Share

Part 2 SMS Banking

Saat mereka tertawa menghina. Aku masih bersabar untuk diam. Biar mereka puas dulu dan nanti akan kutampar dengan tiba-tiba punya uang banyak. Uang yang lebih dari dua puluh juta rupiah adalah nominal yang seumur hidup tak pernah kupegang. Dan ini seperti mimpi aku bisa memilikinya. Dan itu nominal akan cair, belum yang pending.

"Hey! Mantu terkaya, kepalanya nggak terbentur kan? Atau perlu kubawa ke rumah sakit jiwa?" 

"Ha ha ha, Ibu nih. Emang mantu terkaya ibu rada iniii?" Stela memiringkan telunjuknya di kening memberi isyarat jika aku menantu gil*.

"Aduh, Stela, jangan gitu dong, gimana pun juga Rina tetap kakak iparmu, kalau yang yang kamu ucapin jadi kenyataan gimana? Ha ha ha." Mbak Inur pun ikut bersuara. Bukan membela justru ia ikut menanggapi lelucon menghinaku.

"Tunggu dulu, Bu Ida. Maaf, bukan ingin ikut campur. Sepertinya aku salah waktu menagih hutang." Mbak Leha seperti merasa bersalah melihat raut wajahku, saat menatap mereka sedang menghina. Menantu gil* sebutan untukku. 

'Silahkan kalian tertawa,' bathinku. Dan mungkin ini tak akan bisa dimaafkan karena luka hati ini semakin dalam. Ya Tuhan, maaf dengan hati ini ingin membalas.

"Leha, kamu tu mikir nggak sih? Udah jelas Bayu keadaanya seperti ini. Mantu terkayaku dapat duit dari mana buat ganti uangmu? Jika kamu tuntut aku, ya tidak bisa dong. Lah hasil warungku saja tak seberapa, belum lagi menanggung makan satu keluarga. Seharusnya mereka yang beri aku uang, ini malah kebalik. Sialnya aku punya anak yang tak bisa bantu di hari tuaku."

"Jangan ngomong gitu, Bu. Kata-kata itu do'a loh."

"Ini bukan do'a tapi kenyataan kok." Ibu mertua masih kukuh dengan ucapannya.

Mas Bayu menunduk. Terlihat ia sedih. Dan mungkin luka hatinya lebih dalam dariku. Ini ibu kandungnya yang bicara menghina. 

"Bu, Mas Bayu tetap putra Ibu. Apa Ibu tak ingat jasa Mas Bayu saat kerja dulu?" Kuberanikan menjawab.

"Hey!" Pundak kananku didorong hingga aku terduduk di kursi. Untung di belakangku kursi, jika lantai bisa ikutan jatuh bersama Raka yang sedang menyusu.

"Ibu." Mas Bayu berusaha menolongku. Gerakan sulit karena ia berjalan dengan bantuan tongkat.

"Apa? Kamu menyalahkan Ibu? Kurang apa lagi Ibumu ini. Bahkan aku yang mencari uang untuk biaya makan anak dan istrimu! Untung ada Jaka yang bantu, kalau tidak bisa mati aku cari uang sendirian." 

Mas Bayu terdiam lagi. Aku tahu ia ingin menjawab. Tapi kondisinya belum bisa cari uang. Terpaksa diam menahan saat kami dihina.

"Seharusnya kamu sadar diri, Bay. Sudah untung tak repot kerja. Kalau dikumpulkan uang pengeluaran untuk biaya makan kalian, mungkin kami sudah bisa beli mobil." Mas Jaka pun tak tinggal diam membela ibunya.

"Aneh ya, udah nggak mampu berlagak pula," gumam mbak Inur menatap kami sinis.

"Maaf, ya. Aku permisi dulu. Oh ya, Rin, dua hari lagi aku ke sini, jangan janji aja ya, itu uang dapurku. Kamu tau sendiri lah suamiku cuma kerja di toko kain."

"Iya, Mbak. Insya Allah pasti kuganti dan dilebihkan," jawabku lagi, lalu berusaha bangkit berdiri.

"Rin, kamu dapat uang dari mana? Bahkan di sakuku aja hanya ada uang tiga ribu rupiah," ucap mas Bayu pelan. Aku tahu ia khawatir. 

"Tuh tukang menghayal belum juga sadar." Stela ikutan menyindir.

"Mas, Insya Allah pasti ada jalan. Aku akan kerja, Mas," jawabku. Dalam hati berucap, 'kerja menulis, Mas.'

"Tapi di mana-mana kerja dulu baru digaji. Lah kamu kerja apa, Rin?"

"Aduuuh! Kok malah ada drama segala. Sebenarnya kamu mau kerja apa, Rin? Mustahil langsung dapat uang. Jual d*r*?"

"Astagfirullah'alaziim, Ibu!" Mas Bayu tak terima aku dihina. Seketika ia melotot.

