“Kiri-kiri, Sist. Di sini aja.” Aku menepuk pundak Nur, yang hari ini tumben baik hati mau nganterin aku pulang.
Nurhayati tepatnya, karna Nurbaiti sedang tidak masuk hari ini. Si Nur pun mencebik kesal dan menoyorku yang tadi iseng memperlakukannya seperti kang ojeg.“Kunyuk! Ngelunjak emang lo ya? Udah gue anterin bukannya makasih, malah bikin gue kaya kang ojek aja,” omelnya membuat aku terbahak saja.“Abis lo mirip banget sama kang ojek jaman now. Sweater ijo sama helm ijo. Jadi salfok ‘kan gue. Lo kayaknya benar-benar menghayati banget peran lo jadi kang ojek ya, Nur?” sindirku di sela kekehanku.“Bangke emang lo! Temen nggak ada akhlak. Nama gue emang Nurhayati, kali! Dan gue—”“POKOKNYA BELLA NGGAK MAU!”Ucapan si Nur pun langsung terhenti, tatkala lengkingan suara Bella menginterupsi dari arah rumahnya. Aku dan si Nur sontak menoleh ke arah sumber suara. Kami langsung melihat Bella tiba-tiba keluar dari sana, sambil berlari sembarang arah. Entah mau ke mana itu bocah, yang jelas, dia lari kenceng sekali.“Anak lo kenapa?” tanya Nur asal. Membuat aku mendelik galak.Sembarangan aja! Kalau sampai kedengaran tetangga lain gimana? Bisa salah paham orang-orang. Permintaan si Bella kemarin aja sudah bikin beberapa orang heboh mulai menggunjingkan aku. Eh, sekarang si Nur malah ingin menambahkan.Makasih, deh! Aku belum siap Virall.Nggak lama setelah kepergian si Bella, bapaknya pun turut keluar dengan wajar gusar, bersama seorang wanita cantiiikkkkk sekali.Kali aku gak lebay, loh. Cewek itu beneran cantik banget kayak model luar Negri. Rambutnya aja agak pirang. Pokoknya tuh Cewek sukses bikin aku minder banget.Btw ... siapa ya, dia? Calon istri Pak Dika. Wah! Saingan aku dong. Eh?“Tan, kamu lihat Bella larinya ke arah mana?” tanya Pak Dika kemudian menghampiriku.“Ke sana, Pak.” Aku menunjuk arah Bella lari tadi.“Gimana, Dik?” tanya wanita itu yang baru sampai setelah aku menjawab pertanyaan Pak Dika.“Kamu lebih baik pergi. Sudah aku bilang jangan ganggu kami lagi!” sentak Pak Dika keras, membuat aku sampai terlonjak saking kagetnya.Iya beneran aku kaget. Soalnya Pak Dika yang aku kenal itu, jangankan marah atau menyalak seperti tadi, ngomong aja jarang. Nah, kalian bisa bayanginkan gimana kagetnya aku.“Tapi aku tetap ibunya, Dik. Aku berhak ketemu anakku.” Kekagetanku pun kian bertambah dengan pernyataan wanita cantik ini.Jadi ... dia ibunya si Bella? Wagelasih! Pantes aja si Bella kaya boneka gitu mukanya. Emaknya licin banget tampilannya.“Iya! Ibu yang nggak pernah mengharapkan anaknya!”“No! Itu nggak benar! Kamu tau pasti alasanku meninggalkan kalian waktu itu ‘kan? Aku harus memanfaatkan kesempatan emas itu.”“Kalau begitu hidup aja sama karir brengsek kamu itu. Jangan pedulikan kami lagi, karena kami baik-baik saja tanpa kamu.”Mereka malah asyik berdebat berdua, membuat aku dan si Nur saling lirik tak enak hati. Berasa kayak nonton catatan hati suami secara live aku tuh.“No, Dik! Please ... give me second chance!” Wanita itu terlihat memohon sama Pak Dika sambil meraih lengan pria yang saat ini sedang memakai kaos oblong hitam itu.Tunggu! Kayanya aku kenal itu kaos?“In your dream!” sentak Pak Dika ketus. Aku dan si Nur kembali berjengit di tempat kami.Ngagetin aja, sih!“Dik? Please ....”“Sekali aku bilang tidak! Maka tidak, Vero!”“Tapi ...”“Ekhem!” Aku pun akhirnya dengan terpaksa berdehem keras. Ya, karena aku mulai nggak nyaman aja berada di tengah pertengkaran pasangan yang sepertinya pernah menikah itu.Gila, sih! Ini aku baru pulang, masa harus jadi penonton drama live begini? Mana ... tetangga yang lain udah mulai ngintip-ngintip lagi dari pager. Nanti kalau mereka mengira ada cinta segitiga antara kami, gimana? Semakin viral aku.“Mon maaf nih ya, Pak. Tapi ... kalian mau sampai kapan berantem? Itu si Bella udah keburu jauh loh. Nanti bakal susah ngejarnya,” ujarku mencoba mengingatkan mereka pada Bella yang terlupakan.Baik ‘kan aku?