"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu mertua. Matanya membulat sempurna menujuk jariku. Begitupun mbak Inur agak sedikit mangap.
'Makanya, jangan remehkan aku yang hanya tamat SMP,' bathinku. Pura-pura tak dengar.
"Rina! Ibu nanya kok malah diam. Itu cincin dari mana dapatnya?" Mbak Inur kesal karena kuabaikan.
"Apa?"
"Apa apa apa! Ini kamu dapat uang dari mana belanja? Sini lihat cincin itu!" Ibu ingin menggapai jariku.
"Iiih! Apaan sih?" Kujauhkan tanganku dari ibu.
"Sini lihat!" Ibu masih kukuh agar aku memberikan cincin ini.
Oh, tidak bisa! Emangnya apa urusanmu.
"Kenapa Ibu memaksaku agar memberikan cincin ini? Toh bukan punya Ibu kan?"
"A-apa? Kamu sudah bisa melawan sekarang?" Bahuku kananku sedikit di dorong.
"Iih! Bisa nggak tangannya dijauhkan dari aku?" Alisku bertaut menatapnya. Tentu aku tak bisa diam seperti biasa.
"Hah? Bisa melawan ia sekarang, Bu." Si tukang kompor juga ikut memanasi ibu. Silahkan saja.
"Ya! Dan kamu apa urusannya dengan hidupku, urus urusanmu sendiri! Aku mau punya emas asli atau palsu, lagian nggak pakek duit kamu, kok!" Suaraku lantang sambil menujuk mbak Inur. Rasa sakit hati karena hinaan mereka selalu membayangiku setiap hari. Dan tertahan.
"Udah pulang, Rin?" Tiba-tiba mas Bayu muncul dari pintu kamar.
"Iya, Mas. Ini kubawakan nasi bungkus. Aku yakin kamu belum sarapan apalagi makan siang," jawabku sambil mengambil kantong belanjaan di meja, lalu melangkah mendekati mas Bayu.
"Kok belanja banyak? Dapat uang banyak, Rin?"
"Iya, Mas. Alhamdulillah aku juga bisa beli ini." Kuulurkan tangan kananku memperlihatkan cincin yang melingkar di jari.
"Hah? I-ini ..., loh, kok banyak?" Mas Bayu pun ikut terkejut melihat cincinku.
"Bukan itu aja, Mas. Dua hari lagi aku akan beli kalung," jawabku disengaja agar ibu mertua dan mbak Inur dengar.
"Loh, kok?"
"Sudahlah, Mas. Nanti kujelaskan dari mana dapat uang. Oh ya, Raka mana?"
"Tapi, Rin ...."
"Mas, jangan banyak mikir. Aku juga beli baju baru buat Raka. Baju untukmu juga, Mas." Lalu aku berlalu masuk kamar.
Akan tetapi mas Bayu tak mengikutiku. Ia terpaku seperti shock.
"Bay, coba tanya dari mana istrimu dapat uang sebanyak itu, baru juga setengah hari keluar rumah." Terdengar suara ibu bertanya ke suamiku. Tidak kulihat ekspresi mereka karena pintu kamar tertutup tirai.
"Iya, tapi aku nggak yakin itu emas asli," sanggah mbak Inur.
"Tapi uang belanjaanya dari mana, Nur?"
"Atau jangan-janan pesugihan?"
"Astagfirullah'alaziim, Mbak. Rina bukan seperti itu," bela mas Bayu.
Itulah contoh manusia berburuk sangka.
"Ya mana tau aja, toh apa yang bisa diperbuat wanita tak berpendidikan dan juga nggak kerja. Aneh, kan?"
"Heran, deh, Mbak sama Ibu tak pernah berpikir baik pada istriku. Yang penting Rina tidak meminta, kenapa kamu bilang gitu, Mbak?"
"Kamu tersinggung? Ntar kubilang Mas Jaka nggak usah pakai jasamu buat cuci motor. Cari kerja sana!"
Ow ow ow, mengancam dia. Iiih, si Inur keterlaluan. Ia mengancam suamiku tapi ibu mertua hanya diam saja. Sebenarnya anak kandungnya mas Bayu atau si Inur, sih?
Aku ingin ke luar kamar. Untung Raka tertidur jadi tak masalah kutinggal. Akan tetapi ..., loh, kok betis anakku membiru?
Kupegang betis Raka, ini seperti bekas cubitan atau kekerasan. Apa mungkin terjatuh seperti ini? Baru setengah hari kutinggal, tapi mas Bayu lalai menjaga putra kami. Tapi biasanya ia juga menjaga Raka saat cucianku banyak, hanya saja tak pernah seperti ini.
