Marrying You (Again)

Marrying You (Again)

Oleh:  Lavender My Name  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
20Bab
1.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Ceraikan Kiyara!" ucapan Ardi, bagai petir di siang bolong, membuat ponsel Bian yang ada di tangan pria itu meluncur bebas ke lantai. "Kau tidak akan bisa membahagiakannya. Kau hanya bisa membuatnya semakin menderita." Suara Ardi membuat wajah Bian merah padam. Ipar gila, sungutnya menahan emosi. Sedangkan Kiyara langsung mematung. Kepalanya mendadak pening, mendengar ucapan kakaknya. Siapa yang sudah mencetuskan ide gila itu? Apa yang akan Kiyara lakukan ketika dipaksa untuk bercerai dengan Bian, lelaki yang ia cintai, yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun pernikahan? Akankah Kiyara setia padanya , untuk berjuang bersama atau justru menyerah pada nasib?

Lihat lebih banyak
Marrying You (Again) Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
20 Bab
1. Terserah Padamu
"Apa yang bisa kamu berikan untuk Kiyara dan anakmu, hah? Membiayai hidupmu sendiri saja kamu tidak mampu, malah sok-sokan menolak bantuan kami." Suara Ardi menggelegar, memecah kesunyian malam. Bian hanya duduk diam. Tidak ada sedikit pun niatannya untuk menjawab sekian banyak cercaan dan makian, yang keluar dari bibir tebal iparnya itu. Sedangkan Kiyara, wanita yang telah menemaninya berjuang selama 10 tahun terakhir, diam membisu, sambil sesekali mengusap airmatanya yang mulai mengalir turun dari sudut matanya. "Mana usahamu yang berhasil? Dari sekian banyak rencana dan ceritamu yang setinggi awan, tidak ada satu pun yang berhasil. Tidak ada harta benda yang bertambah, tapi malah berkurang untuk menutupi semua hutang-hutangmu." Ardi lalu diam sejenak, mencari asupan oksigen dan tenaga setelah dirinya meluapkan semua amarah dan kekesalan pada adik iparnya itu. Ia kemudian melanjutkan perkataannya. "Ini adalah tawaran terakhir dari kakak-kakak Kiyara. Daripada anak dan istrimu mati
Baca selengkapnya
2. Jawaban
   Kiyara mulai mencuci beras yang hendak ia olah menjadi bubur. Sesaat sebelum menyalakan kompor gas, ia memperhatikan indikator gas yang nyaris menyentuh garis merah. Badannya langsung merasa lemas. Jangan dulu, Tuhan. Jangan habis dulu. Ijinkan aku memasak bubur ini untuk makan malam suami dan anakku, bisik Kiyara sambil sedikit terisak. Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop kompor gas. Matanya terpejam sebelum akhirnya bunyi klik terdengar. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan. Api biru menyala, menjilat-jilat pantat panci yang berisi air dan beras yang sudah ia beri bumbu sebelumnya. Diaduknya perlahan sambil bibirnya tak henti-hentinya merapal doa, berharap bubur itu matang sebelum akhirnya kompor itu mati. Suara ketukan mengejutkannya. Ia buru-buru membukakan pintu, karena ia tahu jam-jam ini adalah waktu Bian pulang dari berkeliling menjual produknya. Wajahnya langsung ia tata sedemiki
Baca selengkapnya
3. Lupakan
Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. "Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya. Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku sebuah boneka? Apaka
Baca selengkapnya
4. Ceraikan Dia!
  Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati. "Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya. "Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu. Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya  mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-
Baca selengkapnya
5. Sepakat Untuk Bercerai
 Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak,  tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak. "Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri. "Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera
Baca selengkapnya
6. Apakah Kalian Sanggup?
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
Baca selengkapnya
7. Tidak Perlu
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Baca selengkapnya
8. Pesanan Dadakan
  Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi.  "Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?" Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya? "Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu.  "Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Baca selengkapnya
9. Telpon Yang Tak Diharapkan
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Baca selengkapnya
10. Ujian Untuk Kiyara
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status