Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.
Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku.
"Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap.
"BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.
Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan.
"BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
"Saya tau. Makanya saya nanya, kalau mandi kenapa bajunya dipakai? Emang enggak dingin?" ucapnya polos.
"Hih," celetukku gemas. Aku keluar dari kamar mandi dengan kondisi badan yang masih basah. Aku buka almari bajuku, bermaksud memilih baju untuk ganti.
"Kamu hari ini kenapa aneh, sih? Atau emang sehari-harinya begini ya?" Dia menatapku yang masih sibuk memilih baju.
"Diem! Bawel mulu," sindirku.
"Yeee diperhatiin malah ngatain bawel. Saya itu takut kalau kamu masuk angin." Dia bersedekap, kemudian memajukan bibirnya beberapa cm. Gemas.
"Ya kalau Bapak takut saya masuk angin, kenapa tadi pintunya di dobrak? Astaga," keluhku.
"Kamu mandi basah-basahan cuma karena pintunya jebol? Ya ampun padahal saya enggak ada niatan buat ngintip loh." Tatapan polosnya membuatku menjadi salah tingkah.
"Terus tadi ngapain dobrak, kalau enggak niat ngintip?" selidikku.
Dia menghelat napas perlahan, "Kamu sudah satu jam di dalam sana, dan saya tidak mendengar suara orang jebar jebur. Saya khawatir kamu jatuh atau tidak bisa bergerak, makanya saya dobrak," jelasnya penuh sesal.
"Bapak kan bisa ketuk pintu dahulu, kalau begini kan pintu kamar mandi saya jadi rusak," jawabku lirih.
"Saya tadi sudah ketuk, tapi kamu diam." Dia menunduk, mungkin merasa berdosa sudah melakukan kesalahan berulang hari ini.
"Ya gimana saya enggak diam, orang baru gosok gigi. Emang Bapak mau, saya mati gara-gara keselek sikat gigi?" Aku mendelik ke arahnya. Muka polosnya sudah mulai nampak. Kalau sedang enggak galak gini, Pak Bima ternyata ganteng, aku terkekeh dalam hati.
"Ya maaf, saya kan khawatir ... Tapi enggak apa-apa, kalau enggak saya dobrak kan saya jadi ga bisa lihat anu." Alisnya naik turun, sedangnya senyum tengilnya muncul lagi di kedua bibir sintalnya.
Aku reflek menggunakan kedua tanganku untuk menutupi bagian dada dan bagian inti. Meski saat ini aku memakai baju lengkal6, namun rasa malu itu tiba-tiba menyergap tubuhku yang masih basah karena guyuran air sampo.
"PAK BIMA, ISH!" Aku menghentakkan kakiku ke lantai, kemudian kembali ke kamar mandi untuk berganti baju.
"Ki.. Kiara," panggilnya.
"APA PAK APA?" Aku sudah terlalu gemas sama Pak Bima, kalau bisa aku gigit, beneran aku gigit deh bibir sintalnya, eh...
Aku menepuk-nepuk dahiku yang sedari tadi terbayang oleh kekenyalan bibir milik suamiku."Kamu merasa ada yang ketinggalan enggak?" tanyanya dengan nada suara menggantung.
Aku mengecek baju ganti yang kubawa masuk ke kamar mandi dan sebelum aku sadar, Pak Bima sudah lebih dulu memberitahu.
"Ki, di depan almari ada bra warna merah, ukurannya 36B. Ini punyamu, kan?" Ada suara tawa di balik tembok kamar mandi ini.
"Astaga," keluhku, "Perasaan tadi sudah kubawa, kenapa bisa ketinggalan di depan almari sih."
"Mau aku bawain apa gimana, Ki?" Dia masih tertawa.
"Atau mau sekalian aku pakaikan? Biar kamu engga kerepotan." Suara berat dan seraknya terdengar seksi di telingaku.
Aku berdiri di dekat pintu kamar mandi yang sudah jebol, ku longokkan kepalaku ke luar kamar mandi dan ....
"Kyaaaaaaaaaa, Pak Bima ...." Aku terkejut melihat Pak Bima berdiri di samping pintu yang tadi dia dobrak. Pandangan kami bertemu kemudian tawanya meledak seketika.
"Mau ambil ini?" Dia menunjukkan bra merah yang ada di dalam genggamannya, "hehe ngomong-ngomong saya baru pertama kali lo pegang daleman cewek. Untung punya istri sendiri, jadi enggak merasa ternoda ini tangan."
Aku menyaut barang itu dengan cepat. Rasa malu sepertinya sudah menguap begitu saja dari dalam diriku. Hari ini, sudah berkali-kali aku menahan malu di depan Pak Bima. Makanya kepalang tanggung jika harus menahan malu untuk kesekian kalinya. Aku sengaja memakai benda berwarna merah ini tepat di samping Pak Bima. Jika tadi dia bahagia sudah menggodaku, kini saatnya aku yang akan membuatnya pilu menahan nafsu.
