Bel sekolah sudah berbunyi, Rinjani kembali dalam aktivitas mengajarnya. Sebagai guru Akuntansi di sebuah sekolah menengah atas, membuat ia harus terus fokus dalam pekerjaannya. Walau beberapa bulan ia dalam keadaan tidak baik, apalagi saat menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.
Jam mengajar masih cukup lama, pukul 10.30 ia baru masuk ke kelas XI IPS II. Rinjani masih sibuk mengoreksi nilai anak didiknya. Beberapa kali ia memijit pelipisnya saat melihat sebuah nilai yang kurang memuaskan baginya.
“Astaga, anak ini. Sengaja apa memang bodoh?” Rinjani bergumam sendiri sembari mencoreti lembaran tugas.
“Bu Jani, ada kelas jam berapa?” tanya Pak Albert—guri olah raga.
“Sebentar lagi, Pak.” Rinjani tersenyum sembari memamerkan giginya.
Pak Albert masih saja memperhatikan Rinjani. Pria dengan wajah Baby face itu terkenal sebagai guru olah raga paling kece di sekolah itu. Usianya tidak tua juga tidak muda, pedomannya mampu membuat beberapa siswa meleleh saat ia menebarkan senyum.
Namun, bagi Rinjani Pak Albert hanya rekan kerja yang biasa. Tidak ada hal yang bisa membuat ia tertarik walau pria itu banyak dikagumi para murid.
“Pak Albert, itu ada siswa kelas XI yang berkelahi di kantin!” Teriakan salah satu siswa membuat Pak Albert dan Rinjani gegas berlari menuju kantin.
Di kantin dua siswa saling tinju, membuat Rinjani memekik keras dan Pak Albert langsung memisahkan mereka berdua.
“Kalian sedang apa di kantin? Ini jam pelajaran, berkelahi pula!” pekik Rinjani.
Pak Albert masih terus menengahi karena salah satu dari anak laki-laki itu masih emosi ingin menyerang lawannya. Sementara, beberapa ada beberapa siswa dan siswi yang berhamburan ke kantin termaksud Tami.
“Fabian, Joni, kalian ada masalah apa? Jelaskan di ruang BP,” ujar Pak Albert.
“Saya nggak mau,” tolak Bian.
“Loh?” Wajah Rinjani menatap heran anak didiknya.
“Saya merasa nggak salah, dia saja yang salah paham.” Kembali Bian bersuara.
“Alah, jangan muna! Lo suka juga kan sama cewek gua Tami!” Joni langsung melirik ke arah Tami yang sudah berada di tempat itu. Wajah Tami menunduk malu, apalagi ada Rinjani saat itu.
“Gua nggak suka sama cewek lu, cewek lu aja yang keganjenan dekat-dekat gua. Tanya aja dia, asal lu tahu, Tami bukan selera gua. Mengerti!” Sorot mata tajam Bian begitu membuat Tami kembali menundukkan kepala.
Sementara, Rinjani tersenyum puas melihat anak kecil itu malu se satu sekolah. Ia kembali teringat saat Tamu lantang mengancamnya malam itu. Namun, tidak ada yang membuatnya senang hari ini karena karma di bayar tunai.
“Joni, aku nggak ada apa-apa sama Bian. Kamu aja yang salah paham.” Tami membela diri.
Pak Albert mengerutkan kening, ia merasa seperti melihat drama seri remaja. Akan tetapi, ia kembali mengambil alihnya dengan menarik kedua remaja itu ke ruang BP. Sementara, saat Tami hendak mengikutinya, Rinjani menarik lengan mantan calon adik iparnya.
“Mau ke mana?” tanya Rinjani.
“Bukan urusan Ibu!” Tami hendak menalangkah, tetapi Rinjani kembali mencengkeram tangannya.
“Sakit,” ujar Tami. Beberapa siswa melihat kejadian itu memilih masuk ke kelas takut juga melihat Rinjani.
“Kamu kembali ke kelas. Dan satu hal lagi, di sini saya guru kamu, terlepas kita pernah hampir menjadi kakak dan adik ipar, atau sekarang kita adalah saudara, tetapi jika di sekolah kamu adalah murid aku. Tidak ada tawar menawar, atau kamu silakan pindah sekolah.”
