Mate

Mate

Oleh:  Intan Pitaloka  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
8Bab
2.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Fita baru saja putus cinta, diselingkuhi, dan gagal menikah. Sebulan lebih ia mengurung diri, tak nafsu makan, dan menangis terus-menerus. Ia benar-benar lelah berulang kali bertemu dengan sosok yang tidak tepat. Hingga akhirnya, dia tertidur dan terbangun di dalam kereta api. Ya, dia terjebak di masa depan. Di masa ia bertemu jodoh sesungguhnya. Jodoh yang mengajarkannya tentang menerima dan mencintai diri sendiri. Hingga akhirnya dia tidak lagi menyalahkan kekurangan yang ada pada dirinya.

Lihat lebih banyak
Mate Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Yuni Anggraini
💙💙💙💙💙
2021-05-17 18:19:45
0
8 Bab
BAB 1
Efni terburu-buru membuka pintu kos, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan. Ia mengernyitkan keningnya setelah melihat siapa yang datang. Ia sama sekali tidak mengenali laki-laki tersebut. Kulitnya sedikit gelap, badannya proporsional, nggak terlalu kurus maupun gemuk dan tingginya semampai.             “Maaf, cari siapa ya?”            “Hmmm… Fitanya ada?” tanya-nya.            Efni baru sadar bahwa dia sedang di kos-an Fita. “Fita? Oh… dia ke kos Ria.”            “Oke. Makasih.” jawab laki-laki itu tanpa basa-basi. Dia pergi begitu saja menuju mobilnya. Lalu
Baca selengkapnya
BAB 2
Baya memutuskan hubungan kami dua hari sebelum hari raya idul fitri. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta di hari ketiga lebaran. Selain memang aku harus masuk kantor untuk keperluan magang, aku juga sudah tidak tahan berada di kampung halamanku. Setiap sudut tempat selalu ada kenangan yang menghantui.“Fit, lu mau makan apa? Biar gue beliin.”            “Nggak tau.” jawabku sambil menggeleng lemah.            Ria berpikir sejenak. “Mau mie ayam?”            Aku menggeleng.            “Bakso mau? Atau mau nasi padang?” Ria masih sibuk menawarkan.            “Nggak selera, Ri.” jawabku dengan wajah muram.
Baca selengkapnya
BAB 3
Setelah sholat subuh aku berinisiatif untuk turun, siapa tau bisa bantu-bantu Mama Mas Wira untuk masak atau apa pun.            Saat aku turun dari tangga, Mas Wira, Alfa dan Papanya pulang dari masjid sepertinya. Mas Wira mengenakan sarung dan baju koko warna putih. Entah mengapa ia kelihatan makin manis jadinya.            Aku melempar senyum ke arah Mas Wira, tapi dia justru memasang muka datar saja meresponku. Nyebelin banget!            “Pagi Fita!” sapa Alfa dengan senyumnya yang lebar.            Aku kaget melihat tingkah Alfa yang tak terduga. “Pagi juga.”            “Mau kemana nih?” tanyanya sambil mendekatiku.          
Baca selengkapnya
BAB 4
Aku langsung berdiri kembali setelah terhuyung dan ditangkap oleh Mas Wira. Sebisa mungkin aku melemparkan senyum ke arah Hafiz. Aku menyambut uluran tangan Hafiz. “Fita.”            Setelahku, Mas Wira juga berjabat tangan dengan Hafiz. “Wira.”            “Jangan kelamaan mandangin Fita, Fiz. Dia ini calon istrinya Mas Wira.” Alfa memperingati Hafiz. “Ntar naksir.”            “Ayo siap-siap ke masjid.” seru Papa Mas Wira tiba-tiba.            Otomatis kami semua menoleh. Aku berpamitan untuk naik ke atas, lalu memutuskan untuk mandi. Tiba-tiba kamarku diketok.            “Mbak Fita.” panggil Icha.
Baca selengkapnya
BAB 5
Setelah sarapan pagi, Mas Wira langsung beranjak ke kamarnya. Aku menarik tangannya, menahan langkah Mas Wira. “Mas, kita ke museum cokelat yuk.”            Baru saja Mas Wira membuka mulutnya untuk menjawab ajakanku. Papa Mas Wira tiba-tiba nyeletuk dari belakang kami. “Setujui aja maunya Fita, Mas. Sekalian kan jalan-jalan.”            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tumben-tumbenan Papa Mas Wira bersuara, biasanya diem-diem bae kayak lagi sakit gigi. Ini lagi nggak berhalusinasi, kan?            Mas Wira menatapku dengan tatapan pasrah. “Iya, Pa.” jawabnya singkat banget. Walaupun singkat, nggak bisa dipungkiri sih aku langsung tersenyum senang. Aku otomatis beryeay ria.            “Hafiz i
Baca selengkapnya
BAB 6
“Siap, Ndan.” ujar Alfa. Ia menutup telepon, lalu duduk di kursi taman.            Aku menghampiri Alfa. “Nelpon siapa?” tanyaku sambil duduk di kursi sebelah Alfa.            “Komandan.” jawab Alfa singkat. Tumben banget.            “Mas Alfa polisi juga kayak Kak Hafiz?”            Alfa memicingkan matanya. “Kok kamu tau si Hafiz itu polisi?” tanya Alfa curiga.            Aku terkesiap. ‘Aduh, mampus! Masa aku jawab kalau aku emang udah ngestalk Kak Hafiz dari dulu’, gumamku dalam hati. “Em…. Nebak aja sih.” jawabku asal.       &nb
Baca selengkapnya
BAB 7
Tanpa sengaja aku menabrak seseorang, lalu jatuh terpental ke bawah, orang yang tabrakan denganku malah nggak kenapa-napa. Masih berdiri dengan kokoh. Aku mendongak, ternyata aku menabrak Hafiz.            Alfa langsung menghampiri dan membantu berdiri. “Ada yang luka nggak?” tanyanya panik.           Aku menggeleng. Wajah Hafiz langsung berubah khawatir juga. “Maafin aku, Fita. Kamu nggakpapa kan?” tanya Hafiz sambil memegang wajahku.           Alfa menepis tangan Hafiz. “Gimana sih? Kalau jalan pake mata dong, Fiz!”           “Jalan pake kaki, kali.” debat Hafiz.          Aduh, mulai deh pertemanan seperti Tom and Jerry muncul lagi. Entah apa yang membuat mereka bisa berteman, tapi selalu berantem. Pertemanan yang aneh
Baca selengkapnya
BAB 8
Malam ini kebetulan Mas Wira sedang berbaik hati mau mengajak Alfa dan Hafiz untuk ikut jalan bareng. Ia menepati janjinya waktu itu, mengajakku jalan ke Alun-alun Kidul Jogja. Aku tentunya duduk di kursi depan, mau tidak mau seperti itu biar Mas Wira nggak menunjukkan wajah masamnya.            Alfa sudah santai-santai saja dengan Mas-nya, seakan tidak terjadi apa-apa. Memang anaknya terlalu santai. Ia duduk dengan tenang di kursi belakang. Hafiz memandangku sesekali, sepertinya dia memang masih menunggu jawabanku. Aku pun masih bingung hatiku ini untuk siapa.            “Nanti kita makan gudeg, yuk.” Alfa akhirnya bersuara.            Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak mau ah. Fita maunya makanan yang pedas.”         &n
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status