Istri Sebatas Status

Istri Sebatas Status

By:  Lathifah Nur  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
27 ratings
82Chapters
17.5Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Di usia yang sudah kepala tiga, Agnes masih saja melajang. Tak ada yang tahu alasan Agnes untuk selalu menolak lamaran lelaki yang datang kepadanya. Hingga sosok seorang lelaki beristri dan telah mempunyai anak hadir dalam kehidupannya. Lelaki itu bernama Aksa dan bekerja sebagai sopir pribadinya. Entah apa istimewanya Aksa sampai Agnes rela menjadi istri kedua demi membungkam cibiran orang-orang yang selalu merendahkan dirinya dengan sebutan perawan tua atau perempuan tak laku. Perjalanan nasib rumah tangga Agnes dan Aksa ternyata tak semulus jalan tol. Terlebih saat Ainun berhasil melacak jejak pernikahan mereka. Belum lagi sikap pilih kasih dan julidnya seorang Clarissa. Kehidupan Agnes tak ubahnya seperti seekor sapi perah di tangan Clarissa. Jika takdir boleh memilih, sungguh Agnes tidak pernah ingin menjadi seorang pelakor. Sebuah kartu merah yang membatasi gerak langkahnya dan pada dasarnya sangat dibencinya. Namun, semua berubah ketika sebuah rahasia besar tentang Aksa dan Ainun terkuak. IG @lathifahnur117