Wajah Tani memerah, ia merasa Rinjani bisa saja membuat dirinya malu di depan banyak orang. Apalagi beberapa temannya yang tidak tahu apa pun.
“Aku tahu itu. Ya, sudah kita masing-masing. Nggak usah saling mengurusi.”
“Nggak bisa kamu murid saya.”
“Nggak usah sok deh. Urusi aja diri Mbak yang harusnya introspeksi diri kenapa bisa ditinggal sama Mas Tama.” Penuturan Tami membuat Rinjani kesal.
Ia mencoba menahan diri agar tidak membuat kegaduhan dan membuat dirinya ditimpa masalah besar. Ia memutar otak untuk membalas Tami.
“Saya nggak perlu introspeksi diri karena bukan salah saya Tama pergi, tapi karena memang pria itu tidak baik dan ya, saya yakin akan datang yang lebih baik. Hm ... harusnya kamu yang introspeksi diri karena kok bisa ya, kegatalan sama pria lain? Padahal sudah jelas kalau sudah punya kekasih. Ya, mungkin kamu punya sifat turunan, 11:12 sama Tama.” Rinjani mengulas senyum penuh kemenangan.
Rinjani tidak mau sebenarnya membawa masalah pribadi ke sekolah. Namun, Tami selalu memancingnya. Apalagi sikap tidak sopan dia membuat Rinjani harus memberikan pelajaran untuk gadis itu. Tami melepaskan dirinya dari Rinjani, lalu berlari masuk ke kelasnya.
Ia hanya menahan diri, seharusnya ia bisa mengontrol emosi karena tidak baik jika seorang guru berbicara hal yang tidak baik. Rinjani kembali melihat ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar percakapan mereka.
***
“Bian, sebelum kamu masuk ke kelas, saya mau bicara,” ujar Rinjani.
“Ya, Bu. Ada apa?”
Rinjani sengaja menunjukkan kertas ulangan anak itu. Bian terlihat biasa saja, tanpa peduli jika dirinya akan tinggal kelas. Sudah beberapa detik, anak laki-laki itu masih bergeming. Wajahnya masih memar hingga membuat dirinya terlihat depresi.
“Menjadi kapten basket pun nggak akan membuyarkan nilai kamu bukan?” Rinjani kembali bertanya pada Bian.
“Maaf, Bu. Saya akan berusaha lagi, nanti,” ucap Bian.
“Nanti?”
“Iya, nanti kalau ulangan lagi. Bu, permisi saya mau masuk kelas.”
Begitu cepat anak itu melangkah hingga Rinjani hanya bisa melihat punggung anak itu masuk ke kelasnya. Rinjani pasrah, ia baru kali ini menemukan anak cuek sepeti Bian.
“Sudah saya bereskan, memang yang salah Joni karena cemburu buta. Ya, namanya juga anak-anak,” ujar Pak Albert.
Rinjani tidak terlalu menanggapi Pak Albert, kebetulan ia memilih meninggalkan pria itu yang masih terus bicara. Namun, Pak Albert mengejar Rinjani kembali mencoba berbicara dengannya.
“Bu Jani, saya mau bicara,” ujar Pak Albert.
“Bukannya sejak tadi pak Albert sudah banyak bicara?”
“Ini beda, Bu. Saya sekarang mau bicara kalau nanti malam apa Ibu Rinjani ada waktu buat makan malam sama saya?”
Rinjani bergeming. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan sejak lama memang ia menangkap gelagat aneh dari pria yang suka mencuri pandang itu. Ia mencoba menjaga jarak karena masih memiliki hubungan dengan Tama. Lagi pula, ada Tami yang memata-matai jika ada satu gosip tersebar dengan tidak benar.
Namun, kini ia sudah sendiri dan tidak perlu merasa cemas dengan apa yang akan dilakukan Tami nanti. Rinjani mengatur napas panjang, otaknya berpikir keras untuk menjawab ajakan Pak Albert.