"Kiara," ucapnya sambil menutup kedua mata dengan telapak tangan.
Aku tertawa pelan, " Tadi katanya mau bantu pakai? Kok sekarang malu-malu begitu?" Aku balik menggoda Pak Bima.
"Eh, jadi boleh nih lihat?" Dia menggeser jemarinya, memberi ruang pada mata agar bisa melihatku dari jarak yang lebih dekat.
"Gak boleh lah." Aku mencubit lengannya kemudian keluar dari kamar. Sedangkan dia menggaruk-garuk hidungnya, yang aku yakin pasti hidungnya sedang tidak gatal.
Aku lapar, ingin membuat mie instan untukku. Seharian ini aku memang belum makan, terlalu sibuk dengan tamu dari keluarga Pak Bima. Pak Bima? Aku kemudian berbalik arah untuk kembali ke kamar. Orang yang ada di dalam kamarku pasti juga sama laparnya denganku. Namun, ketika sampai di ambang pintu, aku melihat pak Bima sedang lari di tempat. Aku mendekatinya karena merasa aneh dengan apa yang dia kerjakan.
"Ngapain, Pak?" tanyaku sambil memandangnya dengan tatapan heran.
"Lari-lari," jawabnya tanpa menoleh.
"Ya tau lari-lari. Maksudnya ngapain lari-lari begitu? Ini dah malam, loh." Aku memperjelas pertanyaanku yang tadi terkesan ambigu.
"Ya gak biar apa-apa." Dia masih fokus dengan kegiatannya tanpa menoleh ke arahku.
"Kalau mau lari dari kenyataan, gak gini caranya, Pak." Aku duduk di atas kasur, menunggunya selesai lari di tempat.
"Ngapain lari dari kenyataan. Hidup sudah enak kok mau ditinggalkan." Kali ini dia tidur tengkurap, tidak lama kemudian dia lalu melakukan push up di tempat semula.
"Ya siapa tau Bapak pengen memutar waktu. Kan enak tuh jadi bujang, bebas kemana-mana," ucapku lagi.
"Lebih enak kemana-mana sama kamu, kan?" Dia mengerlingkan sebelah matanya, kemudian kembali lagi melakukan push up.
"Pak, kalau gila jangan begini dong. Olahraganya besok lagi, emang enggak capek apa?" Aku justru ikut tengkurep, bedanya dia di lantai sedangkan aku di atas kasur.
"Jangan diforsir. Nanti kalau Bapak kecapekan terus mati, gimana dong?"
Dia berdiri kemudian bersandar pada tiang kasur, "Kan ada kamu, ya saya minta pijit sama kamu, lah. Lagian nanti kalau saya mati, ya tentu saja saya gentayangin kamu. Kan tadi pagi sudah janji bakalan sehidup semati." Dia jongkok kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku sontak duduk untuk menghindarkan wajahku dari bibirnya. Dadaku berdegup kencang, aku deg-degan.
"Enak aja gentayangin saya, iman saya kuat kali, Pak. Jadi gak semudah itu Bapak bisa gentayangin saya." Aku bersedekap. Bersikap sok angkuh di depan Pak Bima.
"Oh, jadi enggak apa-apa nih saya mati?"
"Eh jangan lah. Kasihan sama saya lah, Pak. Sudah nikah di usia 29 tahun, eh jadi janda di usia segitu pula, kapan bahagianya?" keluhku.
"Kirain mau ngomong, kapan enak-enaknya." Dia mengacak rambutku yang masih basah, "Kamu tadi mau kemana?" tanyanya.
"Makan," jawabku singkat.
"Kok enggak jadi?" Dia duduk di sebelahku, tangannya masih berada di atas kepalaku.
"Mau ngajakin Bapak. Masa iya mau makan Bapak enggak diajak, ntar dosa lagi." Aku memperhatikan dia yang saat itu juga sedang menatapku.
"Cie ngomongin dosa," godanya, "Kamu tau gak dosa terbesar istri kepada suami itu apa?"
"Apa?"
"Dosa terbesar istri itu bukan ketika enggak nawarin suami makan waktu dia makan, tapi dosa terbesarnya adalah menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan badan." Muka serius itu entah kenapa terkesan sedikit lebih genit malam ini.
Aku terdiam, merasa ada benda tajam yang menusuk-nusuk ulu hati.
"Biar gak dosa, yuk." Dia mengedipkan mata kemudian mendekatkan tubuhnya ke arahku.
"Eng... Eng... Anu." Aku mulai gugup. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. "Pak Bima, emang eng-enggak ca-capek?" Aku tergagap lagi. Mataku rasanya sedikit buyar, lidahku tiba-tiba mati rasa.
