Chemistrick

Chemistrick

Oleh:  Indah Hanaco  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
23 Peringkat
113Bab
15.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Pertemuan pertama Robin dan Vivian cukup dramatis. Kala itu, Robin menolong Vivian saat dikasari seorang pria. Robin mengira Vivian adalah Cynthia Pasha, aktris papan atas Indonesia. Nyatanya, Vivian adalah pengganti Cynthia khusus untuk acara-acara tertentu jika sang aktris sedang berhalangan hadir. Pertemuan kedua mereka jauh lebih mengesankan. Tanpa terduga, Robin dan Vivian berada dalam satu tim yang melakukan trekking menuju Annapurna Base Camp. Kebersamaan keduanya selama seminggu, membuat Vivian dan Robin merasa nyaman satu sama lain. Mereka adalah teman mengobrol yang klop, masing-masing memiliki luka masa lalu yang dibagi lapis demi lapis. Kembali ke Jakarta, pertemanan Vivian-Robin kian intens. Hingga cinta tak lagi bisa dibantah kehadirannya. Akan tetapi, jalan keduanya tak mulus. Sebab, ada benang kusut yang melibatkan kedua orangtua Vivian dan Robin di masa lalu. Bagaimana bisa Vivian memaafkan orang yang memiliki andil membuat masa kecilnya penuh kesedihan? Apakah sebaiknya dia melepaskan pria yang dicintainya saja dan menjalani hidup tanpa kehadiran Robin? Kover : Adobe Spark Post + Pinterest

Lihat lebih banyak
Chemistrick Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Dinda Amelia
suka ceritanya
2021-06-23 08:25:44
2
user avatar
Fauziah Puspita
selalu suka ceritanya kak indah..
2021-05-08 09:07:16
5
user avatar
Authoring
Cerita, alurnya bagus sekali, kak. Dapat salam dari >> My Girl is mine
2021-04-16 12:37:55
4
user avatar
Frans Sinatra
bener bener keren
2021-04-15 08:47:15
5
user avatar
Frans Sinatra
sekali baca langsung suka
2021-04-15 08:47:03
0
user avatar
Indah Hanaco
Halo, Kalian Chemistrick ini kisah cinta orang2 dengan kehidupan unik. Robin mantan pecandu alkohol. Sedangkan Vivian pernah bekerja sebagai pengganti untuk artis top saat menghadiri acara tertentu. Cerita ini dipercantik dengan setting Nepal, tepatnya perjalanan ke Annapurna Base Camp. Yuk, dibaca
2021-04-14 21:18:26
0
user avatar
Theresia Rini S
Romantismu mmg tidak umum, Kak. Tapi bisa membawa luka terdalam dan membuai hingga ke tulang sumsum! looooove it
2021-04-13 12:08:15
0
user avatar
Afi
Aku tambahkan perpus dulu ya kakk
2021-03-23 20:34:45
0
user avatar
mamat
Kutunggu lanjutannya kakk
2021-03-23 20:26:13
0
user avatar
uday
Udah kubintangin kakk
2021-03-23 20:16:39
0
user avatar
adhi ikromi
Mantap bangats kakk
2021-03-23 20:07:56
0
user avatar
dria
Keren ceritanya nih, semangat Thor
2021-03-23 19:49:44
0
user avatar
Indah Dien
Menarik, aku simpan dulu😍
2021-03-23 19:39:52
0
user avatar
Dian Ayu
Lagi, kak please🙏🙏
2021-03-23 19:35:27
0
user avatar
Yana
Setia menunggu 😭😭
2021-03-23 19:23:24
0
  • 1
  • 2
113 Bab

Prolog

Robin bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Dia tak pernah bersikap sok pahlawan untuk membela seorang cewek yang sedang adu mulut dengan pacarnya. Namun dia paling tidak tahan jika ada laki-laki yang bersikap keterlaluan dan cenderung kurang ajar. Mencekal lengan kiri pasangannya sambil memaki “jangan sok alim”, misalnya. Robin sudah pernah melihat pertengkaran yang awalnya tampak sepele malah berakhir dengan peristiwa fatal. Dia tak mau lagi dihantui rasa penyesalan karena tidak melakukan apa-apa.“Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur urusan kalian. Tapi kurasa sebaiknya kamu lepasin tangan pacarmu. Kalau terus mencengkeramnya kayak gitu, lengannya bakalan memar.” Robin berdiri di depan pasangan itu.Si cowok menoleh dan menatap Robin dengan tajam. Seketika, Robin mengenali Eric Adityawardhana yang namanya pernah dituliskan dengan setumpuk puja-puji karena prestasinya di dunia tenis profesional.“Kalau gitu, mundur!
Baca selengkapnya

Prelude [1]