“Kamu benar. Kalau begitu ayo cari Bella,” balas Pak Dika sambil tiba-tiba meraih tanganku dan mengajakku berlari ke arah yang kutunjuk tadi.Lah, kok dia malah jadi ngajakin aku? Salah alamat kayanya ini.“Eh-eh, Pak! Salah ... salah ....” Aku mencoba menarik tanganku dan menghentikan langkah Pak Dika. Pria itu pun berhenti dan menoleh ke arahku dengan bingung.“Maksud kamu? Katanya tadi Bella lari ke arah sini?” Pak Dika pun ternyata tak kalah bingung.“Ya, emang ke sana.”“Lalu, kenapa kamu bilang salah?”Haduh ... pria ini ya?“Bukan itu maksud saya?”“Lalu?“Ck! Maksud saya, Bapak salah narik. Ini tangan saya, Bapak! Tangan ibunya si Bella yang onoh!” sahutku sambil menunjuk tangan mulus wanita cantik yang tadi berdebat dengannya.Siapa, sih, namanya tadi? Belum kenalan, ih!“Dia benar!” sahut wanita itu, sambil melirikku tak suka. “Yang harusnya kamu gandeng itu aku, bukan dia. Karena aku adalah ibunya Bella!” sambungnya seperti ingin menegaskan statusku di sini.Wanita itu terlihat benar-benar nggak bersahabat menatapku, membuat aku refleks menelan saliva kelat hanya karwna tatapannya itu.Wah! Kayanya ada yang salah paham lagi di sini.“Aku nggak salah,” balas Pak Dika tiba-tiba, lalu mengaitkan jemari kami ssemakine kuat.Deg!Eh, kok? Itu tangannya ...“What do you mean, Mahardika?” tanya wanita itu dengan tatapan menyalang.“Maksudku jelas. Aku memang tak salah menggandeng orang. Karena harus kamu tau. Dia ...” Pak Dika menunjukku tiba-tiba. “Adalah Ibu sambung buat Bella.”Eh-eh! Maksudnya apa itu?“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa men
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?
“Tan?”“Iya, Pah?”“Sini bentar, Nak,”Aku pun langsung mengurungkan niatku yang tadinya hendak ke dapur untuk ambil minum. Kini aku berbelok ke arah ruang tv, di mana Papa dan Mama berada.“Duduk sini, Nak,” titah Papah saat sudah dekat dengan tempat itu.Aku pun mengambil duduk di sofa samping Mama, karena Papa sendiri duduk di sofa single. Mama duduk di sebelahnya, di
Ratu Isabella sakit!Wew! Haruskah aku bikin pengajian buat ngerayainnya? Soalnya aku senang banget dengar kabar ini.Asli!Please, jangan bilang aku kejam atau nggak punya hati. Kalian nggak tau aja bagaimana rasanya hidup berdampingan sama makhluk ngeselin kayak bocah itu.Hidupku rasanya runyam!Makanya boleh ya aku adain pengajian syukuran. Biar boc
Sluuurrrppp ….Aaahhh ….Glek!Aku meneguk ludah tanpa sadar. Saat melihat Bella menyeruput kuah sayur yang aku buatkan, hingga tak bersisa di mangkuknya.Gila! Nih bocah doyan apa lapar, sih? Sampai bersih gitu mangkoknya. Nggak usah dicuci lagi kayaknya. Sudah licin gitu kok.“Enak, Tante. Nanti bikinin lagi ya?”Kebiasaan! Sakit-sakit tetap aja ngelunjak.“Masih ad
“Pagi, Tan. Udah mau berangkat kuliah ya?” sapa Bu Nana, saat aku baru saja nengeluarkan motor matic ke halaman rumah.Bu Nana ini adalah ibunya Pak Dika dan saat ini dia sedang menyiram tanaman kesayangannya di depan rumah. Orang tua Pak Dika memang sudah kembali pulang, sehari setelah kejadian itu.Duh, nggak usah diingetin ya soal kejadian itu. Soalnya jantung aku suka mau copot kalau inget moment mendebarkan itu.
“Tante, lama,” rengek Bella, saat siang itu aku jemput di sekolahnya.“Jangan rewel. Udah untung Tante jemput,” balasku malas plus kesal.Soalnya gara-gara harus jemput Bella, aku harus absen dari acara nonton bareng duo Nur. Padahal, acaranya sudah kami rencanakan dari jauh-jauh hari. Gara-gara telepon dari Bu Nana, semua jadi buyar sudah.“Tan,
Aku pernah sakit hati, aku pernah dikecewakan, bahkan pernah diselingkuhi. Karena aku bukan gadis polos yang tak pernah mengenal pacaran.Tidak! Tentu saja aku pernah pacarana, bahkan sejak SMP pun aku sudah punya pacar dan sering menangis karena putus cinta. Akan tetapi, hanya menangis seadanya karena sakit hati biasa, yang akan hilang seiring berlalunya hari.Hanya saja, kenapa aku merasa sakit hati kali ini beda ya?Rasanya lebih sakit dan lebih menyesakan. Sampai membuat aku kehilangan semangat hidup berhari-hari.