Usai mandi, Dokter Ardian keluar dari dalam kamarnya lalu masuk ke dalam kamar Citra.Di sana tampak Citra sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.“Di mana anakku?” tanya Dokter Ardian ketika melihat Citra tidak memangku anaknya.“Ada di tempat tidurnya, Dok,” jawab Citra sembari menyimpan ponselnya ketika melihat Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya.“Mm … maaf ya, untuk yang tadi malam,” ucap Dokter Ardian merasa tidak enak pada Citra.“Tidak apa-apa, Dok. Saya mengerti,” balas Citra dengan sopan.Di depan pintu kamar Citra, Widia mendengarkan pembicaraan mereka dan mengernyitkan dahinya.‘Apa yang terjadi di antara mereka tadi malam?’ batin Widia. Ia pun semakin penasaran ada hubungan apa antara Dokter Ardian dan Citra.Widia pun masuk ke dalam kamar Citra dengan membawa secangkir kopi untuk Dokter Ardian.“Ini, aku buatkan kopi khusus untuk Kak Ardian,” ucap Widia seraya menaruh secangkir kopi di atas meja.“Terima kasih,” balas Dokter Ardian.“Saya mau ke kamar dulu,” pa
BAB 11Minggu, 07 Juni 20xxHari ini suamiku libur bekerja. Aku pun mengajak-nya untuk berbelanja keperluan calon bayi kami. Tentu saja suamiku sangat antusias karena ini anak pertamanya.Dia terlihat sangat senang saat memilih pakaian dan keperluan bayi. Aku bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya.Dokter Ardian membaca buku diary milik Nadia dengan menitikkan air mata. Saat ini, ia sangat merindukan istri yang setiap hari menemani hari-harinya itu.Ia pun menatap tempat tidur yang ada di sampingnya, tampaklah kenangan saat Nadia berbaring dan tersenyum padanya.Biasanya Nadia akan berbaring sembari mengelus perutnya yang buncit dan mengajak bicara janin yang ada di dalam kandungannya.Kemudian Dokter Ardian membelai bantal yang biasa dipakai Nadia. Ia mencium bau bantal itu. Wangi rambut dan tubuh Nadia masih melekat di bantal itu. Ia pun mengambil bantal itu lalu meremas dan memeluknya.“Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian dengan tubuh bergetar dan menangis di
BAB 13Sesampainya di lantai dua, Dokter Ardian masuk ke dalam kamar Citra untuk menidurkan Nizam. Di sana, Citra sedang merapikan kamarnya dan mainan Nizam. Dokter Ardian pun bisa melihat bahwa Citra lebih tulus dari pada Widia.***Empat bulan kemudianKarena selalu didesak, akhirnya Dokter Ardian pun setuju untuk menikah lagi. Ia melakukan semua itu untuk Nizam.Kini Nizam sudah berusia enam bulan. Dokter Ardian pun mengajaknya berziarah ke makam istrinya, dengan mengajak Citra tentunya.Setelah mengaji dan berdoa, Dokter Ardian pun membelai batu nisan almarhumah Nadia.“Apa kabarmu, Sayang?” tanya Dokter Ardian.“Apa kamu baik-baik saja di sana? Aku harap demikian. Setiap malam aku selalu berdoa semoga kamu bahagia di sana,” imbuh Dokter Ardian. “Hari ini aku mengajak anak kita. Dia sudah besar sekarang,” tutur Dokter Ardian seraya menatap Nizam di gendongan Citra.“Oh iya, Papa menyuruhku menikah lagi. Apa kamu setuju kalau aku menikah dengan dia?” tanya Dokter Ardian meskipun ia
BAB 15 Citra pun terpaksa menyetujuinya untuk menghormati para tamu yang sudah datang. Dua jam berlalu. Para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggallah keluarga Dokter Ardian dan Bu Ratna, tapi Bu Ratna tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ia datang dengan mobil sewaan beserta sopirnya. “Yan, bisa jelaskan tentang semua ini?” tanya Pak Aryo. Sedari tadi ia juga ingin mendengarkan penjelasan dari Dokter Ardian, tapi ia tahan dan bersabar menunggu para tamu undangan pulang. “Ardian lelah, Pa. Ardian janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” balas Dokter Ardian lalu naik ke atas di mana kamarnya berada. Sedangkan Citra sudah naik ke atas terlebih dahulu untuk menidurkan Nizam yang rewel karena mengantuk. Pak Aryo pun mendesah pelan. Setelah itu ia pun memutuskan pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Setelah Nizam tertidur, Citra mencubit pipi dan punggung tangannya sendiri. Ia mengira ini semua hanyalah mimpi. Namun, setelah ia mencubit pipi dan pu
