Mata hazel Gevan pun membulat dengan sempurna mendengarnya. "Wow... kamu hamil?! Hamil beneran? Jadi ada bayi di dalam perut kamu gitu?!" Tukasnya kaget dan terkesima.
Tanpa sadar dan karena refleks, Gevan malah mengulurkan tangannya seperti seseorang yang sedang dalam pengaruh hipnotis, dan mengelus perut Aluna dengan lembut serta penuh kehati-hatian."Serius kamu hamil, Al??" Ulangnya lagi dengan nada yang kali ini terdengar seperti sebuah gumanan, karena begitu takjubnya.Aluna mencebik dan serta merta menjauhkan tangan Gevan dari perutnya."Pak Gevan nggak usah elus-elus gitu, deh! Kalau nanti saya jadi baper, gimana?!" Sentaknya kesal dengan bibir yang cemberut.Namun ia tak bisa menampik rasa aneh dan tak wajar yang tiba-tiba saja datang saat telapak tangan hangat Gevan berada di perutnya yang masih datar.Seperti sensasi merinding, seperti digelitik tapi tak ada yang menggelitik kulitnya.Bukannya apa-apa, selama ini hubungan Aluna dengan bosnya itu sangat profesional. Hampir tidak pernah ada skinship yang berarti sama sekali di antara mereka.Meskipun diam-diam Aluna juga mengagumi wajah bosnya yang rupawan, tapi hanya sebatas itu saja.Karena hanya memang wajahnya saja yang bisa dikagumi dari seorang Gevan Ahza Samudra, sebab kepribadian bosnya itu tidak berbanding lurus dengan wajahnya yang tampan.Bukan cuma pemarah dan galak, tapi Gevan itu juga suka sekali membentak serta menghina tanpa memperdulikan perasaan orang lain.Mungkin cuma satu saja sifatnya yang layak dapat penghargaan, yaitu Gevan bukanlah pria yang suka bermain-main dengan wanita, walaupun pasti banyak wanita yang bersedia jadi mainan pria itu."Ck. Gitu aja baper, pantesan hamil duluan!" Olok Gevan sambil mendengus kasar."Makanya, jadi cewek itu jangan polos-polos amat, Al! CKamu harus tahu bahwa cuma ada dua tipe cowok di dunia ini, yang brengsek dan brengsek banget! Itulah sebabnya saya nggak doyan sama cowok."Bibir basah Aluna pun semakin mencebik mendengar lawakan garing bosnya. "Ya ya~~ terserah Pak Gevan sajalah!" Cetusnya sambil memutar kedua bola mata bosan."Heh, jangan nggak sopan. Berani kamu memutar bola mata sama bos sendiri?!" Gevan menyentil keras kening Aluna gemas."Lagian Pak Gevan juga nggak peka banget, sih. Udah tahu saya lagi bingung begini bukannya cariin solusi, malah makin dihina!" Sahut gadis itu sambil mengelus-elus keningnya."Kamu sudah lama kerja dengan saya kan? Memang sejak kapan saya pernah peka, hm?" Balas Gevan santai.Iya juga ya. Gevan Ahza Samudra adalah orang yang paling cuek sedunia. Terus ngapain juga Aluna malah curhat sama orang bebal begini? Bodoh!Mungkin Aluna memang sudah terlalu putus asa saja. Gimana enggak? Dia hamil, belum menikah, dan pacarnya pun menolak untuk bertanggung jawab! Bayangan suram pun sudah menantinya sambil dadah-dadah manja di masa depan.Aluna pun kemudian menarik satu napas yang panjang. "Iya sih, saya juga tahu kalau Pak Gevan nggak akan pernah peduli dengan masalah saya. Tapi... makasih ya Pak. Biar bagaimana pun, Pak Gevan sudah berkenan mendengarkan curhat saya," ucapnya sambil tersenyum samar.Aneh sih memang.Padahal yang dilakukan Gevan hanya sedikit saja mendengarkan dan lebih banyak menghina, tapi entah kenapa beban yang bergelayut pundak Aluna kini justru terasa sedikit berkurang. Menumpahkan perasaan dan didengarkan ternyata memang cukup membantu.Dan mungkin juga itulah yang Aluna butuhkan. Seorang pendengar dengan mulut lemes kaya bosnya itu.Untuk beberapa saat, mereka berdua pun terdiam dengan pikiran masing-masing, hingga akhirnya Gevan-lah yang memecahkan keheningan