TETAPLAH BUTA, SUAMIKU

TETAPLAH BUTA, SUAMIKU

Oleh:  Pena_yuni  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
46Bab
6.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Cinta tidak pernah memihak kepada insan yang hanya memiliki kesempurnaan. Seorang pria buta pun berhak untuk merasakan indahnya cinta yang datang dengan tiba-tiba. Arfan, dia adalah pria buta yang beruntung mendapatkan cinta dari seorang istri yang begitu menyayanginya. Kehidupannya nyaris sempurna meskipun dalam kegelapan. Bersama Mentari, dia merasakan kebahagiaan yang tiada duanya. Istrinya itu bukan hanya baik, tapi juga termasuk istri yang romantis. Setiap hari Arfan disuguhkan kata-kata cinta yang membuat dia selalu mabuk kepayang bersama wanitanya itu. Namun, tanpa Arfan ketahui jika sesungguhnya wanita yang hidup bersama dia menyimpan sejuta rahasia besar yang mampu meruntuhkan rasa kasih pada diri Arfan, jika dia mengetahui yang sebenarnya. Mentari mati-matian menutupi rahasia dirinya, juga melakukan segala cara agar Arfan tidak bisa melihat kembali. Baginya, kebutaan Arfan adalah bahagianya. Sedangkan terbukanya penglihatan Arfan, adalah bencana besar yang akan meruntuhkan rumah tangga, serta cinta yang ada pada diri Arfan. Karena dia adalah orang di balik hilangnya penglihatan Arfan, juga kedua orang terkasih Arfan di masa lalu.

Lihat lebih banyak
TETAPLAH BUTA, SUAMIKU Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
H n H
start baca .. 05/03/24 wah baru diriku yg koment ini cerita .
2024-03-05 19:09:44
0
46 Bab
Bab 1
        "Sayang, seandainya aku bisa melihat, kamulah orang pertama yang ingin aku lihat." Aku tertegun. Lidahku kelu dengan tenggorokan yang tercekat. Perlahan, kusimpan sendok yang tadi sudah mengudara hampir menyentuh bibir. Tanganku beralih mengambil gelas dan meneguk airnya hingga habis. Sementara Mas Arfan, wajahnya terlihat semringah dengan kedua sudut bibir yang terangkat. Tatapan kosongnya terlihat berbinar.  Bagaimana tidak bahagia, kemarin dokter mata yang selama ini menjadi dokter pribadi Mas Arfan, mengabarkan bahwa suamiku itu sudah mendapatkan donor mata. Dia ia akan segera melakukan operasi.  "Ah, aku jadi tidak sabar ingin segera melihat rupamu, Tari. Kamu ... pasti sangat cantik," ujarnya lagi membuat detak jantungku semakin berbisik. Menolak apa yang dikatakan suamiku i
Baca selengkapnya
Bab 2
  "Ternyata apa?"  Aku terperanjat saat mendengar suara Mas Arfan dari belakang. Ia berjalan mendekat dengan tongkat sebagai pemandu langkahnya.  "Kenapa diam, Alvin. Ada apa dengan istriku?" tanya Mas Arfan lagi kepada adiknya. Kulihat Alvin mengusap wajah dengan kasar. Matanya sedikit memerah dengan keringat yang mulai hadir menghiasi wajahnya. Setali tiga uang dengan Alvin. Aku pun merasakan suhu tubuhku sedikit panas. Hatiku tiba-tiba tidak tenang karena kedatangan Mas Arfan yang tiba-tiba.  'Mungkinkah, dia mendengarkan semua pembicaraan Alvin?' "Hem ... selain cantik, istrimu juga ... manis, Mas," ujar Alvin seraya melirikku dengan tajam. Kata yang keluar dari bibirnya, tidak sama dengan isi hatinya. Aku bisa melihat dari mimik wajah Alvin. Mas Arfan mengangkat tongkat di
Baca selengkapnya
Bab 3
   "Apa yang batal, Pah?" tanya Mama memandang wajah Papa dengan serius.  Orang yang ditanya tidak menjawab. Papa mengusap wajahnya dengan kasar seraya mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia melihat ke arah Mas Arfan yang masih mendengarkan percakapan kami. "Ali, dia ... membatalkan niat untuk mendonorkan kornea untuk Arfan." Kulirik wajah Mas Arfan yang langsung meredup. Pundaknya merosot dengan punggung yang disandarkan pada sofa.  Aku mengambil tangan suamiku, menggenggam dan meletakkannya di pangkuan. Memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana yang mungkin tidak berarti apa-apa untuknya. "Kok, bisa? Bukannya waktu kita jenguk dia, dia sudah yakin dengan keputusannya, Pah?" ujar Mama dengan suara yang meninggi.  Aku tahu, ibu mertuaku itu tengah kecewa dan marah. Harapannya diputuskan tanpa alasan.
Baca selengkapnya
Bab 4
 Refleks aku melepaskan nampan yang sedari tadi aku genggam. Alhasil, gelas yang berisikan air, jatuh dan pecah berantakan di lantai.  Buru-buru aku berjongkok, lalu memungut pecahan gelas yang berserakan.  "Kenapa Tari? Kamu kaget, karena aku tahu rencanamu?" ujar Alvin lagi terus memojokkanku. Aku berdiri. Melihat tajam kepada adik ipar yang selalu berpikiran buruk padaku.  "Aku kaget, karena tidak percaya jika kamu akan menuduhku seperti itu, Al. Apa kamu punya bukti, atas ucapan kamu barusan?" ujarku menantangnya. Alvin tersenyum mengejek. Ia melipat kedua tangannya di perut, menatapku dengan tajam.  "Haruskah aku membuka semuanya agar kamu mengakuinya, Tari? Kamu ingin aku memperlakukanmu, begitu?"  "Silahkan! Silahkan lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan padaku, Al. Buktikan jika apa yang tad
Baca selengkapnya
Bab 5
   "Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung.  Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku.  Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang.  "Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku.  Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi.  "Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya.  "Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?"  "Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, d
Baca selengkapnya
Bab 6
  "Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi. "Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?"  Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya. "Kamu membohongiku?" tanyanya. "Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu."  "Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi. "Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini
Baca selengkapnya
Bab 7
"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku. "Alhamdulillah baik, Bu." "Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.  Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil.  "Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.  Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini.  "Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu. Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan m
Baca selengkapnya
Bab 8
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku.  "Ah, biasa saja, Mas." "Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku. "Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar." Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku. Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.  Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa.  "Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku. "Sukalah,
Baca selengkapnya
Bab 9
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya. "Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."  Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah. "Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya. "Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.  Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Baca selengkapnya
Bab 10
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.  Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku. "Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!"  "Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?"  "Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.  Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan.  "Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."  Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.  
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status