"Hahaha bercanda kali, Ki." Dia kembali mengacak rambutku dengan gemas, "Kita tidak sedekat itu untuk melakukannya sekarang. Saya mau begituan ketika kita sudah sama-sama siap. Yaudah yuk makan, saya temani biar enggak dosa."
Dia berdiri kemudian mengulurkan tangannya kepadaku, "Kamu bisa masak apa, Ki?" tanyanya.
"Masak air, Pak." Aku menjulurkan lidah kemudian menggandeng tangannya.
"Enggak apa-apa air. Nanti dikasih sayuran sama telur, ya. Saya pengen sup sayuran. Kamu bisa, kan?" Dia tersenyum.
"Bisa. Yang enggak bisa itu, tidur bareng sama Bapak malam ini. Nanti, Bapak tidur di lantai ya," kekehku kemudian.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk
Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me
Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan
Obrolan sederhana tentang sein motor emak-emak membuat kami tidak berhenti tertawa. Hujan yang deras, bahkan tidak mampu meredam suara tawa milik kami."Kamu tau gak, Ki, kenapa papa muda enggak berani nglawan emak-emak pakai daster?" Pak Bima masih memeluk bahuku dengan erat."Hmm mungkin karena emak berdaster galak kali ya, Pak?" Aku menjawab pertanyaan Pak Bima dengan sebuah pertanyaan."Yee salah!" Serunya sambil menahan tawa."Lah kenapa emang?""Soalnya kalau emak berdaster udah dandan, pesonanya bikin papa muda kelonjotan kaya orang epilepsi hahaha." Tawanya meledak.Aku tersenyum mendengar ocehannya. Kalau diamati dari samping begini, ternyata Pak Bima ganteng juga. Wajah tirusnya, dagu yang terbelah secara alami, tatapan mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tebal, dan semua yang tercetak di wajahnya membuat siapa saja bisa tertarik kepadanya dengan begitu mudah.
Aku mengusap pipiku yang tergenang oleh air mata. Entah bercanda atau tidak, tapi perkataan Pak Bima tentang aksi bunuh diri tetangga sebelah, membuat pikiranku jadi tidak fokus. Aku langsung kabur dari kamar ketika menyadari punggung Pak Bima tidak nampak dari pandanganku.Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, celingukan mencari keberadaan manusia super iseng yang tadi tega membuatku menangis."Pak...." panggilku dengan suara agak lirih. Aku tidak ingin membuat kegaduhan ketika tetanggaku sedang khusuk melaksanakan tahilan bersama."Pak ...." Aku mengendap-endap ke ruangan sebelah dengan mata yang ku edarkan ke setiap sudut ruangan. Hatiku masih berdesir tidak karuan, takut kalau saja ada sesuatu melayang di atas kepalaku."Pak ...." Untuk ketiga kalinya aku menyebutkan sapaanku padanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Bima.'klek'Aku membuka pintu secara perlahan dan seketika it
Aku masih celingukan ke sana sini mencari sumber suara. Bahkan aku melongokkan kepala ke bawah kasur untuk mengecek apakah suara itu benar bersumber dari sana. Takutnya nanti beneran ada ular yang masuk ke dalam kamar, kemudian merayap dan melilit ke tubuhku atau ke Pak Bima.Namun, setelah aku cek berulang kali, hasilnya nihil. Padahal semakin aku cari, suara desisan itu justru semakin kencang. Aku menoleh ke samping, mempertanyakan kenapa Pak Bima masih bisa tertidur pulas meski ada suara desisan sekeras itu."Sssshhhhhhhhhhhhh."Bibirku mencebik kesal. Setelah mencari suara desisan itu ke sana sini, ternyata sumber suaranya berasal dari orang yang tidur di sampingku. Aku lalu mendekat ke arah Pak Bima, mengamati gerakan bibirnya yang sedikit terbuka. Giginya rapat, matanya terpejam, eh seperti orang yang sedang memaksakan netranya untuk menutup. Badan Pak Bima sedikit bergetar, seperti orang yang sedang menggigil karena kedingina
Pukul setengah tiga dini hari aku terbangun. Udara dingin akibat hujan yang turun dengan sangat deras, memaksa mataku untuk terbeliak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih mengantuk. Namun percuma, rasa perih dan berat yang menempel di kelopak mataku seakan tidak mengijinkan kedua netraku untuk terbuka, meski hanya sedikit.Aroma parfum leather menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Telapak tanganku mengusap guling yang sedari tadi berada dalam pelukanku. Tapi, aku merasakan ada sesuatu yang janggal."Kok jadi tambah berisi gini, ya?" gumamku dengan mata yang masih terpejam.Aku melingkarkan kakiku pada guling di sampingku lalu menggesek-gesekkan perlahan. Aneh, ukurannya kok jadi lebih panjang dari pada biasanya. Masa iya, sih, guling bisa tumbuh layaknya anak bayi.Aku memeluk gulingku lebih erat lagi. Eh tapi tung