Selama dua jam Arthur diperiksa dan dilakukan pengecekan darah, ternyata Arthur didiagnosa terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit. Aku dan Mas Didik terduduk lesu. Pasalnya, kami bingung dengan biaya rumah sakit yang pasti tak sedikit.
“Biarlah nanti Mas usahakan pinjam lagi sama teman Mas untuk biaya berobat Arthur, Dia harus sembuh, Mas pulang dulu bawa baju ganti kamu sama Arthur.” Ujar suamiku sembari memegang pundakku. Aku mengangguk pelan. Malam ini aku harus menginap menjaga Arthur.Aku menghubungi saudaraku, Farida dan Emi dengan berkirim pesan melalui W******p. Mereka berjanji akan menjenguk keponakannya pada esok harinya. Pikiranku tak tenang memikirkan biaya Arthur. Uang yang dibawa Mas Didik tadi hanya tiga ratus ribu dan tersisa seratus ribu sisa dari biaya pemeriksaan darah Arthur.Aku tak yakin Mas Didik akan mendapatkan pinjaman, namun ingin meminjam dengan adik-adikku juga rasanya tak mungkin sebab kedua adikku bekerja serabutan.Farida ikut menjaga warung gorengan milik tetangga, sedangkan Emi menjadi pengasuh anak dengan gaji kurang dari satu juta sebulannya. Melihat wajah anakku yang sudah harus merasakan jarum suntik di pergelangan tangannya, sakit sekali rasanya.Tak lama Mas Didik datang membawakan baju ganti kami dan beberapa makanan ringan. Aku heran dari mana dia memiliki uang untuk membelikan makanan kami. Sedangkan uang untuk berobat terbilang sangat pas-pasan.“Bapak tadi kasih uang dari hasil menjual bibit.” Katanya saat kutanyakan darimana uang membeli makanan ringan. Dia menyerahkan uang sepuluh lembar seratus ribu. ‘Alhamdulillah’. Batinku. Minimal kami punya pegangan untuk membayar biaya rumah sakit nantinya, meski kami juga belum tahu berapa lama Arthur akan dirawat.***Sudah empat hari Arthur dirawat namun tak ada satu pun orang di rumah mertuaku yang menjenguk. Bila urusan Bapak, aku sangat paham dan maklum, karena bapak fokus mencari uang buat perawatan Arthur melalui penjualan bibit-bibit tanamannya. Selama Arthur di rumah sakit, dia rutin menitipkan makanan.Sedangkan Ibu tak sekalipun menampakkan batang hidungnya untuk sekedar melihat cucunya yang sakit, Sementara adik-adikku setiap hari datang dengan membawa apel, jeruk juga roti-roti yang sering kumakan untuk mengganjal perutku. Aku bersyukur memiliki saudara yang sangat perhatian.Mas Didik datang dengan dua orang temannya. Temannya membawakan buah-buahan yang cukup banyak dan memberikan amplop berisi uang yang sangat ku syukuri.“Semoga Arthur cepat sembuh ya.” Kata mereka sebelum pergi. Arthur sudah mulai bermain-main. Keadaannya benar-benar membaik. Aku berharap dalam beberapa hari ini anakku sudah diperbolehkan pulang.“Hari ini Arthur sudah boleh pulang.” Ujar Dokter Rahma yang memeriksanya pagi ini.Kami pun diminta untuk menyelesaikan administrasi. Dengan uang bapak dan uang teman-teman suamiku, akhirnya bisa menyelesaikan urusan administrasi dan kami bersiap pulang.