di antara mereka."Terus, planning kamu selanjutnya apa, Al?" tanya lelaki itu sambil menatap lurus Aluna yang masih melamun dan terus menunduk.Tarikan napas panjang kembali mengawali ucapan dari bibir yang dipulas lipstik nude itu. "Saya... mau resign pak. Mau pulang ke Jogja dan sungkem ke orang tua, mau minta maaf sama mereka. Rencana ke depan sih saya mau tinggal di sana saja sambil membesarkan anak ini," tukasnya pelan dengan wajah menunduk dan satu tangan yang mengelus perutnya yang masih datar.Hidung mancung Gevan pun sontak mengerut tak suka mendengarnya. "APA? RESIGN?" Ulangnya kaget."Whoaa... tunggu dulu, Al! Kamu nggak bisa juga dong seenaknya mau resign! Tahu kan kalau ada kebijakan two months notice di kantor kita?!" Protes Gevan tidak terima."Artinya, kamu harus menunggu selama minimal dua bulan setelah surat pengunduran diri resmi kamu diterima oleh HRD, barulah bisa keluar dari perusahaan ini!"Aluna mengangkat wajah dari perutnya untuk menatap Gevan. "Pak... apa nggak bisa kasih dispensasi gitu buat saya? Kalau harus nunggu dua bulan lagi, aduuh... saya malu. Perut hamil saya pasti kelihatan!" tukasnya sambil meringis."Kalaupun misal perutnya nggak kelihatan, pasti bentuk tubuh saya yang nggak bakalan bisa bohong, Pak. Melar nggak jelas karena hamil. Pasti nanti orang-orang jadi curiga," tambah Aluna lagi.Gevan melengos dan menggeleng, tampak tak goyah sama sekalo dengan alasan Aluna. "Nggak. Pokoknya saya nggak mau tahu. Two months notice, atau tidak sama sekali," tegasnya.Aluna buru-buru menyatukan kedua telapak tangannya dengan gestur penuh permohonan. "Paaak... punya empati dikitlaah! Saya akan bayar dendanya kok, karena mangkir dari two months notice! Ya pak? Yaaa, yaa??" Pintanya memelas.Satu alis lebat Gevan pun terangkat mendengar pernyataan sekretarisnya itu yang akan membayar denda. "Memangnya kamu tahu berapa denda yang harus kamu bayar? Hm?""Yaa... nggak tahu sih, Pak. Memangnya berapa?" Tanya Aluna dengan wajah polos."Lima puluh juta. Sanggup?" tukas bosnya dengan nada meremehkan.Mata bening itu pun langsung terbelalak sempurna. LIMA PULUH JUTA??? Gilaaa!Tabungan Aluna saja baru enam puluh lima juta, itu pun ia masih harus berhemat untuk semua keperluan selama hamil, melahirkan, serta keperluan bayinya nanti. Apalagi ia sudah tidak bisa bekerja untuk sementara waktu!"Pak... apa nggak bisa kasih saya keringanan?" tawar Aluna pelan dengan kening yang berkerut gelisah.Gevan pun berdecak pelan mendengarnya. "Ck! Memangnya kamu kira kantor ini pasar, bisa ditawar?"Aluna kembali terdiam dengan jemari yang saling terjalin, pertanda ia sedang cemas karena memikirkan sesuatu."Hm. Kayaknya sekarang kamu nggak jadi mangkir dari two month notice itu, kan?" senyum menyeringai pun terbit di bibir Gevan yang terbelah di bagian tengahnya itu.Dalam hati ia pun bersorak karena usahanya membuahkan hasil. Sebenarnya ia enggan memikirkan Aluna yang akan resign, karena dengan begitu ia harus mencari sekretaris baru.Hah... membayangkan punya sekretaris yang menggantikan Aluna membuat Gevan pusing. Ia tidak suka jika perempuan lain yang akan menjadi sekretarisnya kelak bersikap genit kepadanya.Ia sering risih sendiri jika dipandangi dengan tatapan yang sok-sokan menggoda, apalagi kalau perempuan itu sampai menyentuhnya.Iyuuuh... geli!Itu sebabnya Gevan menyukai Aluna, karena hanya gadis itu yang tidak pernah menggodanya. Kadang-kadang Aluna memang suka bengong dan penuh kekaguman menatap wajah Gevan, tapi gadis itu sama sekali tak pernah bersikap genit.Sementara itu Aluna pun memejamkan matanya