Semua Bab Dendam Kuntilanak Merah: Bab 1 - Bab 10
56 Bab
1. Malam Jahanam
Desa Kumpeh, Jambi—1970Gemeresik daun karet kering terinjak sepasang selop seorang gadis yang berjalan tergesa-gesa. Menur tengah memburu waktu agar tidak terlalu telat tiba di rumah. Hari hampir tengah malam. Kasihan ibunya. Pasti wanita itu menunggu dengan cemas kepulangan Menur. Meski sedari awal Hasnah melarang Menur berjualan jagung dan kacang rebus ke desa sebelah, tetapi Menur tetap bersikeras untuk pergi.Keinginan Menur untuk membeli alat perlengkapan merajut, membuat gadis sekal berkulit hitam manis itu membulatkan tekad mencari uang lebih giat lagi. Meminta pada ibunya, tentu Menur tidak tega. Untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari saja, Hasnah harus bangun sebelum subuh untuk pergi ke kebun karet sebagai buruh penyadap getah di perkebunan Haji Malik.Mereka tinggal hanya berdua saja. Ayah Menur diambil serdadu Jepang untuk dijadikan budak kaum penjajah itu. Hanya Hasnah yang sempat melarikan diri dan bersembunyi sembari membawa Menur yang masih merah dan berusia dua
Baca selengkapnya
2. Menur yang Malang
Ketika Menur hendak lewat, manusia-manusia itu melompat ke tengah jalan, menghadangnya.Empat orang pria yang menyusul di belakang Menur terbahak-bahak. Mereka melihat gadis incaran sudah terkepung. Hanya ada mereka, semak belukar dan pepohonan tinggi yang mengelilingi.Wajah Menur sepucat kapas. Dia menyesali diri mengapa memilih pulang di jalan itu. Jalanan yang memang sering dia lalui seorang diri di siang hari. Jalan yang menurut Menur mampu membikinnya cepat sampai di rumah. Mengapa tadi dia menolak pulang bersama Wati? Batin, hati dan pikiran Menur sibuk mengutuki diri sendiri."Tolong jangan sakiti saya, Kisanak. Kasihanilah saya. Emak saya menunggu kepulangan saya di rumah seorang diri. Pasti beliau sedang cemas saat ini." Menur mengiba, berharap ke enam pria terketuk hatinya dan mau melepaskan gadis yang tengah dilanda ketakutan itu.Namun, agaknya iblis telah mengenyahkan kesadaran diri mereka. Pria kurus mendorong Menur hingga jatuh terjengkang. Pria yang lain menarik tas ka
Baca selengkapnya
3. Kegundahan Hasnah
Di sebuah rumah mungil berdinding anyaman bambu betung yang terletak di ujung desa, seorang wanita bergerak-gerak gelisah. Dalam temaramnya cahaya lampu petromaks, Hasnah menanti kepulangan putri satu-satunya, Menur.Biasanya gadis itu tidak pernah pulang terlambat. Biasanya gadis rajin yang dia besarkan seorang diri sedari bayi itu selalu tiba di rumah tepat waktu.Hasnah sungguh resah. Malam ini sungguh tidak biasa. Ada perasaan aneh yang menjalar isi dadanya, tetapi Hasnah tidak tahu bagaimana menyebutnya. Bisa dibilang seperti firasat buruk, tetapi batin Hasnah sekuat mungkin menyangkal dan menepis perasaan tidak enak tersebut.Amben berderit ketika Hasnah bangkit dari rebah yang gundah. Di tepian tempat tidur bambu itu kakinya menjuntai. Sorot matanya yang cemas menatap ke jam persegi empat di dinding rumah. Hari telah lewat tengah malam, bahkan hampir memasuki subuh. Namun, telinganya tak jua menangkap tanda-tanda akan kedatangan Menur.Ibarat memakan buah simalakama, Hasnah serb
Baca selengkapnya
4. Asumsi Warga Desa
Berderet pertanyaan yang diberikan Wati. Hasnah terdiam. Dahinya berkerut dalam. Dia bingung dengan pertanyaan itu, khususnya pertanyaan paling ujung."Emak ke sini malah hendak mencari Menur, Nak. Mana dia? Masih tidur kah di kamarmu?"Gantian kini Wati yang kebingungan."Kami sama-sama pulang jam sepuluh tadi, Mak. Tapi Menur memilih jalan setapak di dekat kebun karet sana. Supaya cepat tiba di rumah katanya."Keterangan Wati barusan membikin hati Hasnah kembali tak tenang. Kepalanya pusing seketika. Jantungnya dirasa tak aman, degupnya semakin tak karuan."Bagaimana ini, Wati? Emak mesti mencari Menur ke mana?" Tangan Hasnah memilin-milin ujung sweter dengan kegundahan teramat sangat.Wati pun terbungkam. Dia tahu Menur tidak dekat dengan siapa pun kecuali dirinya."Begini saja, Mak. Wati temani Emak mencari Menur. Kalau Menur tidak juga ketemu, kita laporkan pada kepala kampung."Hasnah mengangguk pasrah. Di saat kebingungan, otaknya dirasa buntu untuk mencari jalan keluar. Dia iku
Baca selengkapnya
5. Pencarian Menur
"Menur! Menur!" Hampir semua warga turut melakukan pencarian: pria-pria, para pemuda, hingga aparat desa. Mereka menyusuri jalan-jalan, kebun-kebun, hingga tepian sungai sembari memukul-mukul tampah menggunakan tongkat kayu. Warga yang mempercayai bahwa Menur telah diculik hantu kopek, berharap gadis itu segera dilepaskan. Sebagian area telah dirambah, tetapi tak jua mereka temui keberadaan jejak maupun bayangan diri Menur. Hasnah pun ikut mencari, ditemani oleh Wati yang tak sedetik pun beranjak dari sisinya. Hati gadis itu mengiba. Wati tak tega meninggalkan wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri itu, tersedu-sedu seorang diri. Hingga kaki mereka sampai pada satu-satunya area yang tersisa, yakni jalan setapak di dekat pohon beringin, yang dianggap sebagian warga ialah tempat paling wingit di Desa Kumpeh. Beberapa pria memperlambat langkah. Hanya yang bernyali besar yang mendahului menuju ke sana. Termasuk si kepala kampung dan Hasnah yang tidak peduli, yang p