“Ini masih ada sekitar tujuh ratus ribu, kamu pegang baik-baik ya Dek.” Mas Didik menyerahkan uang dalam amplop.Pulang dari rumah sakit, aku membawa satu tas plastik besar buah-buahan dan roti juga uang tujuh ratus ribu di tangan. Bersyukur, Arthur sakit membawa berkah.Kami pulang, rumah dalam keadaan sepi. Kata Mas Didik, Ibu bersama Farah, Sekar sedang ke luar sejak pagi tadi. Begitu masuk kamar, aku langsung merebahkan Arthur yang sedang tertidur di kasur dan aku memilih ikut beristirahat, sebab selama empat hari badan rasanya sangat capek dan mataku sangat mengantuk karena tidur tak nyenyak menjaga Arthur yang masih rewel saat itu.Belum ada sepuluh menit aku memejamkan mata, kudengar suara Ibu dan Farah di ruang tamu. Mereka seperti sedang membongkar belanjaan. Aku berusaha cuek dan tetap memejamkan mata.“Istrimu sudah pulang?” Suara Ibu bertanya pada Mas Didik.“Ya Bu, dia masih tidur istirahat karena ....” Belum selesai Mas Didik berbicara, Ibu sudah menyela.“Istrimu masih tidur jam segini? Bangunin dia, buatkan ibu sama Farah teh hangat.” Titahnya masih fokus membongkar plastik belanjaan mereka.“Biar aku saja, Bu. Mayang masih capek habis jagain Arthur di rumah sakit.” Jawab suamiku lalu melangkah menuju dapur.“Kamu itu memang senang diperbudak istrimu, capek apanya di rumah sakit, itu hanya alasan saja untuk orang pemalas seperti dia.” Teriakannya terdengar di telingaku, Mas Didik juga, hanya ia cuek saja.Selama empat hari di rumah sakit, aku merasakan ketenangan yang luar biasa meski harus menjaga Arthur yang sedang sakit, tenang karena tidak perlu mendengarkan suara ibu yang tidak perlu.Kata-kata yang ke luar dari mulutnya hanya membuat batin ini semakin terluka. Aku bersyukur tak membangunkanku dan Mas Didik tak mengindahkan ucapan ibunya, ia memilih langsung ke dapur membuatkan dua cangkir teh pesanan ibu.“Bagus tidak Sekar mainan barbie yang ini, pokoknya kalau mbahmu nanti dapat uang penjualan bibit, kita beli yang lebih banyak lagi ya, nduk.” Janji Ibu ke pada cucu kesayangannya. Aku merasakan perih mendengar ucapan ibu yang samar-samar kudengar dari dalam kamar.***Sore, setelah mandi dan berganti baju. Aku mengambil pisau dari dapur untuk mengupas apel yang kubawa dari rumah sakit. Aku duduk di teras sambil menggendong Arthur.“Bukan main nyonya besar, baru bangun langsung makan buah ya?” Suara ibu mulai mengangguku. Aku menoleh sekilas dan melanjutkan aktivitasku mengupas apel.“Itulah sifat jelek dipelihara, menantu nggak tau diri. Makan sendiri sementara mertua nggak dikasih, Ajaran orangtua pelit ya anak juga ikut pelit.” Mataku melotot sempurna. Bila ibu sudah menyinggung orangtuaku, sudah pasti aku akan marah.“Aku tidak pernah pelit, Bu. Apapun makanan selalu dibagi sama semua orang di rumah ini. Berbeda sama ibu yang suka menyembunyikan makanan karena takut aku sama Mas Didik memintanya, jadi siapa yang pelit aku atau ibu?”Dia kaget mendengar jawabanku. Baru saja dia ingin menjawab, Bu Trisno teman pengajiannya datang.“Ehh Ibu Trisno apa kabarnya, ayo silahkan masuk.”“Ini istrinya Didik ya, Bu. Cantiknya.” Sapanya. Aku hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalaku tanda hormat.“Ya, Bu. Ini istrinya Didik. mantuku semuanya ayu-ayu.” Ibu mengambil tanganku dan mengelusnya. Aku tentu saja kaget dengan sikap ibu yang tiba-tiba baik ke padaku.