“Ngapain ibu repot-repot minta bantuannya, sekarang itu jaman sudah canggih. Semua resep makanan bisa langsung dilihat di Youtube kemudian tinggal dipraktekkan, Beresss,” Ku dengar suara Farah di teras, memberi saran ke ibu. Aku yakin sekali dia pasti ingin mencari resep kue bebongko pesanan Bu Trisno.
“Oya sudah, gimana caranya. Bantuin Ibu ya, Rah… Cuma kamu aja menantu harapan ibu.”“Tenang, Bu. Ibu ketik aja kue apa namanya.” Farah memperlihatkan ponselnya kepada ibu.Aku yang mengajak Arthur bermain di ruang tamu berusaha cuek. Meski sesekali aku melihat dari kaca jendela yang menjadi pembatas antara ruang tamu dengan teras.“Videonya terlalu cepat, Rah. Ibu bingung jadinya.” Mereka pun menonton video berulang kali.“Besok ibu praktek dulu, jadi begitu buat yang 200 bungkus nanti hasilnya nggak mengecewakan, memangnya ibu mau nanti beda rasanya dengan yang dibuat Mbak Mayang.” Ibu menggelengkan kepalanya.“Nah, makanya ibu besok beli bahannya terus praktek.”“Ya, besok ibu mulai praktek, semoga saja langsung jadi.” Harap Ibu dengan pandangan bingung ke arah menantu kesayangannya. Aku menahan tawa melihatnya.***Pagi-pagi sekali, Ibu sudah pulang dari pasar membeli bahan-bahan kue bebongko yang akan dipraktekkannya hari ini. Terlihat ibu pulang diantar oleh ojek, dengan menenteng dua tas plastik besar. Ibu tergopoh-gopoh membawa belanjaan menuju ke dapur. Ia melintas melewatiku tanpa berkata apa-apa. Aku pun memilih cuek.Aku yang baru saja selesai mengepel lantai, harus menahan napas ketika melihat jejak kakinya yang berlumpur di lantai. Mau tak mau aku harus mengepel kembali sepanjang jalannya ke dapur. Bukan hanya Ibu, Farah dan juga adik iparku kerapkali seakan-akan sengaja mengotori lantai begitu melihat aku baru selesai menyapu atau mengepel.Begitu aku akan menjemur pakaian, kulihat ibu sedang menjemur daun pisang. Dan matanya melirik sinis padaku.‘Dia pasti masih marah karena aku tak membantunya’ batinku.Setelah semua pekerjaan selesai, aku berniat akan pergi mandi namun tiba-tiba Ibu berteriak kencang. Aku berlari menghampirinya.Kulihat Ibu sedang menyiram adonan tepung dengan air panas tapi hasilnya, tepungnya mengambang dan tak menyatu sehingga bentuk adonan menjadi bergerindil tak jelas, karena kulihat tak ada apa-apa, aku pun kembali melanjutkan rencana membersihkan badanku tadi.Hanya butuh waktu 15 menit, aku sudah selesai dengan ritual mandiku. ‘Saatnya melihat Arthur, apa dia sudah bangun atau belum’ kataku dalam hati. Aku melihat Arthur sedang bermain dengan bapaknya.“Tumben sudah pulang, Mas. Bukannya tadi Mas mau membantu bapak di kebun.” Aku mengeringkan rambut dengan handuk.“Belum ada bibit baru jadi masih menunggu, lagian di kebun tadi hanya menyiapkan plastik media tanamnya saja dan sudah selesai, mungkin lusa baru kembali menanam.” Terangnya seraya menggendong anaknya.“Jagain Arthur ya, aku siapkan minuman dulu buat Mas.” Aku berjalan menuju dapur. Kulihat Ibu masih berusaha membuat kue bebongko. Tapi ada yang salah dengan prosesnya, namun aku berusaha cuek dan fokus membuat kopi buat Mas Didik.Aku menyerahkan kopi hitam dengan sedikit gula kesukaan Mas Didik, lalu menggendong Arthur membawanya ke teras untuk melihat pemandangan di luar rumah.Kebiasaan Arthur setiap pagi dan sore hari menyukai melihat pemandangan di luar rumah apalagi jika ada kendaraan yang lewat, kakinya bergerak lincah dan tersenyum lebar.Arthur memang lagi lucu-lucunya dan dia menjadi penyemangatku juga menjadi penghiburku disaat aku sedih karena perlakuan ibu mertuaku. Tak lama Mas Didik menyusul kami duduk di teras.“Kasihan Ibu, Mayang. Ibu sudah menerima uang dari Ibu Trisno untuk pesanan lusa, kalau kamu nggak membantunya jadi siapa lagi?” Aku sontak menoleh. Pura-pura cuek. Pasti Ibunya menyuruh membujukku agar mau membuatkan kue pesanan Bu Trisno.