BAB 17 Saat akan berganti pakaian di dalam kamar, ia pun teringat akan kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Ia melirik kamera itu lalu mengambil pakaian dari dalam almari. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi lagi untuk berganti pakaian. Ia tidak mau Dokter Ardian melihat tubuhnya yang telanjang melalui kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, Citra keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju meja makan. Sedangkan Nizam, sudah ia titipkan pada Bik Yati sebelum mandi. Di meja makan, Dokter Ardian sudah menunggu Citra untuk sarapan bersama seperti biasanya. Namun, kali ini ada rasa canggung di antara mereka karena sudah berstatus suami istri. Citra bingung harus bersikap bagaimana. Mau menyiapkan makanan, tapi sudah disiapkan Bik Yati semua. Begitu juga dengan Dokter Ardian, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada Citra yang kini sudah menjadi istrinya. “Mm ….” Dokter Ardian dan Citra hendak membuka pembicaraan hampir bersamaan setelah menghabis
BAB 19 Seusai kepergian Dokter Ardian, Nizam mulai mengantuk dan merengek. Ia menarik-narik kancing bagian atas baju Citra. Citra pun membuka kancing bajunya dan memberikan buah dadanya pada Nizam seperti biasanya. Sejak bayi, Nizam sudah terbiasa mengempeng buah dada Citra. Citra pun sudah terbiasa melakukannya. Hingga akhirnya mereka berdua tertidur bersama dengan pintu yang masih terbuka lebar. *** Siang hari, Dokter Ardian kembali pulang ke rumah. Ia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Saat melewati pintu kamar Citra yang terbuka, ia pun masuk karena melihat Citra berbaring miring membelakangi pintu seperti tadi. Ia mengira Citra sedang menggoda Nizam yang berbaring di sampingnya. “Nizam … Papa datang, Sayang …,” ucap Dokter Ardian seraya berjalan mengendap-endap menghampiri Nizam karena ingin membuatnya terkejut. Namun, saat Dokter Ardian sudah sampai di tepi ranjang Citra, betapa terkejutnya ia saat melihat buah dada Citra yang terbuka dan sudah terlepas dari mulut Nizam.
BAB 21 “Bagaimana ini? Masa Dokter Ardian beneran mau tidur di sini?” gumam Citra dengan khawatir. Ia pun kembali menutup pintu kamar mandi dan menunggu Dokter Ardian pergi dari kamarnya. Tiga puluh menit berlalu Citra tak kunjung keluar dari dalam kamar mandi, Dokter Ardian pun turun dari tempat tidur dan mengetuk pintu kamar mandi. “Kamu gosok gigi apa tidur? Lama sekali di dalam kamar mandi?” tanya Dokter Ardian di depan pintu kamar mandi. Citra pun terperanjat kaget ketika mendengar suara Dokter Ardian. Ia bingung harus bagaimana. Akhirnya ia diam dan berpikir untuk mencari alasan. Karena tidak ada sahutan dari Citra, Dokter Ardian pun membuka pintu kamar mandi yang memang tidak dikunci oleh Citra. Ia mengira Citra pingsan di dalam kamar mandi. “Dokter!” seru Citra saat melihat pintu kamar mandi terbuka. “Kamu sedang apa di dalam kamar mandi? Lama sekali,” tanya Dokter Ardian saat melihat Citra berdiri di depan wastafel. Citra pun keluar dan melewati Dokter Ardian yang ber
BAB 23 Pagi hari Citra turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama Dokter Ardian seperti biasanya. Namun, kali ini berbeda. Biasanya Dokter Ardian sudah duduk di meja makan sambil membaca koran, tapi pagi ini meja makan masih kosong. “Dokter Ardian mana, Bik?” tanya Citra pada Bik Yati. “Belum turun, Mbak,” jawab Bik Yati lalu mengambil alih Nizam dari gendongan Citra seperti biasa. “Tumben,” gumam Citra seraya mengerutkan keningnya. Citra pun kembali naik ke lantai dua untuk melihat Dokter Ardian. Hari ini Dokter Ardian harus bekerja. Citra tidak ingin Dokter Ardian terlambat. Di rumah sakit pasti sudah banyak pasien yang menunggunya. Sesampainya di depan pintu kamar Dokter Ardian, Citra mengetuk pintunya. “Dok …,” panggil Citra. “Eh salah, Mas …,” ralat Citra dengan jantung berdebar. Memanggil Dokter Ardian dengan panggilan “Mas” membuat Citra merasa kikuk. Sudah beberapa kali Citra mengetuk dan memanggil Dokter Ardian, tapi tidak ada sahutan dari dalam kamar. Karena merasa