Who Am I: Past Lives

Who Am I: Past Lives

Oleh:  Xuiqa Vei  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
16Bab
1.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Gadis itu masih terbaring dengan posisi yang sama, yang berbeda hanyalah kelembapan di bawah matanya. Rino menyentuhnya dan mengelapnya dengan tisu. “Tak apa jika kau ingin seperti ini, aku akan tetap menemanimu. Tenang saja, Lucy. Sampai kapanpun, bahkan ketika misiku telah usai. Aku masih belum yakin, ada apa denganku. Tetapi aku akan berada di sini, ya, di sisimu, menyiapkan bahuku jika kau perlu.” “Sebenarnya aku tidak yakin juga akan hal itu, tetapi, ya ..., lupakanlah,” ia berkata. Tangannya meraih kursi yang ada di samping meja lampu. Ia pikir mungkin akan mengobrol dengan raga gadis yang kosong ini sesaat. “Sangat langka momen seperti ini, momen di mana kau, Lucy, bisa menerima semua yang kukatakan. Bukan berarti aku senang kau seperti ini. Ini sangat susah untuk diceritakan, tetapi aku akan memberitahumu.” “Separuh dirimu adalah diriku, dan separuhnya lagi adalah dirinya. Dan takdirmu sangat tidak bisa diterima bagimu, itu dapat dilihat dari keadaanmu saat ini. Misiku adalah mengawasimu sebagai musuh, tetapi aku malah mengawasimu sebagai orang terdekatmu. Kau mengerti maksudku, bukan?”

Lihat lebih banyak
Who Am I: Past Lives Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
16 Bab
Prolog
Tanah mulai menutupi kayu pembatas yang melindungi tubuh seseorang yang telah terbungkus kain putih di sana. Hujan kecil yang turun membuat prosesnya sedikit rumit, karena air mengubah sebagian kecil tanah menjadi lumpur dan genangan air ada di mana-mana. Langit tampak turut menuangkan kesedihannya. Tiba-tiba saja ia merubah suasananya sesuka hati,  tak ada tenda penutup yang disiapkan. Hujan yang turun sebenarnya hanyalah butiran kecil dengan presentase dua belas persen dibandingkan dengan yang tersimpan di langit. Tetapi tetap saja itu mengganggu. Pemakaman ini tampak semakin menyedihkan. Semua orang bertahan di bawah hujan kecil itu. Pakaian mereka juga setengah basah karena hujannya. Hanya suara rintik hujan, tangisan dan cangkul yang terdengar, tak ada percakapan di antara mereka semua. Semua kerabat, berlinang air mata sama halnya seperti langit hari ini. Keranjang bunga juga sudah disiapkan. Berada di genggaman beberapa pelawat dan
Baca selengkapnya
Bagian Satu
Gadis itu membenturkan kepalanya beberapa kali ke meja belajar, dibenturan terakhir ia tak bergerak dan tetap dalam posisi membungkuk. Tangan yang tergantung, rambut hitamnya yang bergelombang terurai jatuh ke bawah. Wajahnya melekat tepat pada meja. Lucy menangis ditemani oleh kesunyian malam. Tanpa bergeming sedikit pun, air matanya jatuh perlahan di atas meja. Suara tangisannya seperti diambil oleh angin, menghilang, terbang melayang, pergi meninggalkan Lucy seorang diri hanya dengan berteman kesunyian malam ini. Beberapa tetesan air matanya telah  menggenang di bawah mata yang tertutup itu. Akankah dia terluka karena benturan di mejanya, atau menangisi kepergian ibunya? Rintihan mulai terdengar pelan, perlahan keluar dari mulutnya. Angin telah mengembalikan suaranya. Belum sepenuhnya kembali, tetapi lebih  baik dari sebelumnya. Bahunya bergetar, naik turun mengikuti nada tangisannya. Tangan kanannya naik ke atas meja, memukul-muk
Baca selengkapnya
Bagian Dua
“Bagaimana jika dia sadar? Kita tak akan bisa mengambil alih tubuhnya.” Seorang wanita yang tak dikenal, berdiri di samping Lucy bersama pria ber-jas hitam yang membelakangi Lucy. Mereka membicarakan Lucy di sampingnya secara langsung. Saat ini, Lucy berbaring di kasur putih dalam ruangan bernuansa hitam dengan ornamen putih di setiap sudutnya, dan lantainya bermarmer putih. Tidak se-elegan seperti yang dipikirkan, itu berdebu dan penuh dengan noda. Ruangan itu tampak telah lama terbengkalai. Cat hitam di tembok sudah sedikit mengelupas dari tembok yang dingin. Di satu sudut, jaring laba-laba lengkap dengan laba-laba dan serangga yang terperangkap di sana. “Kita akan menghapusnya dari dunia, hingga tak ada siapapun yang mengingat dirinya beserta orang tuanya,” ujar pria itu dengan suara pelan, tetapi tetap terdengar tegas. Terkadang ia terbatuk karena cerutu di mulutnya. Mendengar apa yang dikatakan pria ber-jas, mungkin akan lebih baik jika Lucy teta
Baca selengkapnya
Bagian Tiga
Gadis itu menyetel alarm di handphone-nya pada pukul 4.15 sore. Ia ingin mengisi kembali tenaganya yang belum terisi penuh, meskipun ini belum waktunya untuk siesta. Menyalakan pendingin ruangan, menutup gorden jendela kamarnya, dan selanjutnya gadis itu menuju tempat tidurnya. Ukurannya hanya cukup untuk tidur Lucy, dengan sprei berwarna kuning-putih-oranye, dengan sedikit motif rubah dari karakter Rillakuma. Kini ia telah berada di atas kasur, tubuhnya menghadap ke kanan dan memeluk guling dengan karakter Rilakkuma miliknya. Dalam hitungan detik, Lucy telah tertidur lelap. Pendinginnya menyala di dalam ruangan kamar yang sedikit redup. Tampak sedikit pengap. Remaja berusia 15 tahun itu bahkan bisa tertidur tanpa merasa terganggu dengan ruangan yang tampak suram. Ia tak terlalu menyukai cahaya matahari yang bersinar terang, itu membuat matanya sakit, Lucy mengalami Fotophobia. Fotophobia merupakan kondisi mata yang
Baca selengkapnya
Bagian Empat
Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal. Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang. Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih. Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’. Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat
Baca selengkapnya
Bagian Lima
“Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya. Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu. Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik. Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara. Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persi
Baca selengkapnya
Bagian Enam
“Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud
Baca selengkapnya
Bagian Tujuh
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding  di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m
Baca selengkapnya
Bagian Delapan
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Baca selengkapnya
Bagian Sembilan
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya  bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status