“Kata Ibu, kalau memang kamu mau membuatkan pesanan buat besok, kamu akan digaji duit lima puluh ribu, Gimana kamu mau kan?” Mataku melotot sempurna.“Buat kue 200 bungkus terus cuma dikasih lima puluh ribu, yakin segitu Mas? Lebih baik aku jagain Arthur!” Suara ku mulai meninggi.Sejak Arthur sakit dan Ibu cuek membuatku tak tahan melihat perlakuannya. Apalagi dia lebih memilih membawa Sekar ke rumah sakit ketimbang sekedar meminjamkan uang buat kami. Rasanya dada ini sesak sekali melihat orang yang kuanggap orang tua tapi perlakuannya tak mewakili sama sekali.Kami di rumah sakitpun, dia tak sudi menjenguk. Mataku mulai terbuka bahwa ibu memang harus mendapatkan pelajaran atas apa yang ia lakukan terhadap kami, ia harus tahu bahwa ia tetap bergantung pada kami yang sama sekali tak ada harga di matanya itu.“Ingat Mayang, kita ini masih numpang makan sama Ibu, kalau nggak karena Ibu juga kita mau makan apa.” Aku menghela napas panjang.Emosiku yang tadinya memuncak, mulai mereda. Mas Didik benar, meski menjengkelkan Ibu juga yang berbelanja keperluan dapur setiap harinya.“Terus bagaimana dengan Arthur? Siapa yang mau jagain, pesanan kue itu nggak sedikit, Mas.” Suaraku melunak sembari mencium pipi anakku.“Besok kan Mas masih di rumah, jadi biar Mas yang bantuin jaga Arthur dan kamu fokus buat kue ya.” Pintanya lagi sesekali menyeruput kopinya. Meski kesal, akhirnya aku mengiyakan.“Ya sudah, kamu lihat Ibu di dapur, dia daritadi praktek bikin kue nggak jadi-jadi.” Mas Didik mengambil Arthur dari gendonganku. Dengan langkah malas, aku ke dapur.“Mayang, bantuin Ibu besok ya, Nak. Ibu betul-betul nggak bisa buat kue ini susah.” Ujar Ibu begitu melihatku menghampirinya.‘Begitu ada maunya baru panggil-panggil nak, biasanya bahasa makian yang ku terima’ Aku membatin.“Yang gagal ini biar dijadikan bubur sum sum aja Bu, besok baru Mayang buatkan pesanan untuk Ibu Trisno.” Dia langsung mengangguk dengan tersenyum sumringah.***Pukul tujuh pagi, aku sudah selesai memanggang daun pisang dan mulai memotong serta membentuknya menjadi bungkus bebongko. Setelahnya aku mulai mengadon kue, memotong gula merah dan menyiapkan air kukusan. Semua kulakukan sendiri dengan cepat, karena dandangan punya Ibu hanya muat 20 bungkus sekali kukus. Artinya aku harus mengukus sepuluh kali baru bisa memenuhi pesanan.Membuat kue adalah keahlian yang diturunkan almarhum mamaku. Mamaku dulu setiap hari berjualan bermacam-macam kue dan banyak pelanggannya karena rasa kuenya sangat enak.Aku pun dikenal sebagai anak si Tukang kue. Aku bersyukur, karena sering membantu mama membuatku turut pandai membuat segala macam jenis kue, termasuk kue bebongko ini.“Assalamualaikum, Ibumu ada.” Ibu Trisno muncul tiba-tiba saat aku sedang sibuk menuangkan adonan ke daun. Aku menoleh dan tersenyum.“Ibu biasanya jalan kalau jam segini, Bu. Kira-kira kembali siang atau sore nanti.” Aku keceplosan dengan kebiasaan ibu mertuaku.“Lohh kalau Ibumu jalan sampai jam segitu, berarti yang buat kue itu kamu?” Aku terpaksa mengangguk.“Terus waktu acara pengajian kemarin yang buat kue kamu juga?” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Bu Trisno nampak kaget dan menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.“Bukan main, Ibu Sutinah ini seakan-akan dia yang pandai bikin kue tapi ternyata cuma mantunya yang kerjain, mana sendirian lagi nggak dibantu, Nggak nyangka ya ibu mertuamu seperti itu.” Aku diam saja mendengarkan., tanganku masih sibuk dengan pesanan Bu Trisno.Selama tiga jam Ibu Trisno menemani aku membuat kue, dia dengan ikhlas membantu menyusun kue dalam dandang kukusan juga mengangkatnya, kemudian membantuku menyusun kue yang sudah masak dalam keranjang. Selama itu pula dia mengajakku bercerita banyak hal. Bu Trisno sangat baik orangnya.“Lain kali kalau Ibu ada hajatan, nanti biar Ibu langsung pesan sama kamu aja. Biar nanti ibu-ibu yang lainnya juga Saya kasih tau,” Dia lalu menyerahkan uang tiga ratus ribu kepadaku.Aku bingung dan bertanya. “Ini buat apa, Bu,”“Ini buat beli susu anak kamu, Arthur. Diterima aja ya, ini rejeki anakmu.” Katanya dan setelahnya ia menelpon anaknya untuk membawa kue bebongko ke dalam mobil. Aku sangat bersyukur pekerjaan menjadi cepat selesai ka