“Semua mantu kesayangan, pokoknya semua kuanggap anak, Oya Ibu Trisno ada perlu apa kemari.” Katanya lagi langsung mengambil Arthur dari gendonganku. ‘Ada angin apa ini tiba-tiba menggendong Arthur’O, sepertinya selain memperlakukan tak adil buatku dan anakku, ternyata Ibu juga suka bersandiwara menjadi baik jika di depan orang, sementara biasanya dia tak pernah begitu padaku, hanya pada Farah saja perlakuannya selalu baik dan sempurna.“Lusa, saya rencananya mau pesan kue bebongko sama ibu untuk pengajian bapaknya, kurang lebih 200 bungkus. Jadi nanti sebagian makan di tempat dan sebagian lagi dibawa pulang. Kalau Ibu nggak repot bantu saya buatkan ya, Bu. Nanti saya ambil dua jam sebelum pengajian, bisa kan, Bu?”“Pasti ... pasti bisa… jangankan 200 bungkus.. 500 bungkus pun bisa saya kerjakan sendiri, Bu.” Perutku terasa mual mendengar celotehan ibu. Benar-benar hobi berbohong.“Oya lah, Bu makasih sudah mau saya repoti, ini uang mukanya. Nanti sisanya Saya bayar setelah kuenya diambil. Jangan lupa lusa sebelum jam empat Saya ambil pesanannya.” Bu Trisno langsung pergi.“Kamu dengar tadi kan apa kata Ibu Trisno, jadi mulai besok kamu persiapkan bahannya apa saja untuk membuat kue bebongko itu, ingat 200 bungkus,” Tukas ibu langsung menyerahkan Arthur kembali kepadaku.“Bukannya ibu yang katanya bisa mengerjakannya sendiri, kue bebongko itu apa, aku juga nggak bisa buatnya.”Aku langsung meninggalkannya sendiri di teras dan kembali ke kamar. Kali ini aku tak ingin membuat kue pesanan Ibu Trisno. Sekali-kali harus diberi pelajaran.Dia selalu saja drama di depan semua orang mengatakan dia mertua yang terbaik, berbanding terbalik dengan aslinya.“Ngapain ibu repot-repot minta bantuannya, sekarang itu jaman sudah canggih. Semua resep makanan bisa langsung dilihat di Youtube kemudian tinggal dipraktekkan, Beresss,” Ku dengar suara Farah di teras, memberi saran ke ibu. Aku yakin sekali dia pasti ingin mencari resep kue bebongko pesanan Bu Trisno.“Oya sudah, gimana caranya. Bantuin Ibu ya, Rah… Cuma kamu aja menantu harapan ibu.”“Tenang, Bu. Ibu ketik aja kue apa namanya.” Farah memperlihatkan ponselnya kepada ibu. Aku yang mengajak Arthur bermain di ruang tamu berusaha cuek. Meski sesekali aku melihat dari kaca jendela yang menjadi pembatas antara ruang tamu dengan teras.“Videonya terlalu cepat, Rah. Ibu bingung jadinya.” Mereka pun menonton video berulang kali.“Besok ibu praktek dulu, jadi begitu buat yang 200 bungkus nanti hasilnya nggak mengecewakan, memangnya ibu mau nanti beda rasanya dengan yang dibuat Mbak Mayang.” Ibu menggelengkan kepalanya. “Nah, makanya ibu besok beli bahannya terus praktek.” “Ya, besok ibu mul
“Bukan main, Ibu Sutinah ini seakan-akan dia yang pandai bikin kue tapi ternyata cuma mantunya yang kerjain, mana sendirian lagi nggak dibantu, Nggak nyangka ya ibu mertuamu seperti itu.” Aku diam saja mendengarkan., tanganku masih sibuk dengan pesanan Bu Trisno.Selama tiga jam Ibu Trisno menemani aku membuat kue, dia dengan ikhlas membantu menyusun kue dalam dandang kukusan juga mengangkatnya, kemudian membantuku menyusun kue yang sudah masak dalam keranjang. Selama itu pula dia mengajakku bercerita banyak hal. Bu Trisno sangat baik orangnya.“Lain kali kalau Ibu ada hajatan, nanti biar Ibu langsung pesan sama kamu aja. Biar nanti ibu-ibu yang lainnya juga Saya kasih tau,” Dia lalu menyerahkan uang tiga ratus ribu kepadaku.Aku bingung dan bertanya. “Ini buat apa, Bu,”“Ini buat beli susu anak kamu, Arthur. Diterima aja ya, ini rejeki anakmu.” Katanya dan setelahnya ia menelpon anaknya untuk membawa kue bebongko ke dalam mobil. Aku sangat bersyukur pekerjaan menjadi cepat selesai ka