***
Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau
Senyum semringah masih terpancar di wajah pria itu dengan sempurna. Memasuki rumah sang ibu, ia lalu mencari anaknya. Sepertinya ia harus berterima kasih karena sang anak tak datang tadi. Dengan kejadian itu, ia bisa kembali bertemu dengan Rinjani.“Duren senyum-senyum lagi kenapa, tuh, Ma?” Meli menyenggol sang ibu yang sibuk mengecek pemasukan dagang online miliknya.“Tanya aja sendiri. Mungkin ketemu jodoh,” jawab sang ibu asal.Erik hanya tersenyum karena tebakan sang ibu benar. Akan tetapi, ia memilih diam dan akan memberitahu jika memang benar mereka berjodoh nanti. Ia memacu langkah menghampiri Bian di kamarnya.Pintu kamar anak laki-laki itu memang tidak pernah di kunci. Erik bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk lebih dahulu. Dahinya mengernyit melihat sang anak yang sibuk membaca buku. Tidak seperti biasanya yang setiap saat bermain ponsel.“Lagi ulangan?” tanya Erik.“Nggak, Pa. Lagi bosan aja nggak ada ponsel.” Bian menjawab tanpa menoleh pada sang ayah.“Ponselmu ke ma
Pak Albert menunggu Rinjani yang baru saja datang. Pria itu masih saja terus mencari celah untuk mendekatinya walau sudah jelas Rinjani seperti menghindar. Bu Ani—guru Biologi sering mengingatkan untuk tidak terlalu memaksa karena wanita tidak suka di kejar.“Bu Rinjani,” sapa Pak Albert saat Rinjani datang.“Iya, ada apa, Pak?”“Bu Rinjani, Papa saya datang untuk mengambil ponsel saya. Dia tidak bisa lama, mau bicara di mana?”Bian datang dengan tergesa-gesa karena sang ayah sudah menunggu di mobil. Rinjani sampai terkesiap dengan kedatangan Bian yang menyelak pembicaraan dirinya dan Pak Albert. Seolah-olah tidak terima, Pak Albert meminta Bian untuk kembali nanti.“Bian, saya sedang ada urusan dengan Bu Rinjani. Bisa nanti bicaranya?”“Pak, orang tua saya datang untuk mengambil ponsel. Dia sibuk, masih untung mau datang, Bu, bagaimana?” tanya Bian.“Pak, saya bicara dulu dengan orang tua Bian. Setelah itu saya akan bicara dengan Bapak,” ujar Rinjani.“Bian, ikut saya. Saya tunggu di
Rinjani terdiam sembari memainkan pulpen di meja. Beberapa murid pun memperhatikan dirinya dari tempat duduk. Terutama Bian juga ikut melihat keanehan di wajah guru Akuntansinya. Tidak seperti biasa Rinjani diam dan tidak banyak bicara.Edi—teman sebangku Bian menyenggol lengan Bian hingga ia tersadar dari lamunan.“Masih waras, kan? Lu nggak suka sama Tante-tante, kan?” tanya Edi.Bian mencebik saat Edo mengira dirinya menyukai Rinjani.“Sarap, ya. Gua masih normal, ya. Masih suka gadis se umuran, bukan Tante-tante apalagi dia guru.” Bian melirik kesal.“Tami?” Pertanyaan Edi malah membuat Bian membulatkan mata.“Lu pikir gua sama Joni berantem karena berebut dia? Ogah, amat,” tutur Bian.“Kiraiin, terus lu kenapa memperhatikan Bu Jani macam itu?”Bian masih bergeming. Entah benar atau tidak yang ada di pikirannya kali ini.“Gua lagi memikirkan, Bu Jani anteng dan nggak banyak ngomong, apa efek habis ketemu bokap gua, seperti yan sudah-sudah setelah bokap datang, terbitlah guru-guru
