Jingga Thania, seorang wanita dengan masa lalu yang kelam, terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia dengan Davin William, seorang pria kaya raya pewaris perusahaan besar. Davin yang awalnya tampak sempurna, berubah menjadi iblis dalam hidup Jingga.Dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan perlakuan kasar dari Davin, Jingga memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya.Namun, takdir menuntun mereka pada kejadian tragis yang mengubah segalanya, mengungkapkan rahasia kelam, dan meninggalkan Davin dalam penyesalan yang mendalam.
View MoreDavin memandangi Jingga, lalu menghela napas panjang. Ia nyaris lupa bagaimana caranya berkedip saat melihat penampilan istrinya saat ini. “Kenapa menghela napas? Aku terlihat jelek, ya? Atau riasanku aneh?” tanya Jingga seraya menatap Davin dengan tatapan polos. Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling lobi Madhava Studio. Rahangnya mengeras saat ia mendapati beberapa pria yang berlalu lalang menatap ke arah Jingga lebih dari satu kali. “Udara di sini cukup dingin, Sayang.” Davin melepas jas hitam yang ia kenakan. Lalu mengenakannya di bahu Jingga, untuk menutupi tubuhnya yang indah dari pandangan lelaki lain. Jingga mengerjap. “Tapi aku nggak dingin,” sanggahnya, menggeleng. “Tapi aku nggak suka milikku dipandangi orang lain.” Davin merapatkan jas tersebut, menenggelamkan tubuh Jingga yang malam ini mengenakan dress satin berwarna peach, dengan model tali spageti, tinggi di bawah lutut, dan belahan di samping kiri yang memanjang ke atas lutut membuat gaun itu terlihat semakin
Davin bergegas pergi meninggalkan kantor saat ia mendapat kabar dari rumah, bahwa Jingga pergi ke rumah orang tuanya, tanpa dirinya. Bukan apa-apa. Davin hanya merasa sangat khawatir Jingga diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya, seperti yang lalu-lalu. Setibanya di sana, Davin segera memasuki rumah mewah itu dan mencari-cari sosok Jingga di segala penjuru. Rahangnya mengeras kala ia menemukan wanita itu sedang berhadapan dengan ibunya di beranda. “Dave?” gumam Jingga dengan mata sedikit melebar. “Kamu sudah pulang dan tahu aku di sini?” Davin menatap Jingga seraya menghampirinya, lalu merangkul pinggang wanita itu dan berkata tegas, “Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kenapa kamu datang ke rumah ini tanpaku?” “A-aku... cuma ingin... menjenguk Tante Lucy.” Jingga gelagapan. “Tapi kamu jangan khawatir! Aku baik-baik saja!” Ia sedikit berseru sambil tersenyum lebar dan mengibaskan tangannya di udara. Davin menatap sorot mata Jingga lamat-lamat, tapi ia tidak menemukan kesed
Lucy terbangun dari tidurnya dan ia mendapati kain pengompres menempel di dahi. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Dan Lucy penasaran, siapa yang menempelkan kain dingin itu di keningnya? Lucy memaksa tubuhnya untuk duduk, ia merasa lemas, seolah tenaganya perlahan-lahan terserap habis. Tangannya mengepal saat ia tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Dokter Indra siang tadi. Dokter Indra memberinya sebuah kabar buruk. Kabar yang membuat dunia Lucy terasa jungkir balik. "Dokter Indra, tolong katakan yang sebenarnya. Apa yang salah dengan kesehatan saya?" tanya Lucy saat itu kepada Dokter Indra. Dokter Indra menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat, sementara tangannya menggenggam hasil pemeriksaan. "Bu Lucy, saya akan berbicara dengan sejujurnya," kata pria itu dengan nada serius. "Hasil laboratorium Anda menunjukkan bahwa Anda menderita leukemia, atau... kanker darah." Lucy terdiam sejenak, merenungkan kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia menggele
Jingga menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Ia berdiri di depan pintu rumah mertuanya dengan perasaan gugup.Setelah mengumpulkan keberanian, ia melepas tangannya yang semula menggenggam pegangan stroller Oliver, lalu menekan bel. Satu kali. Dua kali.Jingga menahan napas saat pintu di hadapannya terbuka. Ia tak memiliki kesempatan untuk berbalik arah. Tekadnya sudah bulat.“Oh? Non Jingga? Selamat siang,” sapa seorang wanita paruh baya yang membuka pintu sambil tersenyum ramah.Jingga balas tersenyum. “Selamat siang, Bik. Apa... Tante Lucy ada?"“Ada, ada. Mari, silahkan masuk!”Wanita itu membuka pintu lebar-lebar dan beringsut memberi jalan bagi Jingga yang mendorong stroller yang diduduki Oliver.Arum ikut berjalan di belakang Jingga sambil membawa parsel buah kesukaan Lucy—anggur dan kiwi import. Sebelumnya Jingga sempat bertanya pada Davin mengenai buah favorit ibunya itu.Setibanya di ruangan tengah rumah mewah tersebut, Jingga melihat Lucy sedang mengobr