Vivian Maretta mengecek arloji untuk kesekian kalinya. Dia menahan diri agar tidak mendengkus kencang. Ini risiko yang harus dihadapinya karena memilih karier yang –bisa dibilang- antimainstream. Jam kerjanya ditentukan oleh mood seorang aktris muda yang sedang menjadi pusat perhatian di Indonesia.Sekali lagi, Vivian menunduk untuk memastikan penampilannya cukup memenuhi standar sang bos. Dia mengenakan gaun selutut berwarna krem dengan kerah sabrina yang menampakkan bahunya. Sebuah bros berbentuk kuncup mawar disematkan di dada kirinya. Lalu, stiletto merah menjadi pelengkap penampilan Vivian. Gadis itu sekali lagi memeriksa clutch bag sewarna sepatunya yang sejak tadi berada di pangkuan.“Semoga hari ini hidupku lancar-lancar aja, tanpa drama atau tragedi apa pun,” harapnya.Dalam kesehariannya, Vivian bukan jenis cewek yang suka berdandan. Namun, pekerjaan mengharuskannya tampil cantik dan glamor pada saa
Baca selengkapnya

Prelude [2]

“Cynthia tadi minta Om Tommy untuk bikin acara di rumah aja. Bukan di restoran. Karena dia nggak mau ada wartawan yang motret. Sementara itu, Cynthia ogah kalau gosip tentang retaknya hubungan sama Eric jadi makin membesar. Makanya kamu diminta gantiin dia. Supaya para wartawan nggak terus-terusan nanya soal itu.”“Oh,” balas Vivian, kehilangan kata-kata. Di kepalanya tergambar adegan romantis yang melibatkan dirinya dengan Eric, eks atlet tenis yang sudah memacari Cynthia selama hampir dua tahun terakhir. “Apa mereka memang lagi berantem atau sejenisnya? Aku kan nggak pernah disuruh ‘nge-date’ sama Eric sebelum ini,” selidiknya ingin tahu.Sally mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya dengan ekspresi puas. “Sekali-kali, Vi. Anggap aja semacam kesempatan langka. Kapan lagi bisa kencan sama cowok keren kayak Eric dengan restu pacarnya?” celoteh Sally jail. Tawa renyahnya pecah kemudian. “Merek
Baca selengkapnya

Stuck [1]

“Vi, ada perubahan rencana,” kata Cynthia tanpa basa-basi. “Kamu dan Eric punya waktu sekitar tiga jam. Nanti kukabari lagi kalau ada yang penting. Hape harus terus nyala, ya?”“Oke,” balas Vivian pendek. Dia sempat termangu saat Eric mengulurkan tangan kanan ke arah gadis itu. Vivian tak buru-buru menyambut tangan Eric.“Semoga aku nggak akan bikin kamu bosan selama tiga jam ke depan,” ucap cowok itu seraya menatap mata Vivian. Senyum tipis Eric terlihat lagi. Vivian menahan napas seketika. Tangan kiri Vivian akhirnya terangkat. Lalu, tatapan Eric diarahkan pada sang pacar. “Kami pergi sekarang ya, Babe,” pamitnya pada Cynthia.Vivian membiarkan tangan kirinya digenggam Eric. Dia sebenarnya merasa sangat janggal karena cowok itu melakukannya di depan Cynthia. Andai mereka sudah meninggalkan rumah itu, Vivian tidak akan terlalu keberatan. Suka, malah. Walau ini cuma kencan palsu dan gadis itu h
Baca selengkapnya

Stuck [2]

Serta merta, Vivian membuat bantahan. “Tapi, aku kan kangen sama Mama, Pa. Mama jarang di rumah, nggak kayak Papa. Trus tiap kali di rumah, Mama diam melulu. Sama aku malah sering marah-marah,” urainya polos. Vivian mungkin masih begitu belia. Namun dia sudah lancar berbicara sejak berumur dua tahun setengah. Peka dan cukup paham apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia bahkan sudah tidak cadel sebelum genap berusia empat tahun.“Papa kan memang kerjanya di rumah, Sayang. Kecuali kalau harus ke Bali atau ke toko. Tapi, Mama beda. Mama memang kerjanya di luar. Nggak bisa kalau cuma di rumah aja.”Vivian menggeleng kuat-kuat, masih terisak kecil. Barry menghapus air mata putrinya dengan gerakan hati-hati.“Bundanya Salma juga kerja. Tapi kan nggak tiap hari, Pa. Tiap kami libur sekolah, bundanya kadang nggak ke kantor. Trus mereka biasanya jalan-jalan. Aku pernah lihat, Salma digendong dan dicium bundanya. Tapi, Mama biasanya marah kala
Baca selengkapnya

Fatal Attraction? [1]

Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk
Baca selengkapnya

Fatal Attraction? [2]

“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah kar
Baca selengkapnya

Stone Cold [1]

Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa diri
Baca selengkapnya

Stone Cold [2]

“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah. *** Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Baca selengkapnya

Unperfect Day [1]

Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status