"Vin," lirih Shesa.
"Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti.
Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya.
"Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya.
Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya.
"Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan.
"Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."
"Membicarakan apa?" tanya Alvin yang langsung saja masuk ke ruangan sekretaris sang Ayah. "Pak Alvin, silahkan duduk," ujar Bu Sinta. "Biar di sini saja, Bu Sinta ... tadinya saya ingin meminta bantuan untuk mencarikan file produk, ternyata Bu Sinta sedang ada tamu." Alvin berdiri di samping Shesa. "Ah ... hanya berbincang mengenai posisi kosong sebagai sekretaris Pak Alvin, sudah ada dua kandidat dan satu lagi saya menawarkan posisi itu pada Shesa." "Hasilnya?" tanya Alvin melirik Shesa dengan ekor matanya. "Saya pikirkan dulu, Pak Alvin ... saya baru bekerja hitungan minggu di perusahaan ini, jadi saya tidak ingin gegabah mengambil keputusan, apalagi untuk posisi yang di tawarkan pada saya bukan lah bidang yang saya geluti," ujar Shesa. Alvin hanya mengangguk, "ok ... silahkan dipikirkan," ucap Alvin lalu berlalu keluar dari ruangan itu. "Sebaiknya dipikirkan lagi, Sha ... aku lebih tertarik sama kamu di banding yang lain, ta
"Sha." Suara itu terdengar lirih, seakan meminta sesuatu yang menjadi candunya. Alvin semakin mendekatkan tubuhnya, sapuan nafasnya semakin terasa hangat menerpa wajah Shesa. Alvin menautkan bibirnya pada bibir Shesa, menyesapnya lama. Shesa menikmati setiap gigitan-gigitan kecil di bibirnya, matanya terpejam sedangkan tangannya membelai lembut rahang lelaki itu. Alvin menarik pagutannya, matanya menatap sendu mata Shesa yabg baru terbuka saat ciuman itu berakhir. "Aku gak tau ini apa, tapi aku ngerasa sesuatu berbeda saat pertama kali ketemu kamu," bisik Alvin di telinga Shesa. Alvin kembali menautkan bibirnya, kali ini lidah mereka saling menari di dalam sana, tangan Alvin menahan tengkuk leher Shesa, menciumnya semakin dalam. Tangan lelaki itu turun ke dada Shesa, payudara wanita itu terasa padat di tangan kekar milik Alvin. Shesa melenguh saat cengkraman itu semakin kuat meremas dadanya. "Vin ...." Shesa menarik dirinya,
Suara ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Alvin dalam mengerjakan pekerjaannya. Budiman Atmaja, ayah Alvin datang menemui putranya bersama seorang wanita berkulit putih bening, bermata indah dan mempunyai rambut berwarna coklat keemasan. "Hai, Alvin," sapa Soraya. Wanita dengan tinggi badan 165 sentimeter itu berjalan mendekati Alvin dan memberikan kecupan di pipi lelaki itu. "Papa kesini mau nganterin Soraya, ajak Soraya makan malam ya ... jauh-jauh dari Bali sudah pasti harus kamu jamu dengan baik," ujar Budiman pada Alvin. "Kenapa gak Papa sama mama aja yang makan malam sama Soraya? Alvin masih banyak pekerjaan." Alvin berusaha menolak, jelas dia ingat sekali janjinya pada Shesa malam ini. "Papa masih ada urusan, kalo mama kamu ... tau sendiri lah jadwalnya padat, kan." Budiman menepuk pundak Soraya. "Soraya, Om tinggal dulu ya ... butuh apa-apa selama di sini, bilang aja sama Alvin." Budiman lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Suara ponsel Shesa berbunyi kala dua sahabat itu sedang membahas tentang masalah percintaan yang dialami oleh Shesa. "Siapa?" tanya Nina. "Alvin," jawab Shesa dengan mata yang terbelalak lalu menatap Nina. "Nin ... gimana?" "Eh, gimana? malah