Pagi Pukul 6.30, aku baru selesai mengangkat air untuk memandikan Arthur lalu menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya setelah mandi di tempat tidur. Arthur masih tertidur pulas. Iwan kembali masuk ke dalam kamar kami. Mas Didik sudah duduk di tepi ranjang. Aku dan Mas Didik memperhatikan Iwan memasukkan baju yang dipinjamnya kemarin ke dalam lemari. Dengan tanpa bicara sepatah katapun, dia berlalu dari hadapan kami. Aku mengambil baju yang menggumpal yang ditaruhnya ke dalam lemari. Astagfirullah. Baju yang dipinjamnya kemarin dalam keadaan kotor dan dia dengan santainya memasukkannya kembali ke dalam lemari. Terbuat dari apa otak manusia satu itu.“Baju kotornya biar Mas nanti yang cuci sekalian baju-baju Arthur ya.” Kata suamiku mengambil baju tadi di tanganku. Di rumah ibu mertuaku memang tidak punya mesin cuci jadi semua pakaian dicuci secara manual.“Benar-benar bikin stres kalau lama-lama tinggal di sini, Sabar… sabar Mayang, ingat kamu masih numpang dan harus lebih banyak
“Ibu bangun tidur, cucian sudah dalam keadaan seperti itu, mau membela istri tercintamu itu, kalian itu sama saja pemalas, bisanya mikirkan makan aja sedangkan kerjaan terbengkalai nggak diurus dengan baik. Baru juga urusan rumah sudah tidak bisa diatur apalagi mau mikir terima pesanan, yakin itu bisa?” Kata Ibu dengan berkacak pinggang. Aku tak mempedulikannya.Selesai memungut pakaian, aku langsung menghampirinya. Dan meletakkan begitu saja pakaian kotor di kursi teras. Ia langsung melotot. Aku cuek berlalu dari hadapannya lalu masuk ke dalam kamar. Mas Didik menyusul ku.Tak lama kudengar suara pedagang sayur keliling mampir di depan rumah, ibu-ibu tetangga mulai berdatangan. Samar-samar kudengar Ibu membicarakanku. Aku langsung mengintip dari jendela kaca nako di ruang tamu yang berbatasan langsung dengan teras rumah. “Saya ini sudah terlalu sabar menghadapi istri si Didik, terlalu pemalas dan joroknya minta ampun. Coba lihat tuh, Bu … masa pakaian seperti itu dianggap bersih, je
Kedatangan ku bersama suami dan anakku disambut kedua adikku, Farida dan Emi. Mereka dengan antusias membantu kami pindah ke tempat tinggal yang baru. Rumah Eni memang tak sebesar rumah mertuaku. Rumah dengan dua kamar dan dindingnya masih belum diplester, masih kelihatan susunan batu batanya. Lantainya juga masih semen dan belum berkeramik. Aku suka karena rumahnya persis di depan sekolahan. Dengan pelataran yang cukup luas, membuat ku berpikir akan berjualan makanan untuk anak-anak sekolah.“Tempatnya strategis kalau kakak mau berjualan, persis depan SD lagi, menurut kakak bagaimana tempatnya bagus tidak?” Aku hanya bisa manggut-manggut saja. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan tempat sebagus ini dan gratis pula.“Kakak besok mau kerjakan orderan untuk jumat berkah sama orderan snack rabu depan, Jadi Kakak fokus dulu kerjakan orderan setelah itu baru pikirkan mau jualan apa di depan nanti,”“Aku masih libur jualan, Kak. Bisalah aku bantu-bantu kakak siapkan kotakann