"Kenapa? Berani melototi Ibu sekarang?"

"Sudahlah, Bu. Aku lapar nih, jika ini kita perpanjang kapan Rina masak?" Mas Jaka menarik tangan ibu menjauhi kami.

"D*s*r *n*k d*rh*ka! Sudah c*c*t masih juga mel*w*n," cerocos ibu sambil menjauhi kami.

"Dasar kalian ya, seharusnya berterima kasih ke Ibu." Stela pun berlalu setelah meninggalkan kata-kata.

"Maaf ya, Rin. Seharusnya aku tak kasih tahu mertuamu."

"Nggak apa-apa, Mbak Leha. Mbak meminjamkan uang berarti percaya jika aku pasti menggantinya. Insya Allah dalam waktu dua atau tiga hari ini. Jika aku tak bisa bayar, cincin nikahku jaminannya."

Mas Bayu langsung menatapku.

"Sebaiknya jual aja cincin nikah itu sekarang, bayar hutang kalian dan tambah biaya dapur, beres kan?" tukas mbak Inur enteng, yang duduk tak jauh dari kami.

"Itu urusanku, Mbak!" jawabku tak tahan terus diam.

"Oooh, urusanmu, oh aku lupa, kamu kan mantu terkaya, ha ha ha."

"Aamiin," jawabku meng-Aminkan katanya karena kata-kata itu bagiku semacam do'a.

"Uh! Dasar aneh." Lalu ia berlalu.

"Sabar ya, Rin. Semoga ada jalan kamu bisa hidup mandiri. Sunghuh, aku merasa tak enak kamu diperlakukan seperti ini. Maaf ya."

"Aamiin. Nggak apa-apa, Mbak. Kami udah biasa kok." Bibirku pun berusaha tersenyum.

 "Aku pamit dulu."

Setelah mbak Leha pergi, mas Bayu langsung merogoh saku.

"Rin, aku hanya punya ini." Uang lembaran dua ribu dan koin seribu, disodorkan padaku.

"Iya, Mas." Kuterima uang itu.

Ini nafkah tiga ribu rupiah dari suamiku. Meskipun sedikit tapi entah kenapa aku merasa ia suami yang masih berusaha bertanggung jawab. Keadaan kakinya bukan keinginan kami, tapi ini Tuhan berkehendak. Dosa bagiku menyalahkan takdir.

"Hey Mantu terkaya! Cepat sana ke dapur, kami sudah lamar nih." Teriakkan ibu mengatakan aku 'menantu terkaya' kuanggap do'a meskipun mereka mencemooh.

"Ya, Bu," sahutku belum bisa membantah.

"Raka tidur, Mas. Tolong jagain dulu di kamar."

"Iya, ayok."

Kubaringkan Raka di ranjang. Ia terlelap dan Alhamdulillah sehat, meskipun kondisi kami sangat kekurangan.

"Rin, maafkan keluargaku. Seandainya aku mampu pasti kubawa pergi dari sini." Mata mas Bayu berkaca. Ia di tengah keluarga kandung tapi tersisih. Kejadian seperti ini kuanggap hanya sebuah tontonan di sinetron, tapi kenyataanya kami yang mengalami. Sesak sekali dada ini ....

"Mas, yang penting kita tak berhenti berusaha dan berdo'a. Aku masak dulu."

Lalu aku berlalu ke luar kamar. Tak ingin membahas itu berlama-lama karena aku tak ingin menangis. Sekarang yang kubutuhkan kuat menghadapinya. 

***

Masakan kuhidangkan di meja makan. Ada ayam goreng, sup bakso dan asam padeh ikan. Mereka lahap menyantapnya. Aku tahu karena masakanku enak. Tentu saja karena pernah kerja di rumah makan padang. Dari pengalaman dapat ilmu karena aku sadar tak berpendidikan tinggi.

"Rin, besok pagi buatkan aku asam padeh ikan ini lagi. Mau kubawa ke kantor," pinta mas Jaka, saat aku meletakkan sepiring prekedel tahu.

"Iya, Mas," jawabku.

"Nanti bilang itu masakanku ya, Mas. Biar teman-temanmu memujiku," timpal mbak Inur.

"Lah kamu aja nggak bisa masak seenak ini. Barati aku bohong dong."

"Alaah, itu aja dipermasalahkan. Nanti Inur bisa belajar masak enak dari Rina. Toh sekarang ini Inur tak perlu repot masak, lah ada Rina kok. Bilang ajalah biar Inur ikut disanjung." Ibu seide dengan menantu kesayangannya.

'Silahkan bela menantu kesayanganmu, sebentar lagi aku akan lihat reaksimu jika tiba-tiba aku punya uang.'

Aku masuk ke kamar. Mas Bayu sibuk dengan ponselnya. Aku tahu ia sedang buka situs lowongan kerja seperti biasa. Tapi apa ada lowongan kerja untuk orang cacat?

