, tanpa bicara apa pun. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Kuambil gawaiku, segera aku memesan taksi online. Ibu terus saja memperhatikanku, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Aku mengalihkan pandangan ke halaman rumah. Malas melihat Ibu yang sepertinya ingin mengajakku bicara. Tak ada yang perlu dibicarakan sama Ibu.Paling mau minta maaf, dengan alasan khilaf. Khilaf kok menikmati?!Mas Bima keluar dengan membawa tas besar yang aku yakin berisi baju-bajunya. Diambil alihnya koper yang aku letakkan di pinggir teras."Ini kuncinya." Bapak keluar rumah,
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status