LANGIT KABUT CAMELIA

LANGIT KABUT CAMELIA

Oleh:  Emhaf  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
14Bab
543Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Camelia datang sebagai angin di antara kabut. Ia memilih wujud sebagai manusia sebagai lirik dari Nyanyian Jiwa. Perjalanannya dalam alam kehidupan manusia adalah peta takdir yang harus diarunginya dengan seorang lelaki jelmaan selembar daun. Kehidupannya sejumlah butiran pasir yang tersisa pada siluet di pipi kirinya. Sudah sekian lama, lelaki selembar daun tak juga ditemukannya. Takdirnya sebentar lagi harus berakhir dan mengubahnya sebagai pasir jam waktu. Ketika ia sudah pasrah dan menyerah, masa depan dan masa lalu bertabrakan, mempertemukannya dengan Gavin, lelaki yang memiliki tanda jam pasir kosong di pipi kanannya. Mulai dari sana petualangan romansa ini akan menggemuruhkan langit dan menggetarkan bumi.

Lihat lebih banyak
LANGIT KABUT CAMELIA Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
14 Bab
Kota Kabut dan Jam Pasir
Sepuluh meter ke depan dan hidup tak benar-benar menunjukkan apa-apa yang bisa kusentuh di sana. Setiap hari kabut adalah teman yang membelai kesejukan. Ia sendiri adalah jelmaan kesejukan yang juga memiliki kengerian. Aku tak pernah tahu apa atau siapa yang akan tiba-tiba mucul dari balik ringainya. Bisa saja seorang yang membawa celurit dengan muka berdarah. Bisa jadi sekepak sayap bidadari yang menyadarkan lamunanku bahwa tak selamanya kecantikan itu harus digapai di surga saja. Atau… akan kutemukan jalan mencapai segala masa dengan menembusnya. Kuceritakan ini pada Camelia yang mungkin saja menitipkan kehadirannya pada setiap tetes embun di antara kabut ini.Sudah hampir satu tahun aku telah menjadi manusia biasa. Tak ada lagi kepakan sayap walet yang menembus ruang dan waktu. Tak ada secarik kertas pun yang mau menampung rencanaku, setidaknya begitulah lamunanku. Aku seperti dirayu untuk berkata, “Sudahlah, terima saja ini dengan kepuasan! Hidupku sudah kemb
Baca selengkapnya
Ruang Masa I: Kamar Kos dan Bayang-Bayang
Satu-satunya kamar yang masih bersinar malam ini hanyalah kamar kosku saja. Semua lelah pikiran dari para penghuni kos lainnya menjelma gelap tanpa bayang-bayang. Entah, kurasa sudah hampir tiga jam aku berbaring dalam diam, menatap langit-langit kamarku yang berisi bayangannya. Siluet jam pasir itu sudah menjelma keyakinan dalam dadaku. Namun, harus seperti apa aku memberitahunya. Masa’ aku yang ngomong kalau ia adalah lelaki yang ditakdirkan untukku? Bukankah perempuan-perempuan di masa ini hanyalah manusia-manusia pemalu yang memilih menunggu dan terdahului daripada segera melangkah dan mendapatkan. Ah, kenapa aku galau begini? Bukankah aku bukan perempuan dari zaman ini? Bahkan, aku sendiri bukanlah penghuni dimensi ini.“Arrrrrghhhhhhh... apa sih yang kulakukan?” sekejap aku sudah bangun dari keterbaringanku. Kutatap wajahku di depan cermin yang tergantung di sebelah pintu. Merah mukaku seperti seorang badut yang terlalu banyak memakai
Baca selengkapnya
Ruang Masa II: Retakan Ingatan
Siapa sebenarnya perempuan itu? Aku tak pernah melihatnya. Tapi, rasa-rasanya aku pernah mengenalnya. Seperti malam-malam biasanya, waktu senggangku adalah masa ketika seseduh kopi susu membangunkan jemariku. Mengawali tahun 2017 dengan menjadi seorang Pimpinan Produksi Teater tak pernah menjadi bayanganku sebelumnya. Ya... Sejak setahun lalu aku pernah bicara pada kawan lamaku, Jana, kalau aku sudah benar-benar rindu kuliah. Dalam bayanganku, segala penelitian yang dua tahun ini kumatikan secara suri akan bisa kubangunkan lagi.Angin dingin menyelimuti bangku besi berwarna hitam. Ceracas para aktivis yang berteman malam enggan membangunkan rumput yang terlanjur lelap. Namun, kepulan asap yang berembus dari mulut-mulut hitam mereka terlanjur merambat ke hidung para satpam kampus. Tidak butuh waktu lebih dari 5 menit, mereka pun akan terusir dari kampus dan dipaksalah mereka terdiam di kamar, sendirian sebagai nokturnal.Kadang kala aku salah satu dari
Baca selengkapnya
Mereka Bertemu Sejak Permulaan Penciptaan
**Khek... khek... Khek... Camelia yang terlalu lama terlena oleh perjalanan berabad-abadnya dan Gavin yang mulai menyadari ingatannya. Tahukah kau semua peristiwa itu memiliki permulaan? Akan kuceritakan padamu serpihan dari peristiwa itu.** Setiap makhluk berawal dari cahaya, tak terkecuali manusia. Cahaya itu menjelma sebagai jiwa yang nantinya akan dipecah dalam dua nyawa. Masing-masing nyawa memiliki masa hidupnya sendiri-sendiri. Jika kau tahu ledakan pertama yang memecah semesta dalam beragam galaksi. Jika kau tahu tentang kabut asap tebal sebelum dan sesudah ledakan. Tahukah kau unsur- unsur dasar manusia diambil dari setiap hal yang berserpih dari ledakan itu? Dan, setiap serpihan itu membawa pantulan cahaya pertama dari singgasana-Nya.Salah seorang makhluk yang nantinya memilih menjadi manusia, tercipta dari serpihan kabut itu sendiri. Hanya saja, ketika ia akhirnya menjelma sebagai asap mengambang dari potongan kabut it
Baca selengkapnya