Pagi Pukul 6.30, aku baru selesai mengangkat air untuk memandikan Arthur lalu menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya setelah mandi di tempat tidur. Arthur masih tertidur pulas. Iwan kembali masuk ke dalam kamar kami. Mas Didik sudah duduk di tepi ranjang. Aku dan Mas Didik memperhatikan Iwan memasukkan baju yang dipinjamnya kemarin ke dalam lemari. Dengan tanpa bicara sepatah katapun, dia berlalu dari hadapan kami. Aku mengambil baju yang menggumpal yang ditaruhnya ke dalam lemari. Astagfirullah. Baju yang dipinjamnya kemarin dalam keadaan kotor dan dia dengan santainya memasukkannya kembali ke dalam lemari. Terbuat dari apa otak manusia satu itu.“Baju kotornya biar Mas nanti yang cuci sekalian baju-baju Arthur ya.” Kata suamiku mengambil baju tadi di tanganku. Di rumah ibu mertuaku memang tidak punya mesin cuci jadi semua pakaian dicuci secara manual.“Benar-benar bikin stres kalau lama-lama tinggal di sini, Sabar… sabar Mayang, ingat kamu masih numpang dan harus lebih banyak
“Ibu bangun tidur, cucian sudah dalam keadaan seperti itu, mau membela istri tercintamu itu, kalian itu sama saja pemalas, bisanya mikirkan makan aja sedangkan kerjaan terbengkalai nggak diurus dengan baik. Baru juga urusan rumah sudah tidak bisa diatur apalagi mau mikir terima pesanan, yakin itu bisa?” Kata Ibu dengan berkacak pinggang. Aku tak mempedulikannya.Selesai memungut pakaian, aku langsung menghampirinya. Dan meletakkan begitu saja pakaian kotor di kursi teras. Ia langsung melotot. Aku cuek berlalu dari hadapannya lalu masuk ke dalam kamar. Mas Didik menyusul ku.Tak lama kudengar suara pedagang sayur keliling mampir di depan rumah, ibu-ibu tetangga mulai berdatangan. Samar-samar kudengar Ibu membicarakanku. Aku langsung mengintip dari jendela kaca nako di ruang tamu yang berbatasan langsung dengan teras rumah. “Saya ini sudah terlalu sabar menghadapi istri si Didik, terlalu pemalas dan joroknya minta ampun. Coba lihat tuh, Bu … masa pakaian seperti itu dianggap bersih, je
Kedatangan ku bersama suami dan anakku disambut kedua adikku, Farida dan Emi. Mereka dengan antusias membantu kami pindah ke tempat tinggal yang baru. Rumah Eni memang tak sebesar rumah mertuaku. Rumah dengan dua kamar dan dindingnya masih belum diplester, masih kelihatan susunan batu batanya. Lantainya juga masih semen dan belum berkeramik. Aku suka karena rumahnya persis di depan sekolahan. Dengan pelataran yang cukup luas, membuat ku berpikir akan berjualan makanan untuk anak-anak sekolah.“Tempatnya strategis kalau kakak mau berjualan, persis depan SD lagi, menurut kakak bagaimana tempatnya bagus tidak?” Aku hanya bisa manggut-manggut saja. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan tempat sebagus ini dan gratis pula.“Kakak besok mau kerjakan orderan untuk jumat berkah sama orderan snack rabu depan, Jadi Kakak fokus dulu kerjakan orderan setelah itu baru pikirkan mau jualan apa di depan nanti,”“Aku masih libur jualan, Kak. Bisalah aku bantu-bantu kakak siapkan kotakann