View More
Istri Sebatas Status Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
default avatar
Chan
berjuang arti sebuah perbedaan
2022-03-18 20:41:18
0
user avatar
WarmIceBoy
semangat dan terus berkarya yaa
2021-08-23 09:21:27
0
user avatar
@Fatamorgana16
lanjuttt kakk
2021-07-25 10:31:48
1
user avatar
Kingvillage
semangat kak, aku suka pemeran utamanya yg tangguh
2021-07-16 19:44:58
1
user avatar
LiEunSaVaLove
aku greget sama yg kedua :)
2021-07-14 19:20:58
1
user avatar
Intn
Bagus ceritanya, bikin baper
2021-07-11 20:39:11
1
user avatar
Intn
Jadi istri kedua dong😂
2021-07-11 20:38:58
0
user avatar
WarmIceBoy
Sepertinya menarik :)
2021-07-09 21:59:34
0
user avatar
Sinokmput
Penasaran sama rahasia apa yang disimpan Aksa sama Ainun. Btw namanya Aksa, kayak novelku kak 😂😍.. Semangat akak, ditunggu crazy upnya.
2021-06-30 19:39:33
1
user avatar
prank_kuy
selalu syukaaa ceritanya....
2021-06-25 21:11:41
1
user avatar
Fikri Mahmud
ceritanya keren abis, menarik. kutunggu lanjutannya
2021-06-19 14:12:32
1
user avatar
Knight
Manteep! Karakter ceweknya selalu tangguh. Khas author nih 👍
2021-06-18 21:34:18
1
user avatar
Ray
Ceritanya menarik, seru dan unik. Semangat thooor!
2021-06-18 21:07:46
1
user avatar
Lolitta
Ditunggu bab selanjutnya kak, gak sabar baca kisah srlanjutnya 👩‍💻
2021-06-17 19:55:27
1
user avatar
WarmIceBoy
Aku enggak sabar ingin tau endingnya. Segera tamatkan, kak.
2021-06-17 19:51:31
1
  • 1
  • 2
82 Chapters
1. Insiden
Menggelikan sekali! Mengapa orang-orang selalu heboh mempergunjingkan dan mencibiri seorang wanita hanya karena dia belum menikah di saat usia sudah menginjak kepala tiga? Agnes tak percaya bagaimana dia masih bisa bertahan hidup di lingkungan dengan pemikiran yang superkolot itu. Ah ya! Tentu saja karena dia tidak pernah memedulikan semua itu. Persetan dengan semua anggapan orang. Toh hidup bukan untuk menyenangkan setiap orang yang ditemuinya, melainkan untuk membahagiakan diri sendiri. “Sampai kapan kamu mau terus sendiri, Nes?” Agnes menghentikan langkah dan menghela napas panjang. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali dia akan berangkat kerja. Kebiasaan rutin Ranty. “Sampai Allah mengirimkan jodoh yang tepat, Ma.” Agnes melingkarkan lengannya, memeluk sang mama dari belakang. Wanita paruh baya itu masih saja bergelut dengan kebiasaannya. Duduk di atas kursi roda sembari menatap bentangan cakrawala dari balik jendela ruang tengah. Sebuah kecupan sayang dari bibir merah Agn
Read more
2. Kebohongan Kecil
“Nona, dengarkan aku!” Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh. Wajahnya yang semula memelas, kini berubah serius. Dia memutar tubuh, tepat berhadapan dengan Agnes. Kerah bajunya masih melekat erat pada tangan wanita tak dikenalnya itu. Agnes sedikit bergidik ketika tatapannya bersirobok dengan netra gelap lelaki di depannya. Pandangan dalam itu seperti akan menyedotnya ke dalam pusaran resah dan marah. “Aku tidak punya waktu untuk mendengarkanmu.” Agnes memalingkan muka dan kembali mengayun langkah sambil menyeret lelaki asing itu. “Nona … baiklah … kalau kau tetap bersikukuh dengan keyakinanmu dan tidak percaya padaku. Terserah kau saja,” lirih lelaki tersebut. “Tapi … tolong … jangan serahkan aku ke kantor polisi. Ada wanita dan anak kecil yang harus kunafkahi.” “Itu masalahmu,” timpal Agnes tak acuh. “Kenapa kamu tidak memikirkan akibatnya sebelum berbuat?” Jawaban Agnes membuat lelaki tersebut merasa panas hati. Dia mencekal tangan Agnes yang menguasai kerah bajunya. Namu
Read more
3. Menggali Kuburan Sendiri
“Kita mau ke mana, Nona?” Agnes masih melempar pandang ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi oleh sandiwara berbisa yang tadi dimainkannya di hadapan sang mama. Untung saja lelaki asing yang diketahui bernama Aksa itu tidak terlalu ambil peduli dan tidak banyak tanya. Itu karena dia memang tidak mendengar dialog pertama antara Agnes dan mamanya. Jadi, dia hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan Ranty, dengan jujur dan tanpa rasa canggung. “Nona Agnes!” Kali ini Aksa memanggil dengan nada lebih keras. “Hah! Apa?” Agnes gelagapan. “Ke mana sekarang?” “Tentu saja ke kantorku.” “Aku tidak tahu di mana kantormu, Nona.” Agnes menoleh kaget pada Aksa yang masih fokus di belakang roda kemudi. “Bisa tidak kalau kamu memanggilku Agnes saja? Tidak perlu embel-embel ‘Nona’ yang menggelikan itu.” “Rasanya sangat tidak sopan. Aku kan hanya karyawan, bukan teman sepermainan.” “Kalau kamu pikir dengan sebuah panggilan kehormatan seseorang bisa menjadi sangat terhormat, kamu k
Read more
4. Tertangkap Basah
“Papa!” Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa. “Halo, Sayang!” Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya. Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an. “Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya. “Kyra sama mama lagi, ya ....” Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa. Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan. “Kopinya, Mas.” Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya. Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya suda
Read more
5. Utang Budi
Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak. “Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?” Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya. Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut. 'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik. “Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!” “Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….” Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia
Read more
6. Lorong Gelap
“Aaargh!” Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping. Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang? Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam. Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin. 'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah. Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanit
Read more
7. Siasat Licik
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
Read more
8. Sebuah Paket Kejutan
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Read more
9. Persepsi Yang Berbeda
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
Read more
10. Bukan Anak Kemarin Sore
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Read more
DMCA.com Protection Status