Sebuah Lirik, Mendung Musim Panas, dan Ruang Tersayat
Selembar kertas, bolpoin, dan tarian jemari di atas layar ponsel menghentikan langkahku sore ini. Pada waktu yang serupa biasanya kukunjungi bangku itu, aku memilih untuk memikirkannya. Dia, bayang-bayang perempuan berparas cantik, bernada liris dengan suaranynya yang dalam. Dia, yang setelah sekian ratus hari hanya membiarkan kelebat rambutnya. Senyum dan sapanya yang lebih dahulu menyimpan kata-kata, kini telah reda. Ia menyebut, "Camelia!" kata yang mungkin adalah namanya, mengalihkan kekosongan kertasku pada masa sebelum lamunanku."Hoe Gav!" Seorang laki-laki melewatinya tanpa melupakan sebuah sapaan. Kurasa, dia kakak angkatanku. Dia belum lulus ya? Atau, lagi bekerja jadi staff di sini? Ah, untuk apa aku membingungkan diriku sendiri. Bagiku, sore ini bukan kakak angkatan itu yang penting.Pena di tangan kananku sedang asik menuliskan kata Camelia. Aku hanya menulis untuk melihat apakah aku akan mengingat sesuatu sebelum bayangannya. Biasanya, ketika aku
Baca selengkapnya
Pertemuan Dua Masa
Allahu Akbar... Allahu Akbar...Laa Ilaa Ha Illallah Sentuhan tangan lembab di bahu kananku membuat segala kantuk lenyap. Bahu itu datang bersamaan dengan akhir lirik dari Adzan Subuh. Pada sebuah masjid yang menandai Keislaman Kraton Mataram di Yogyakarta, di situlah kuserahkan segala lelahku malam lalu. Aku sendiri tak benar-benar ingat bagaimana aku bisa ke sini. Lagi-lagi yang hinggap dalam ingatanku justru serpihan memori dan cambukan sulur beringin di udara. Aku semakin tahu, ini bukan hanya sekedar pengalaman mental, tetapi lebih dari itu, alam bawah sadarku sedang melihat sesuatu yang tak biasa.Sebasuh air pada muka dan aku mulai mengingat langkah pertamaku malam lalu. Seusai terkalut oleh sesuatu yang tak wajar aku pun tertunduk. Setengah kesadaranku mengangkat tubuhku ke badan motor.Tiga aliran air pada lenganku mengingatkanku pada cerita yang lain. Hari-hari ketika aku melihat sosok perempuan di bangku cokelat Malioboro. Bukanka
Baca selengkapnya
Akhir dari Sebuah Liburan
            Tidak seperti makhluk manapun yang mengalami gejolak dari retakan waktu, mereka berdiri dengan lukisan senyum yang tak disangkakan. Sementara aku duduk di singgasanaku dan melihat segala sudut pandangan mereka, aku mulai mengerti mengapa mereka begitu cocok menjalankan tugas ini. Namun, mereka harus menerima ujian untuk mengakhiri segala masa menyenangkan. Seorang penjaga waktu yang seharusnya menikmati perjalanan panjangnya di semsta yang tak berbatas dan seorang manusia yang kehilangan ingatannya dalam kilas-kilas – tak ada pasangan yang lebih sesuai sebagai pemegang jiwa kabut selain mereka. Sesuatu yang tampak lemah, tetapi tak akan ada yang menyangka kalau di balik sleimut kabut itu ada serbuan kengerian yang mampu menaklukkan siapa saja.** “Camelia, apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kenapa kamu gak takut sama sekali Mas?”“Lagi
Baca selengkapnya
Tetesan Pertama dari Butiran Pasir
"Woe... Cam! Cam! Waduh, dia sudah pergi duluan," ketika sebuah lemparan tombak hampir mengenai pelipisku.Oke oke... Aku masih harus berpikir sembari mengalahkan mereka. Lagian, siapa sebenarnya mereka dan apa mau mereka terhadap kami. Beberapa dugaan sudah muncul di kepalaku, namun tak satu pun yang bisa kuterima meskipun sangat mungkin itu benar."Woy, apa salah kami woy?" teriakku yang hanya beradu dengan udara."Sekhtay, skyutin, entahli," tak bisa kupahami apa yang mereka katakan."What, is that even language?" sambil melompat, menahan tendangan, dan sebuah salto ke balakang sebelum mengambil langkah macan.Krek-krek-krek... Suara itu berpadu dengan gesekan dedaunan. Kulihat salah seorang dari pasukan itu memutar sebuah tuas di punggungnya. Putaran itu membuat setiap barian pasukan lainnya untuk terdiam. Bilah-bilah tombak yang terpatri di genggaman mereka pun dibiarkan menyandarkan pangkalnya di bumi."Jiwa, tersesat, waktu!"
Baca selengkapnya
Deja Vu
 Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu
Baca selengkapnya
Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah
Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status