Semua telah diungkapkan Erik. Sebuah kekesalan masa lalu juga membuatnya tidak bisa memaafkan perselingkuhan Anindi. Jelas di depan matanya dia bermesraan dengan pria lain dan meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu. Semua sudah di cukupi olehnya, entah wanita itu memilih pria lain untuk bermesraan.“Tuhan saja maha pengampun. Jangan sombong hanya jadi manusia,” tutur Anindi.“Wajar aku sombong, aku tampan, menarik, kaya dan bisa saja kapan saja menikah dengan wanita yang aku mau. Tapi, aku bukan kamu yang biasa bergonta-ganti pacar.” Lagi, Erik sengaja membuat hati Andini sakit.Erik berpikir jika Andini harus tahu bagaimana sakit dan sulitnya bangkit dari terpuruk saat wanita itu mempermainkan biduk rumah tangganya.“Kamu—“ Bibir Andini bergetar saat netra mereka saling bertemu. Baru kali ini ia menyesal dengan apa yang ia perbuat. Kesalahan yang tidak pernah ia akui karena merasa selalu benar.Perselingkuhan itu terjadi karena kurangnya waktu Erik bersamanya. Keinginan bersama s
Rinjani mengajak sang duda ke luar untuk berbicara empat mata. Ia takut jika masih ada yang menguping. Dirinya tidak mau sampai Ratna dan Tama mengetahui jika mereka hanya berpura-pura.Sebuah kafe romantis di pilih Erik untuk berbicara dengan Rinjani. Alunan lagu dari band pengisi acara membuat suasana semakin sangat romantis. Sebelum itu, Erik memesan dua milk shake untuk pemanis mulut.Rinjani memindahi sekitar yang ia anggap sudah aman. Lalu, ia kembali fokus pada apa yang akan mereka bahas.“Om, ini jelaskan maksud Om bagaimana bisa datang-datang melamar saya?” tanya Jani.Terpaksa Duda itu harus bercerita. Di mulai dari kedatangan Andini. Lalu, Erik terus bercerita tentang proses ia bercerai dengan mantan kekasih. Rinjani mendengarkan dengan serius pria di depannya bercerita. Ia tidak mau melewatkan cerita kehidupan si duda itu.“Begitu ceritanya.”“Om, ini pernikahan bukan main-main, loh. Kalau hanya ingin memanfaatkan saya, sepertinya Om salah orang deh.” Rinjani agak sedikit
Sesampainya di rumah, Erik langsung menemui sang ibu. Ia juga meminta sang adik untuk duduk bersama. Namun, Bian tak diikutsertakan karena ia ingin berbicara pelan dengan anak laki-lakinya itu.Meli menatap lekat sang kakak. Dari wajahnya, gadis itu bisa menebak jika akan ada kabar baik karena terlihat kakak laki-lakinya sangat semringah.“Ada apa, Ka?” tanya Meli.“Aku akan menikah,” tuturnya.Kedua wanita di hadapannya saling pandang menatap tidak percaya. Erik tidak pernah membawa wanita, tapi kini ia mau menikah. Meli tertawa sembari menepuk pundak Erik yang tegang. Begitu pun sang ibu, wanita tua itu hanya menggeleng.“Memangnya punya calon?” tanya Meli seraya menggoda.“Kalau nggak punya, untuk apa aku mau menikah. Besok kukenalkan pada kalian, setelah itu lamarkan dia untukku, Bu,” pinta Erik.“Ka, kamu serius, kan? Bukan prank untuk kita, kan? Bian bagaimana?” Lagi, Meli memastikan.“Nanti aku bicara padanya. Yang penting aku sudah bicara dengan kalian.”Setelah mengumumkan pe
“Kamu kenapa seperti itu?” tanya sang ibu.“Biarkan saja, Ma. Biar kapok, enak saja bilang maaf dan seolah-olah kesalahan dia itu kecil. Dia pikir, hebat bisa berlaku kasar sama aku!” Rinjani mulai emosi dengan kejadian tadi.Sang ibu mengelus pundak Rinjani. Kesabaran itu ada batasnya, ia mulai kesal dengan tingkah Tama. Dirinya berharap bisa keluar dari rumah sang ayah karena ada mantan kekasihnya yang berengsek.“Tapi kamu jangan seperti itu. Minyak itu panas, lihat saja Tama sampai kesakitan,” ujar sang ibu.“Luka dia bisa sembuh, tapi luka hati aku sulit untuk sembuh.”Sang ibu tidak tega melihatnya. Walau Rinjani terlihat sangat tegar, tetapi ia sangat rapuh. Ditinggalkan sangat sakit, apalagi mereka sudah bermimpi pernikahan yang begitu indah“Aku tidak akan sesakit ini jika bukan Ka Ratna yang jadi selingkuhan Tama. Sakit rasanya, saat tahu mereka berselingkuh dan melakukan hal di luar dugaan. Dia Kakakku, tapi seperti orang lain. Tega menikung adiknya.” Penuturan Rinjani memb