“Untunglah, Mas. Akhirnya kamu bisa bekerja kembali, semoga saja apa yang kita kerjakan menjadi berkah dan pahala ya, Mas.” Kataku sambil menyiapkan pakaian yang akan dikenakan di hari pertamanya kembali bekerja.“Ya, Dek. Oya kamu nggak apa-apa kan, seandainya sewaktu-waktu Mas ditugaskan ke luar daerah karena perusahaan ini ada cabangnya di beberapa daerah.” Meski berat, Aku pun mengangguk. Toh, ini demi kebaikan kami bersama.“Nggak apa-apa kok, Mas. Ada Farida dan Emi yang bisa menemani aku dan Arthur saat kamu ada tugas ke luar daerah, yang terpenting kamu kerjanya baik-baik aja, Mas. Ingat aja Mas cari kerja itu sulit, kita sudah sangat bersyukur akhirnya kamu mendapat pekerjaan,” pintaku, dia mengangguk.“Ya, Dek. Insha Allah bila pekerjaan lancar, aku berniat kita pelan-pelan membangun rumah dan buat tabungan masa depan Arthur.” Aku mengaminkan perkataannya.“Aku udah buatkan sarapan, sebaiknya kita sarapan dulu sebelum kamu berangkat bekerja, Mas.” Bersyukur selama berjualan
“Dia ngomong begitu ada siapa aja, Mbak,” “Hampir semua ibu-ibu tadi ngumpul karena lagi beli sayur sama Pakle dan bicaranya itu meyakinkan, makanya aku ke sini langsung tanyain kamu, supaya jelas infonya itu gimana,” Meski baru dua minggu aku tinggal di kawasan ini tapi aku paham dengan Kiki, tetanggaku bak Wartawan ini selalu mau tahu apa saja berita terupdate seputar lingkungan kami.Hampir semua ibu-ibu di lingkungan kami ini selalu menghabiskan waktu untuk berkumpul sedangkan aku lebih memilih mengurus urusan rumah, mengurus Arthur, suami dan jualanku saja. “Kalau memang aku mencuri, kenapa dia nggak melaporkan sekalian aku ke Kantor Polisi, Mbak. Begitu juga dengan caraku jualan apa memang aku jorok, kamu bisa langsung ke dapurku supaya kamu bisa dapat kepastian informasi terbaru, gosip receh kayak gini paling malas aku menanggapi … Tapi kalau terus-terusan aku digosip yang nggak benar nanti aku tuntut balik dengan pencemaran nama baik.” Kesal Ku sudah di ubun-ubun. Kiki terl
Sepuluh menit berbicara dengan bapak, endingnya membuat aku membatalkan melabrak ibu. Dan memilih tetap fokus berjualan untuk besok pagi. Kami merubah rencana berjualan secara online dan Farida siap mengantarkan pesanan ke pembeli.Berjualan online memang tak semudah yang kami bayangkan, kami harus benar-benar pintar berpromosi mencari pembeli, menampilkan gambar yang bagus juga sangat penting. Hari ini kami memposting olahan sosis dan gorengan lainnya hampir lima jam, hanya satu orang yang membeli. Kami tetap fokus menunggu calon pembeli. “Assalamualaikum.” Aku sontak menoleh. Melihat Ibu Trisno bersama dua orang temannya yang tak kukenal.“Waalaikum salam.” “Oya Mayang, ini teman-teman Ibu yang mau pesan catering sama kamu, mereka berdua ini sudah merasakan rasa masakan kamu, rendang daging sama soto banjar itu bikin kangen kata mereka.” Aku tersenyum mendengarnya.Makanan sedekah jumat yang kubuat untuk pesanan Ibu Trisno setiap minggunya selalu berubah-ubah menunya yang kuolah.