“Untunglah, Mas. Akhirnya kamu bisa bekerja kembali, semoga saja apa yang kita kerjakan menjadi berkah dan pahala ya, Mas.” Kataku sambil menyiapkan pakaian yang akan dikenakan di hari pertamanya kembali bekerja.“Ya, Dek. Oya kamu nggak apa-apa kan, seandainya sewaktu-waktu Mas ditugaskan ke luar daerah karena perusahaan ini ada cabangnya di beberapa daerah.” Meski berat, Aku pun mengangguk. Toh, ini demi kebaikan kami bersama.“Nggak apa-apa kok, Mas. Ada Farida dan Emi yang bisa menemani aku dan Arthur saat kamu ada tugas ke luar daerah, yang terpenting kamu kerjanya baik-baik aja, Mas. Ingat aja Mas cari kerja itu sulit, kita sudah sangat bersyukur akhirnya kamu mendapat pekerjaan,” pintaku, dia mengangguk.“Ya, Dek. Insha Allah bila pekerjaan lancar, aku berniat kita pelan-pelan membangun rumah dan buat tabungan masa depan Arthur.” Aku mengaminkan perkataannya.“Aku udah buatkan sarapan, sebaiknya kita sarapan dulu sebelum kamu berangkat bekerja, Mas.” Bersyukur selama berjualan
“Dia ngomong begitu ada siapa aja, Mbak,” “Hampir semua ibu-ibu tadi ngumpul karena lagi beli sayur sama Pakle dan bicaranya itu meyakinkan, makanya aku ke sini langsung tanyain kamu, supaya jelas infonya itu gimana,” Meski baru dua minggu aku tinggal di kawasan ini tapi aku paham dengan Kiki, tetanggaku bak Wartawan ini selalu mau tahu apa saja berita terupdate seputar lingkungan kami.Hampir semua ibu-ibu di lingkungan kami ini selalu menghabiskan waktu untuk berkumpul sedangkan aku lebih memilih mengurus urusan rumah, mengurus Arthur, suami dan jualanku saja. “Kalau memang aku mencuri, kenapa dia nggak melaporkan sekalian aku ke Kantor Polisi, Mbak. Begitu juga dengan caraku jualan apa memang aku jorok, kamu bisa langsung ke dapurku supaya kamu bisa dapat kepastian informasi terbaru, gosip receh kayak gini paling malas aku menanggapi … Tapi kalau terus-terusan aku digosip yang nggak benar nanti aku tuntut balik dengan pencemaran nama baik.” Kesal Ku sudah di ubun-ubun. Kiki terl
Sepuluh menit berbicara dengan bapak, endingnya membuat aku membatalkan melabrak ibu. Dan memilih tetap fokus berjualan untuk besok pagi. Kami merubah rencana berjualan secara online dan Farida siap mengantarkan pesanan ke pembeli.Berjualan online memang tak semudah yang kami bayangkan, kami harus benar-benar pintar berpromosi mencari pembeli, menampilkan gambar yang bagus juga sangat penting. Hari ini kami memposting olahan sosis dan gorengan lainnya hampir lima jam, hanya satu orang yang membeli. Kami tetap fokus menunggu calon pembeli. “Assalamualaikum.” Aku sontak menoleh. Melihat Ibu Trisno bersama dua orang temannya yang tak kukenal.“Waalaikum salam.” “Oya Mayang, ini teman-teman Ibu yang mau pesan catering sama kamu, mereka berdua ini sudah merasakan rasa masakan kamu, rendang daging sama soto banjar itu bikin kangen kata mereka.” Aku tersenyum mendengarnya.Makanan sedekah jumat yang kubuat untuk pesanan Ibu Trisno setiap minggunya selalu berubah-ubah menunya yang kuolah.
“Kamu sudah siap, Dek?” tanya Mas Didik saat melihatku menata rambut di depan cermin. Setelahnya aku berdandan, sejak hasil jualanku meningkat secara perlahan aku mulai membeli pakaian tidak hanya untuk suami, Arthur dan juga diriku tapi juga membeli kosmetik akhirnya terwujudkan.Semalam suamiku gajian, dengan gajinya nyaris tiga juta per bulan benar-benar sangat kusyukuri. Selama kami pindah rumah, kami benar-benar mendapatkan berkah yang luar biasa. Arthur yang berusia hampir lima bulan juga sudah kubelikan gendongan yang dijual pada pedagang online, tidak lagi menggunakan kain jarik.Alhamdulillah saat akan ke rumah ibu mertuaku, keadaan kami jauh lebih baik ketimbang kami pertama kali meninggalkan rumahnya waktu itu. Sesuai permintaan Mas Didik, di hari minggu kami ke rumah ibu. Lagi pula aku tak berjualan dan Mas Didik juga libur bekerja. Aku juga meminjam sepeda motor adikku, Farida untuk dipakai mengunjungi keluarga suamiku itu. Sebelum sampai di rumah ibunya, kami menyemp