nanya gue." Nina mengangkat kedua bahunya. "Angkat aja." Shesa meletakkan jari telunjuk di bibirnya memberikan isyarat pada Nina untuk diam. "Halo," sapa Shesa dengan wajah yang datar. "Kamu dimana?" "Kenapa?" "Aku tanya kamu dimana, jangan balik bertanya," ujar Alvin. "Sedang di suatu tempat, kenapa?" "Aku jemput, katakan dimana?" "Aku lagi sama teman-teman," ujar Shesa. "Lain kali saja ...." "Sha ...." "I got to go now, bye (aku pergi dulu)" ujar Shesa menutup telponnya. "Ish ... kejam lo," ujar Nina. "Biar gak kebiasaan maenin hati anak perawan," ujar Shesa terkekeh meski hatinya perih. "Anak perawan, njiirr." Nina
Alvin menatap Shesa dengan tatapan tajam saat Shesa meminta izin meninggalkan ruangan kerjanya. Sedangkan Soraya masih asyik mengingat ingat, semahal apa bayaran Shesa hingga mantan model itu memutuskan untuk bekerja di perusahaan Alvin."Aku keluar sebentar," ujar Alvin beranjak dari kursinya."Kemana?""Ke ruangan Ibu Sinta," bohong Alvin yang sebenarnya ingin mengejar Shesa.Langkah lebar Alvin keluar dari ruangannya mengejar Shesa sampai ke depan pintu lift, dan nasib baik berpihak padanya. Wanita itu masih berada di depan lift, pintu lift terbuka Alvin berlari kecil dan berhasil menahan pintu lift dengan tangannya."Tunggu!" seru Alvin.Shesa memutar tubuhnya saat satu kakinya baru saja masuk ke dalam lift, cepat-cepat dia menekan tombol close namun kalah cepat dengan Alvin yang buru-buru ikut masuk ke dalam."Dengerin dulu," ujar Alvin meraih tangan Shesa."Apa-apa sih," sungut Shesa menepis tangan Alvin.Alvin men
Shesa baru saja turun dari mobilnya saat dia melihat Alvin memasuki apartemen tempat Shesa tinggal. Wanita itu mengerutkan kedua alisnya, darimana Alvin tahu dimana tempat tinggalnya, pikir Shesa. Barulah dia tersadar jika dia mengaktifkan GPS pada ponsel yang Shesa gunakan. "Ck, kenapa harus kesini sih," gumam Shesa lalu masuk lagi ke dalam mobilnya. Rencananya untuk menukar pakaiannya terlebih dahulu baru pergi lagi menuju ke sebuah Mall pun kandas. Shesa menonaktifkan GPS ponselnya, lalu mengemudikan mobilnya ke tempat yang dia tuju. Lelah mencari sesuatu yang dia butuhkan, Shesa masuk ke restoran Jepang yang berada di Mall itu. Setelah memesan makanannya, Shesa kembali menggulir layar ponselnya, beberapa pesan masuk termasuk dari Nina dan Alvin. "Shesa? Hai ... Shesa," sapa dua orang wanita dengan postur tubuh yang tak kalah tinggi darinya dengan paper bag yang berisi barang-barang branded, dua wanita itu bergabung duduk bersama Shesa di sana. "Lo
"Kalo udah baikan kamu boleh pulang," ujar Shesa, kali ini Shesa beranjak keluar dari kamarnya.Alvin mengusap wajahnya, dia meringis ketika tangannya mengenai pelipis mata, dan pipinya yang lebam. Matanya menyusuri ke seluruh ruangan, kamar yang berukuran besar berwarna putih itu berdesain sangat elegan, satu pintu penghubung berhadapan langsung dengan tempat tidur, Alvin yakin itu adalah ruangan dimana segala benda ber merk seperti sepatu, tas bahkan baju berada di sana.Alvin beranjak perlahan, menyusuri kamar itu. Balkon yang menghadap langsung pada pemandangan malam kota Jakarta begitu indah terlihat dari tempat dia berdiri sekarang. Bisa dia tebak, jika Shesa sedang ingin menyendiri, maka Shesa akan menghabiskan waktunya berlama-lama duduk di sana."Mau aku pesankan taksi?" Suara Shesa membuyarkan lamunan Alvin.Alvin memutar tubuhnya, bersandar pada pagar pembatas balkon."Luka aku belum juga kering, udah kamu suruh pulang."