Putriku, Delia

Putriku, Delia

Oleh:  Shafitri Dumpaku  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
10Bab
1.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Sejak kematian Adel istriku, Delia berubah. Gadis manis dan penurut, menjadi pemarah dan menutup diri dari dunia. Kecemasanku makin bertambah, kala teror demi teror harus keluargaku terima. Terlebih, Delia selalu berkata, "Wangi lavender memabukan ya, Yah."

Lihat lebih banyak
Putriku, Delia Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
10 Bab
1. Kematian Istri
Aku tersenyum menatap wanita yang tengah tertawa di ranjang. Kukecup penuh cinta keningnya, pipi chubby itu menyemburkan rona merah jambu. Tampak malu-malu saat dia mencubit mesra pinggangku.Usai menggelitik perutnya, aku duduk bersandar ke kepala ranjang. Wanita yang masih bergeming di balik selimut, ikut menyenderkan kepalanya ke dadaku. Kuelus lengan putihnya yang mulus, lalu beralih menyeka peluh di dahinya.Kami baru saja menyelesaikan sesi meneguk kenikmatan dunia yang dimulai sejak malam tadi dan berlanjut pagi ini. Wanitaku tersenyum, manis sekali. Tangan lembutnya mengelus rahangku, berakhir dia menarik leherku. Kami kembali saling meramu cinta dalam nikmat duniawi. Setiap gerakan lembutnya sungguh memabukan.Ah, mesranya pagi ini.Suara dering ponsel tak lantas mengganggu aktivitas kami. Namun, saat dering yang ke lima, aku sudah tak kuasa menahan amarah. Dengan gerakan cepat aku menyambar HP di nakas setelah melepaskan pagutanku dan Ti
Baca selengkapnya
2. Pernikahan Kedua
Aku berdeham menetralisir kecanggungan yang terjadi di meja makan. Saat ini, aku, Delia serta Tisa dan kedua anaknya tengah makan malam di Restoran berbintang. Baik aku dan Tisa berharap anak-anak kami bisa saling menerima."Fian, bagaimana kuliahmu?" Aku memulai obrolan pada anak sulung Tisa.Pemuda yang baru sebulan lalu masuk perguruan tinggi itu, tersenyum. "Ya, cukup melelahkan lah, Om."Mendengarnya membuatku terkekeh. Sedikit kuberikan penyemangat dan nasihat. Fian tampak antusias mendengarkan. Kini aku harus berlaku adil pada mereka bertiga. Karena sebentar lagi akan menyandang status ayah untuk Fian dan Renisa jadi mereka juga pioritasku."Delia mau ke toilet."Sesaat aku tertegun dengan gerakan tiba-tiba Delia yang berdiri dari duduk. Gadis bergaun marun itu, pergi meninggalkan meja sebelum aku sempat memberi izin."Saya juga permisi ya, Om, Ma.
Baca selengkapnya
3. Ketertarikan Fian
"Mas, aku tidak suka loh, sama sikap Delia. Dia sering menatapku datar. Juga akhir-akhir ini, dia sering bersikap kasar padaku. Aku takut, apalagi ada Renisa. Bahaya untuk pertumbuhan Renisa, melihat Delia yang pemarah."Aku memijat pangkal hidung, rasanya pening. Sudah yang kesekian Tisa mengadu akan sikap Delia. Seminggu ini, anak itu memang terlihat berbeda. Entah ada apa dengannya.Namun, untuk sikap kasar seperti yang Tisa laporkan, jujur saja aku tidak bisa percaya. Ya, walau seminggu yang lalu, Delia berteriak padaku, tapi itu tidak cukup membuktikan bahwa Delia bersikap kasar pada Tisa."Kamu siap-siap. Hari ini, kita jalan-jalan ke bukit.""Mas, kita lagi bahas putri kamu loh, ini!" Tisa merenggut."Maksud kamu, Delia hanya putriku, begitu?" Alisku mengkerut tajam."Ih, bukan begitu. Delia juga putriku. Ah, sudahlah. Lagian, ngapain kamu ngajak jalan-jalan mendadak begini?"
Baca selengkapnya
4. Jemput Delia
Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita."Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi b
Baca selengkapnya
5. Kutukan
Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah. Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya
Baca selengkapnya
6. Hukuman
Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari. Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar. Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya. Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada. "Delia ... Delia ...." Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub
Baca selengkapnya
7. Kucing Renisa, Manis ya!
"Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian
Baca selengkapnya
8. Benang Merah
"Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju. Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa
Baca selengkapnya
9. Wanita Bergaun Marun
"Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah." Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah.  "Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak." Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.  Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik
Baca selengkapnya
10. Mau Ikut Bunda
"Delia!"   Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah.    Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?!   "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan.   Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada.    "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya.    "Aku
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status