Lucy menyeruput teh hangatnya, seraya mendengarkan penjelasan dari asisten pribadinya mengenai hukuman untuk Chelsea dan Emran yang sudah diputuskan oleh pihak pengadilan siang ini.“Pak Emran dan Chelsea telah dinyatakan bersalah atas percobaan pembunuhan. Hakim memberikan hukuman yang cukup berat untuk mereka berdua,” ujar seorang wanita berusia 30-an sambil membuka berkas di tangannya.Lucy mengangguk perlahan. “Berapa lama mereka dijatuhi hukuman?”“Chelsea dijatuhi hukuman 15 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Sedangkan Pak Emran, karena perannya yang sedikit lebih kecil, mendapat hukuman 10 tahun penjara, juga tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.”Lucy terdiam mendengarnya. Tangannya mengepal. Ia sudah menganggap Chelsea sebagai anak sendiri, tapi berakhir dikhianati. Meski Lucy yakin bahwa sasaran utama Chelsea adalah Jingga, tapi Lucy tidak bisa memaafkan siapapun yang sudah berusaha melukai putranya.“Tapi... apa ada kemungkinan mereka bisa mengajukan ba
“Maaf, Pak. Saya bukan Satria. Saya Mas Yanto. Bapak nggak lihat tulisan di sana, ya? Ini ‘Pecel Mas Yanto’.”Davin menoleh ke arah spanduk yang menggantung di depan gerobak, yang ditunjuk oleh seorang pria tua keriput yang bernama Yanto itu.Davin menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, kalau begitu. Apa Bapak, maksud saya Mas Yanto tahu di mana pecel yang dijual oleh Satria?” tanya Davin dengan ragu-ragu.Yanto mengerutkan keningnya, ia menelengkan kepala, menatap Davin dengan heran. “Mana saya tahu, Pak. Saya nggak pernah menghapal nama-nama tukang pecel. Coba Bapak cari di perempatan sana.” Yanto menunjuk ke sembarang arah, lalu ia sibuk menyajikan pecel pada pelanggannya.Setelah mengucapkan terima kasih, Davin lantas meninggalkan tempat tersebut dan masuk ke dalam mobilnya.Ia menyugar rambut yang sudah sedikit acak-acakan. Mas Yanto adalah penjual pecel ke tujuh yang Davin temui sore ini. Setelah sebelumnya yang Davin temui adalah Udin, Sultan, Sura, Harja, Ilham, dan D
Davin benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Jingga bed rest, ia memperlakukan Jingga dengan penuh perhatian. Selain cuti dari pekerjaannya, Davin juga benar-benar membiarkan Jingga istirahat sepenuhnya, ia juga mengurus Oliver dari pagi hingga malam. Ketika waktu sarapan dan makan siang, Davin membawakan makanan Jingga ke kamar dan menyuapinya, memastikan Jingga makan dengan benar meski terkadang Jingga menolak karena selera makannya masih belum membaik.Lalu siang ini, Davin berhasil menidurkan Oliver. Ternyata tidak sulit membuatnya tertidur, pikir Davin. Sebab anak itu pasti mengantuk jika waktu tidur siangnya sudah tiba. Setelah merebahkan Oliver di atas kasur yang sama dengan Jingga, Davin lantas beralih ke sisi kasur yang lain, duduk bersandar di headboard seraya menarik Jingga ke dalam pelukannya. “Sayang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Davin seraya menyusupkan jari jemarinya di rambut Jingga dan mengusap-usapnya lembut. Jingga menyandarkan pipinya di dada Davin, menga
Setelah dokter pribadi keluarga Davin—yang telah selesai memeriksa kondisi Jingga, menyarankan agar Jingga segera diperiksa oleh dokter spesialis kandungan, maka sore itu juga Davin membawa Jingga ke rumah sakit dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan. Selain demam, Jingga juga mengeluh perutnya sakit dan badannya lemas. “Kandungan Bu Jingga terlihat baik, tapi saya melihat ada sedikit tanda-tanda stres pada janin. Apa belakangan ini Bu Jingga merasa cemas atau stres berlebihan?" tanya Dokter Kartika sesaat setelah ia selesai memeriksa kondisi kandungan Jingga. "Stres?" Jingga terkejut mendengar dokter kandungan itu dapat menebak bahwa akhir-akhir ini ia merasa cemas dan mungkin bisa dibilang stres berlebih. Tak bisa dipungkiri, kata-kata ibu mertuanya tempo hari membuat pikiran Jingga semrawut. Namun, Jingga tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa ia stres di depan Dokter Kartika dan Davin. Jingga lalu menoleh pada suaminya, yang tampak cemas dan khawatir.
Jingga tidak bisa melupakan kata-kata yang diucapkan Lucy pagi itu. Ucapan tajam ibu mertuanya selalu terngiang-ngiang. Membuatnya tak berselera makan. Tak bisa tidur nyenyak. Semakin kuat Jingga berusaha melupakannya, semakin keras pula suara Lucy terngiang di telinga. Jingga tidak menceritakan pertemuannya dengan Lucy kepada Davin. Ia memendamnya seorang diri. Sebab, Jingga yakin, jika Davin tahu mengenai apa yang Lucy ucapkan padanya, Davin akan marah besar pada ibunya. Jingga tidak mau membuat Davin bersikap tak wajar pada ibunya sendiri. Ponsel Jingga berdering, membuyarkan lamunannya. Jingga mengalihkan pandangannya dari makanan di hadapannya yang belum ia sentuh sama sekali—karena selera makannya benar-benar buruk, ke arah ponsel yang tergeletak di samping gelas. Panggilan dari Davin. Jingga tidak bisa menahan senyumnya kala membaca nama pria itu terpampang di layar. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” sapa Jingga sambil beranjak dari meja makan. “Sayan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.