"Kamu udah makan?" Ponsel diletakkan di kasur.

"Belum, mereka masih makan, Mas," jawabku.

Ya, kami makan setelah mereka makan. Ini sudah biasa. Bahkan tak jarang kami hanya disisakan satu potong ikan saja, dan akhirnya kami berbagi. Namun kami tetap bersyukur. Masih ada nasi dan kuah sayur serta sambal. Buktinya Alhamdulillah tubuh kurusku masih sehat, ASI juga banyak.

Setiap malam setelah semua orang terlelap tidur, dua jam kugunakan mengetik satu bab cerbung. Karena ini kisah hidupku, tak perlu repot memikirkan alur. Karena aku sendiri yang mengalaminya.

***

Setelah mandi dan salat subuh, kumandikan Raka. Yang lain masih tertidur lelap ditambah pagi ini bumi diguyur hujan. Segera ke dapur memasak ikan asam padeh yang diminta mas Jaka. Sambil masak pun cucian kurendam. Tak ada mesin cuci, kata ibu sayang buang uang membelinya, karena ada tanganku yang akan mengerjakan.

"Mas, Raka mana?" tanyaku mendapati mas Bayu masuk dapur.

"Ada di kamar lagi main. Sayur untuk Raka mana, Rin?" tanya mas Bayu sambil mengambil nasi.

"Di meja makan, Mas."

Setiap pagi mas Bayu yang menyuapi Raka makan. Hanya dengan sayur bayam dan tempe. Jika kedapatan memasukan ikan atau ayam ke sup anakku, ibu pasti marah. Katanya masih balita cukup gizinya dari ASI saja. Sebuah pemikiran yang tak sesuai denganku. Meskipun hanya tamat SMP, aku tahu mana gizi yang bagus untuk balita. Tempe atau tahu pengganti protein jika tak mampu beli ikan dan daging. Jika ada uang, beli telur di warung ibu. Kadang satu butir telur pun aku harus berpikir membelinya. Untung tempe dan tahu tak dilarang di dapur ini.

***

Nasi goreng sudah terhidang. Mereka sarapan bersama kecuali aku dan suamiku. Mas Bayu sedang membersihkan warung. Meskipun berdiri dengan satu kaki yang dibantu tongkat, tak jadi penghalang jika sekedar menyapu. Tentu tak selincah aku menyapu. Intinya kami kerja dulu baru bisa makan. Dan yang dimakan pun tunggu mereka selesai makan. Jika seperti ini terlihat di adegan sinetron, mungkin hidupku sama dengan adegan itu. Sinetron di kehidupan nyata.

"Mas, nanti aku ijin ke rumah teman, ada yang ngajak bisnis jual baju."

"Trus Zilan ma siapa?"

"Ada Rina yang jagain."

Aku sedang mengepel lantai. Hanya bisa melirik mbak Inur dan mas Jaka bicara di ruang tamu ini tanpa aku ikut menanggapi.

Sudah tiga kali dalam minggu ini mbak Inur ke luar rumah. Bahkan aku tempat penitipan bayinya. Kadang aku diberi uang dua puluh ribu dan kadang hanya lima ribu saja. Alasannya biar bayinya juga bisa kususui. 

"Aduh, Nur. Kasihan Zilan jika ditinggal terus, kamu tau kan kalau kita sudah lama mengharapkan anak. Lima tahun bersabar dan akhirnya kamu hamil juga. Apa nggak sayang jika ditinggal terus." Terdengar mas Jaka keberatan.

Drrrt drrrt.

Ponselku bergetar. Dirogoh ponsel dari saku daster yang kupakai. Lalu melihat layarnya.

'Masya Allah ... Alhamdulillah ....' Berucap syukur dan tak hentinya aku mengucap di hati. Seketika lututku bergetar, bukan karena takut atau sakit, tapi karena masih shock jika uang dari hasil menulis masuk ke rekeningku, dengan pemberitahuan via sms banking.

Nominal yang kuterima masih enam belas juta rupiah lebih. Sementara sekitar tujuh juta lagi belum diterima karena beda aplikasi. Jadi untuk pembayaran pun beda tanggalnya.

"Rina! Jagain anakku. Ntar kukasih uang lima belas ribu deh. Lumayan kan dari pada kerja di lampu merah," racau mbak Inur yang masih duduk bersama suaminya.

"Apa?" tanyaku masih memegang ponsel.

"Jagain Zilan karena aku ada acara di luar. Masak itu aja nggak dengar. Ntar kuupah lima belas ribu, lumayan kan dari pada kamu ngamen di lampu merah dan suamimu minta sedekah." Ia mengulangi ucapannya. Dan bahkan lebih tajam.

"Tidak bisa, aku juga punya urusan," tolakku tegas seketika. Mbak Inur dan mas Jaka langsung membelalak menatapku.

Bersambung ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
hhhhjjjkoooo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status