Saat itu aku mendapat sinyal yang sangat jelas, "Aku mencintainya." Aku bergumam didalam hati. Seharusnya, sebelum sinyal itu tertangkap jelas, sebisa mungkin aku segera membunuhnya. Seperti para lelaki lain yang pernah datang dalam hidupku. Namun aku justru memupuk rasa itu, menjadikannya obat penawar untuk rasa haus akan kasih sayang. Awalnya aku kira... Keteguhannya berasal dari hatinya yang tulus, namun ternyata dia mengambil energi dari keinginannya untuk membalaskan dendam. Kehadirannya menghancurkan perisai abadiku yang telah bertahan selama ratusan tahun.
Lihat lebih banyakSarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan
Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua
Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s
Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la
Sarah langsung pergi setelah Amarta mendesaknya untuk bercerita. Namun, sekali lagi ia menutupi fakta itu dari orang disekitarnya. Ia terlalu mencintai Bima hingga ia merasa sedikit lebam bukanlah hal serius. Perlahan Sarah mulai membatasi interaksinya dengan Amarta. Hari demi hari berganti bulan, dan rotasi waktu pun bertemu hingga hitungan tahun. Amarta masih tinggal di villa itu, walau terkadang ia pindah kesana kemari mengikuti mangsanya.Frans sudah lama tidak terlihat disekitar Amarta. Amarta pun mulai bosan dengan kehidupannya yang berjalan hampir sama selama seratus tahun. Hingga suatu hari kabar yang dibawa oleh Hadi menghantarkannya pada rencana balas dendam yang membawa begitu banyak kesenangan.Hari itu hujan deras turun ditengah-tengah gelapnya malam. Kilatan petir seperti sebuah kuas yang sedang menari diatas kanvas hitam. Lukisan itu terbentuk menampakkan goresan penuh kengerian.Tok... Tok... Tok... Suara ketukan terdengar nyaring dari arah pintu depan. Mbok Inah den
"Aku ingin tahu apakah kamu sudah berada di Jogja pada malam tahun baru?" Frans lanjut bertanya walaupun Amarta terlihat kebingungan."Memangnya ada apa? Apa hal itu penting? Atau mungkin berkaitan dengan sesuatu?" Amarta mencoba menebak.Amarta cukup kaget mendengar pertanyaan itu dari Frans. Karena perasaannya yakin bahwa apa yang ditanyakan oleh Frans ada kaitannya dengan orang-orang yang ia bunuh."Tidak... Aku hanya penasaran. Ada hal yang harus dipastikan." Frans tersenyum sekilas."Ya kalau begitu aku memilih untuk tidak menjawab." Amarta membuang muka."Apa sudah selesai? Sebaiknya kamu segera pergi karena aku masih ada urusan lain." Amarta beranjak dari duduknya."Baiklah. Wanita cantik seperti mu memang selalu sibuk. Terimakasih sudah meluangkan waktu berharga mu," ucap Frans.Frans berjalan mendekati Amarta. Satu tangannya meraih tangan kanan Amarta, dan dengan lembut Frans mencium punggung tangannya."Aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita." Ucap Frans dengan sorot ma
Frans menatap lekat Amarta. Lelaki itu berusaha menyelam ke dalam warna coklat terpekat milik Amarta."Mungkin lebih baik kamu memberitahuku detailnya, supaya aku bisa memutuskan apakah kecurigaan ini harus aku pertahankan atau ku buang tanpa berpikir panjang." Frans menundukkan tubuhnya, kedua lengan kekarnya bertumpu diatas lutut. Ia samasekali tak menyembunyikan kecurigaan diwajahnya.Amarta tersenyum sinis, "Sudah aku duga kamu lelaki yang seperti ini." "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya. Setiap detail sampai tak ada celah." Amarta bersandar pada sofa dengan kedua tangan terlipat di depan dada.Dua manusia itu saling bertatapan, suasana dingin pekat terasa. Satu dari mereka berbekal rasa sakit dihati berusaha mengorek kebenaran, dan yang lainnya sudah terbiasa menyembunyikan kebenaran."Hari itu Tommy datang, sebenarnya aku sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya. Tommy bilang dia baru saja keluar dari rumah sakit." Amarta memulai narasinya."Dia sudah sakit sebelumnya?
Sarah tersentak menyadari bola mata Amarta yang berubah. Secara naluri Sarah mulai menjauhi Amarta."Ka-kamu sedang apa?" tanya Sarah merasa ketakutan.Amarta menatap Sarah seolah tak peduli dengan apa yang wanita itu tanyakan, lalu ia kembali memejamkan matanya dan berbisik, "Sepertinya kita harus melanjutkan pembicaraan ini lain kali, terimakasih karena sudah memberitahukan tentang itu." Sarah menatap Amarta dengan wajah ketakutan. Ia jelas melihat gelagat Amarta yang sangat aneh. Wanita itu memiringkan wajahnya seolah ada tangan yang membelainya disana. Kemudian rambut Amarta terlihat bergerak seolah ada seseorang yang memainkannya namun Sarah tak dapat melihat sosok itu.Amarta kembali berbisik, "Ya, kamu benar. Dia yang menyimpan batu ludira sekarang." Lalu entah apa yang terjadi Amarta kemudian menganggukkan kepalanya, tak lama setelah itu sebuah hembusan angin terasa di dalam ruangan. Angin seperti terhentak dari titik dihadapan Amarta."Apa ini? Jelas-jelas semua jendela ter
Sarah akhirnya mengizinkan Frans mengikutinya ke villa. Ia berfikir akan aneh seandainya ia melarang Frans untuk pergi, apalagi keadaan sekarang seperti mendukung kecurigaan pada Amarta.Sepanjang perjalanan ia terus gelisah. Beberapa kali Hadi menangkap Sarah yang terus mengigit kuku ibu jarinya."Non Sarah kenapa gelisah seperti itu?" tanya Hadi.Sarah yang tersadar sudah diperhatikan oleh Hadi langsung memasang wajah canggung, "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit mual." Sarah kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil.Hadi melihat dari spion mobil dan menyadari bahwa ada yang mengikuti mereka dari belakang, "Apa Non Sarah tahu siapa lelaki dibelakang itu? Sepertinya dia sejak tadi mengikuti kita." tanya Hadi merasa penasaran.Sarah melihat kebelakang sekilas, "Oh itu temannya Bima. Dia juga ingin bertemu Amarta, jadi dia akan ke villa. Maaf aku tidak memberitahu mu," jawab Sarah."Oh begitu, tidak apa-apa, Non. Saya sempat was-was dia orang jahat." Hadi tersenyum kecu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.