Aku keluar dari kamar.
"Mas, betis Raka kok membiru?" Aku tak sabaran ingin tahu.
"Itu ...."
"Itu karena kucubit! Lah salah sendiri kenapa kamu pergi hingga acaraku batal. Karena anakmu terus nangis bikin aku pusing, dan lagian aku juga sedang kesal!" Tanpa rasa bersalah ataupun kasihan, Si Inur berucap seolah ia bukan seorang ibu.
Kutarik nafas panjang untuk mengumpulkan tenaga.
"Mas Bayu, jangan pernah mencuci motor suaminya lagi. Dan aku pun menolak mengurus bayinya. Jika keberatan dan Ibu marah, tak masalah. Hari ini juga kita akan keluar dari rumah ini." Kupertegas ucapanku agar mereka tahu siapa aku.
"A-apa? Kalian mau meninggalkan rumah ini?"
"Ha ha ha, tuh mimpi lagi, Bu."
"Iya, Bu. Biar tak ada beban bagi kalian yang menganggap kami ini hanya numpang makan," jawabku.
"Ada apa sih? Rame amat." Tiba-tiba Stela baru datang. Seperti tuan putri saja, kerjanya hanya kuliah dan dandan.
"Ini, kakak ipar terkayamu lagi banyak duit. Belanja dan beli emas, Stel," jawab mbak Inur seperti mencari pembelasn agar aku tambah tersudutkan.
"Hah? Masak iya sih, Mbak?" Stela melihatku. Tentu ia tak pernah melihat baik semenjak mas Bayu di PHK.
"Tuh lihat, ia punya cincin, Stel," tukas ibu masih menatap jariku.
Lalu mata Stela terfokus ke jariku. Tak lama kemudian. "Ha ha ha, jadi itu masalahnya." Ia tertawa besar.
"Ih." Ibu menepuk lengannya. Seketika Stela terdiam seperti menahan tawa.
"Aduh! Sakit, Buuu. Lagian kenapa percaya dia, kita tau siapa dia. Orang tuanya cuma ngulung sampah, sedangkan adiknya sekolah sambil jadi babu di laundry. Terus apa hebatnya? Bodoh dipelihara, sih!"
Lagi, ia menghinaku dan bahkan keluargaku pun ikut terbawa.
"Stela! Ngomong dijaga, kamu itu seorang gadis," tegur mas Bayu ke adiknya.
"Trus kalau aku masih gadis kenapa? Nggak dapat jodoh gitu? Eh, Mas, lihat aku cantik dan berpendidikan. Justru adek iparmu yang susah dapat jodoh, kerja di laundry dan belum tentu tamat SMA." Dengan bangganya Stela berucap dan secara langsung membandingkan dirinya dengan Yana.
"Stela!" Mas Bayu menghardiknya.
"Sudah, Mas. Nggak usah diladenin. Toh mereka akan menghina kita juga. Aku heran sebenarnya kamu anak kandung atau anak tiri sih? Ibu dan saudaramu seperti majikan bagimu. Memerintah tanpa rasa kasihan apalagi hormat. Kita akan balik ke rumah ibuku, di sana aku yakin kamu diperlakukan baik dari pada di keluargamu sendiri."
"Kamu menghasut Bayu untuk memusuhiku!" Ibu mertua meradang.
"Ini kenyataan. Di saat mas Bayu kerja, kalian sangat baik. Tapi setelah ia tak mampu bekerja karena musibah justru kamu ibu kandungnya menghina bahkan tak segan bicara tentang mengemis di lampu merah. Tenang saja, aku akan bawa suamiku dari kehidupan kalian. Hari ini kami akan pergi!"
"Aku yakin cuma gertakkan. Itu hanya cincin emas palsu. Aku nggak yakin kamu punya uang banyak. Jangan mimpi kami menghargai dan mempercayai wanita gil* sepertimu."
Plak!
Kutampar Stela. Sebutan wanita gil* sudah sering kudengar.
"Kamu menamparku!" Matanya melotot sambil memegang pipinya.
"Astaga, ia benar-benar kambuh, Bu," ucap si Inur.
Plak!
Plak!
Kali ini Inur juga tak luput dari tamparanku. Bahkan dua kali.
"Berani kamu menamparku!" Ia mendorongku. Tapi aku bisa menahan tubuh agar tidak terjatuh. Dan ....
"Ugh!" Ia balik kudorong hingga terduduk di lantai. Tentu tenagaku masih kuat. Mengangkat galon atau seember cucian sudah biasa kulakukan. Biar kurus mungkin aku lebih bertenaga darinya.