Baca selengkapnya
6. Sosok Menur yang Berbeda
Pria dan pemuda yang lain manggut-manggut menyetujui. Sanusi berpikir sejenak. Satu demi satu dia menatap wajah-wajah lelah warganya yang masih setia melakukan pencarian hingga berjam-jam. Dia sendiri pun kelelahan, hanya saja hatinya ikut perih mengingat tangisan Hasnah yang datang menemuinya dini hari tadi."Baiklah kalau begitu. Kita istirahat dulu di sini."Rombongan menghentikan pencarian. Ada yang terenyak di rerumputan. Ada yang menyandarkan punggungnya yang basah oleh peluh ke batang pohon terdekat sembari memejamkan mata. Sebagian warga ada juga yang mulai menyulut obor sebagai sumber penerangan mereka.Sanusi mengayunkan langkah mendekati Hasnah yang masih memeluk erat tas Menur. Wanita itu tersedu-sedan. Suaranya semakin serak memanggil-manggil nama putrinya."Menur ... di mana kah dirimu, Nak? Tak kasihan kah kau pada emakmu ini ...?"Dengan sabar Sanusi meraih bahu Hasnah. Membawa wanita itu untuk duduk di rerumputan seperti yang lainnya."Sabar, Mak Menur. Mari kita istir
Baca selengkapnya
7. Suara Ciap Anak Ayam
Sepasang tangan dengan beberapa bekas luka yang cukup dalam, bergerak kepayahan mengerek air dari sumur. Suara cipratan air akibat gesekan timba dengan tepian sumur, berisik memecah kesunyian malam. Berulang kali air di timba itu muncrat dan tumpah karena lengan pria itu gemetar.Tetes-tetes keringat meluncur dari wajah serta lehernya yang basah. Pria itu, Maymun, baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mimpi berulang setiap malam yang menghantuinya. Mimpi mengerikan yang membuatnya depresi, menggila dan hilang kendali. Kemudian setelah bersusah payah kembali pada alam bawah sadarnya, Maymun lari ke luar rumah.Si bujang lapuk itu mengguyur wajah dan sebagian kepalanya menggunakan air dari timba, berharap rasa takut, emosi dan gelisah sirna dalam seketika. Dia tidak ingin kembali tidur. Dia tidak ingin memejamkan mata meski sedetik pun.Masih terpatri jelas dalam ingatannya sosok hantu perempuan berkebaya merah yang datang ke mimpinya. Seraut wajah seputih kapas, matanya semerah darah, k
Baca selengkapnya
8. Pembalasan Pertama
Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya."Hi-hi-hi!"Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangann
Baca selengkapnya
9. Menemui Dukun Sakti Mandraguna
Sabtu Pahing yang gusar. Segusar hati Hasnah yang tak kunjung jua mendapat kabar akan keberadaan Menur. Genap tiga puluh hari sudah putrinya itu menghilang, tapi segala upaya yang dia maupun warga lakukan, tak jua membuahkan hasil.Tempo hari ketika mereka gagal melakukan pencarian di hari pertama, esoknya mereka melakukan pencarian kembali, bahkan Sanusi mengikuti saran para tetua adat kampung untuk bertanya pada seseorang yang paham perihal dunia gaib, Pakdo Ramli, dukun sakti yang tinggal menyendiri di tepian sungai Batanghari.Kala itu sore hendak mendekati senja, ketika semburat jingga masih terlihat di sela-sela dedaunan pohon karet. Sanusi duduk manis di boncengan sepeda ontel yang dikayuh Ujang, asisten kepercayaannya, menuju kediaman Pakdo Ramli. Sanusi kalut, putus asa dan berusaha demi Hasnah agar wanita itu mau makan meski hanya sesuap nasi.Atas kaduan Wati yang selalu menemani Hasnah, Sanusi tahu bahwa Hasnah tidak berniat hidup lagi. Dia menghindari makan, tidur, dan min
Baca selengkapnya
10. Desa Kumpeh Geger
Meski sudah tahu bahwa pria di hadapannya adalah dukun sakti yang kata orang-orang: 'Tak perlu lagi memberitahu tujuan kita datang menemuinya, sebab tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan pada Pakdo Ramli', tetapi Sanusi dan Ujang tetap saja merasa terheran-heran.Bagian dalam gubuk, tidak kalah seramnya dengan bagian luar. Dinding rumah berhiaskan berbagai macam keris yang beragam bentuk dan ukuran, serta tengkorak dan tanduk kijang yang bersisian.Pakdo Ramli duduk di belakang meja yang mengepulkan asap dari dupa. Dupa tersebut berjejer dengan bermacam sesajen lainnya: segelas kopi, segelas air putih, segelas susu, kembang tujuh rupa, ayam cemani, dan keris berlekuk tiga.Tanpa diperintah lagi, Sanusi memberi kode pada Ujang agar duduk di tikar pandan yang tergelar tak jauh dari mereka berdiri."Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian kemari. Jika seorang pemimpin kampung berpayah-payah harus menempuh perjalanan jauh, tentulah ada perkara yang tidak mudah dipecahkan, bukan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status