"Ibu ..., aaak." Inur ingin bangkit berdiri. Tapi tidak sampai di situ, aku pun mendorong kepalanya dengan rasa kesal, sering ia bicara jika aku sakit saraf. Dan ini juga balasan karena mencubit anakku.
"Aak!"
"Itu karena kamu bilang aku wanita gil*, akan kuperlihatkan bagaimana wanita gil* akan menghajarmu," geramku sambil mendorong kepalanya berulang kali, seperti melempar bola dari tangan kanan ke tangan kiri.
"Aaak, tolong Ibu!" jeritnya tak bisa melawan. Tentu ia kalah, kerjanya hanya bisa dandan saja. Sama seperti Stela.
"Ugh! Ini karena kamu mencubit anakku!" Kujambak rambutnya. Jika ia bisa meninggalkan jejak di betis Raka, maka kutarik rambutnya hingga rontok.
"Aaaak, sakiiit! Ibuuuu!"
"Pegangin tanganya, Bu!" teriak Stela. Entah kenapa ia tak bertindak, hanya memerintah ibunya.
"Jangan, Rin! Kasihan Inur, ia masih menyusui. Jangan, Rina!" Tiba-tiba ibu menahan tanganku.
"Ugh!" Kulepas rambutnya seiring mendorong kasar kepala Inur.
"Lepaskan tanganku, Bu!" bentaku. Kutantang matanya yang selama ini tak berani kulakukan. Ibu langsung melepaskan.
"Ri-Rina, mm kasihan Inur." Ibu mertua tergagap. Sepertinya aku berhasil membuat nyalinya menciut.
"Apa Ibu tak kasihan ke Raka saat ia dicubit hingga betisnya membiru!"
"Ibu tak lihat itu, Ibu sibuk di warung, Rin."
Akan tetapi mas Bayu hanya terpana melihat. Tak ada sepatah kata pun melarang. Hanya saja aku kecewa, ia tak bisa melindungi putra kami. Ini bukan seperti seorang mas Bayu yang kukenal.
"Ibu, lihat pipiku sakit. Wanita gil* ini harus diberi pelajaran!" Stela mengangakat tangannya ingin menamparku. Seketika kutangkis tangannya, lalu kupelintir.
"Aaak, sakit! Aaa!" Ia kesakitan.
"Kamu bilang aku wanita gil*? Sini kutunjukkan kegilaanku."
"Aduh! Sakit!"
"Apa kamu tak bisa menghargai kakakmu? Tidakkah kamu sadar jika dulu bisa tamat D3 dari hasil keringat Mas Bayu? Dan sekarang saat ia tak bisa bekerja seenak hatimu menghinanya. Kamu seperti ular, setelah dipelihara langsung membunuh. Sepertinya aku juga akan buat tanganmu cacat biar seimbang," ancamku belum melepaskan tangannya.
"Aaak! Sakit!"
"Bayu, tolong adikmu, tangan Stela bisa patah, Bayu!" Ibu mertua terdengar sangat khawatir.
"Lepaskan, Rina!"
Aku tak memperdulikan ucapan mas Bayu.
"Rina!"
"Biarkan saja, Mas. Biar ia juga cacat agar tau rasanya dihina!"
"Cukup, Rina! Aku tidak mau melihatmu dipenjara ulah mereka!"
Seketika kulepaskan tangan Stela. Menghela nafas besar, aku sedikit puas.
"Aduh, aduh ...." Stela mengernyit kesakitan sambil mengelus tanganya.
"Anakku menangis." Tiba-tiba Inur berlari ke kamarnya. Padahal tak terdengar, sudah pasti ia takut.
"Ibu, ia bikin tanganku sakit," rengek Stela.
"Jaka akan pulang dan kamu, Rina, akan dapatkan balasannya!" Lalu Ibu menarik Stela menjauhiku.
Aku menanggapi tersenyum sinis. Akan kutunggu apa yang bisa dilakukan putra pertamanya.
Bersambung ....
"Aku kecewa padamu, Mas. Raka disakiti kamu hanya diam!" Duduk di tepi ranjang, kupandangi Raka sedang tertidur.Sudah tak tahan ingin mengucapkanya. Ia seorang bapak, meskipun dengan keadaan fisik kaki satu, tapi bukan berarti diam melihat anak disakiti. Sekilas merasakan, akulah yang mengendalikan semua keadaan tanpa ada tempat mengadu dan berlindung.Tuhan, maaf jika sering hinggap dengan sebuah rasa lelah. Tapi aku hanya perempuan biasa yang juga butuh perlindungan. Tapi kenyataanya ..., Astagfirullah'alaziim, kenapa aku mengeluh di saat keadaan mas Bayu seperti ini."Aku tidak lihat, Rin. Hanya sebentar kutinggal karena Ibu minta bersihkan genangan air hujan di teras. Lagian jika dibiarkan takutnya yang lewat terjatuh.""Tapi bukan berarti kamu diam kalau tau dia mencubit anakku!"Ibu mana yang rela jika anaknya disakiti orang lain. Apalagi Raka baru satu tahun."Aku tidak tau, Rin. Tiba-tiba Raka menangis dan kudekati, Mbak
"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi. Selama ini diam dan diam. Ia lelaki tapi mulutnya seperti ....Seketika mata mas Jaka membelalak."Kamu!" Mas Jaka menujukku."Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!"Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku."Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku."Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal."Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya."Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar
"Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi."Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini."Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan."Iya, Mas!" sahutku."Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah."Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggil
Pov Bu Ida (mertua)Setelah membicarakan tentang Rina dan Bayu, akhirnya kami mendapat kesepakatan. Mereka harus kembali ke rumah ini. Jika Rina punya bakat menulis yang nenghasilkan uang, tentu aku harus merayu Bayu agar bisa membantu biaya kuliah Stela.Semenjak Bayu tak lagi bekerja, aku harus banting tulang mencari uang di usaha warung. Sementara Jaka hanya membantu biaya dapur delapan puluh persen, ditambah seratus persen biaya listrik. Tapi tetap saja tak mencukupi. Pengeluaran untuk Stela besar, bahkan sehari menghabiskan uang seratus ribu."Jadi gimana, Bay. Mau kan balik lagi ke rumah kita?" ajakku. Tentu aku harus membuat putraku menurut, lah ia lahir dari rahimku.Bayu justru melihat ke Rina. Seketika mereka beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan. Hanya saja aku harus gigih agar mereka setuj
"Ini teh telor, Mas. Semoga semangat kerjanya." Kuletakkan tiga gelas teh telur. Ini ciri khas minuman di daerahku. Kuning telur ayam kampung yang dikocok dengan gula, setelah itu disiram dengan air teh mendidih. Baru dikasih susu kental manis dan sedikit irisan jahe.Minuman ini hampir setiap hari kuminum diam-diam saat berada di rumah ibu mertua. Gunanya agar aku lebih bertenaga jika mengangkat beban berat. Ya maklumlah, air galon atau pun pasang gas, aku yang kerjakan. Belum lagi mengangkat tiga ember besar cucian. Tak sarapan pun masih kuat bertenaga."Iya, Rin, nanti kuminum, tanggung nih." Mas Bayu tetap melanjutkan kerjanya memaku kaki meja yang hampir sembilan puluh persen selesai.Mas Bayu tampak semangat bekerja. Berhenti pun jika makan atau ke kamar kecil. Begitu pun dengan Bapak, membantu tukang bangunan memanjat menyelesaikan atap war
Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan."Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti."Ya, Mbak.""Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?"Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati."Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
"Mas! Mas!" teriakku panik. Lalu ikut membantu bapak memegang kaki mas Bayu.Ya Tuhan, kenapa mas Bayu berbuat senekat ini. Setahuku, ia bukan lelaki yang mudah putus asa. Terbukti saat ia kehilangan satu kaki, kesedihan tidak lama dan selalu percaya jika takdir Tuhan yang terbaik. Tapi kenapa sekarang seperti ini?"Rina, cepat lepaskan tali dari leher Bayu," titah bapak tak melepas kaki suamiku."I-iya, Pak," jawabku lalu meraih kursi."Astagfirullah'alaziim, Bayu?" Ibu sudah berdiri di ambang pintu dapur, terkejut melihat."Biar kubantu, Kak." Yana pun datang dan segera mengambil pisau dapur.Naik kursi, aku berusaha menggapai tali yang menjerat leher mas Bayu. Wajahnya pucat dan tadi tangannya tegang kehilangan nafas.
Ya, aku yakin pemuda bernama Kelfin ini adalah yang ada di foto status facebook Stela. Barusan kulihat dan ingatanku masih segar. Tapi, kenapa ia bersama Yana?"Mbak Rina, kenalkan ini temanku atau anak dari bos aku." Yana menepuk pundakku hingga aku tersentak."Oh! Iya," jawabku gugup. Lalu kusambut uluran tangan Kelfin."Aku Kelfin, Kak Rina," ucapnya ramah."Oh, silahkan duduk, Kelfin.""Tidak usah, Kak, lain kali saja. Aku terburu-buru karena mau ngantarkan Mama ke dokter," tolaknya."Oh gitu. Lain kali duduk dan minum kopi dulu, ya," ujarku sekedar basa basi."Pasti, Kak. Permisi." Kutanggapi mengangguk kecil sambil tersenyum."Aku b