dengan pasrah. Ia menyadari kalau mustahil untuk membayar denda sebesar itu, namun tampaknya Aluna memang tak mempunyai pilihan lain.Ia harus resign dalam waktu dekat sebelum semua orang mengetahui dirinya yang tengah mengandung tanpa suami."Sebenarnya saya masih punya satu solusi lagi buat kamu, selain resign yang akan bikin kamu juga lama-lama bakal bangkrut," cetus Gevan tiba-tiba, yang membuat Aluna kembali menatap bosnya itu dengan ekspresi penuh tanya."Memangnya nggak sayang juga kalau kamu resign jadi sekretaris saya, Al? Kamu akan kehilangan sumber penghasilan yang besar. Selain itu... saya akui kalau saya juga pasti kehilangan, karena sudah cocok dengan cara kerja kamu."Memang sih. Gaji Aluna sebagai sekretaris CEO di Samudra Corp. jauh lebih besar dibandingkan dengan jabatan yang sama di perusahaan lain. Tapi..."Terus maksud Pak Gevan soal solusi tadi? Apa itu pak?" Tanya Aluna sedikit tertarik.Gevan pun menyandarkan tubuhnya di dinding toilet sambil mendehem pelan. Mata hazel itu terlihat sangat lekat dan fokus menatap Aluna seakan gadis itu adalah mangsa dan dialah pemangsanya. Bagaikan pemburu dengan hewan buruannya.Gevan sedang memasang perangkap, dan percaya diri kalau Aluna akan memakan umpan lalu terjebak dalam rencananya."Solusinya yaitu... menikah dengan saya," ucap lelaki itu dengan wajah datar tanpa ekspresinya.***"Alunaaaaa!!!""Aaaaaaa!!!" Byuur!! Seketika air di dalam gelas Aluna pun tumpah ke atas keyboard.Aluna sontak melotot menatap Flora, yang sedang berdiri membalas tatapannya sambil nyengir."Asem. Flo!! Ngagetin aja sih!" Sungut Aluna sambil membersihkan air tumpah yang berasal dari gelas yang ia pegang."Maaf ya, Aluna yang cantik. Lagian dari tadi dipanggil-panggil diem aja sih. Malah bengong di depan monitor!" Tukas Flora mengedikkan bahu santai tanpa merasa berdosa sama sekali."Barusan Pak Gevan bilang kalau notulen yang tadi langsung di-print aja. Dia sudah kirim lewat e-mail," cetus asistennya itu memberitahu kepada Aluna. "Loh, kok Pak Gevan nggak langsung bilang ke aku sih?" protes Aluna sebal."Tadi si bos udah telepon, tapi karena Tuan Putri Aluna sedang bengong manja, ya akhirnya hamba-lah yang mengangkat teleponnya," balas Flora dengan penuh kesabaran sambil sambil berdecak pelan.Ooh. Jadi bosnya itu tadi sudah telepon...Hfffhhh... gara-gara Aluna terus teringat deng
"Oh, nggak ada apa-apa, sih. Kalau Bunda lagi di rumah ya bagus. Gevan mau ke rumah Bunda kira-kira setengah jam lagi ya? Mau ngenalin calon mantu...""Aaaahh!!!" Perkataan Gevan pun terputus dan pria itu refleks berteriak, karena Aluna yang tanpa sadar telah mengikat dasinya terlalu kuat hingga lehernya pun tercekik. Di seberang sana, terdengar nada heran bundanya yang bertanya ada apa gerangan yang membuat Gevan tiba-tiba saja berteriak."Oh? Enggak Bund, tadi ada kucing nakal nyakar kaki Gevan. Udah Gevan usir kok," tukasnya sambil mendelik kesal dan menoyor kepala Aluna dengan sadis.Aluna pun hampir saja menjerit dan mengaduh akibat toyoran bar-bar bosnya itu, namun Gevan cepat-cepat menutup mulut sekretarisnya dengan satu tangannya yang bebas.Tatapan dari manik hazel pria itu menyorot tajam ke arah Aluna dengan penuh ancaman, agar gadis itu tidak mengeluarkan suaranya. "Iya, Bun. Kalau begitu Gevan siap-siap dulu. Sampai ketemu di rumah. Bye..." Gevan pun akhirnya mengakhiri s
TOK TOK TOK!!"Buun... please buka pintunya dong?" "NGGAK! Bunda nggak mau buka! Bunda malu punya anak laki-laki yang sudah menghamili anak orang! Mau taruh dimana muka Bunda, Gevan?!" Desti berteriak kesal dari balik pintu kamarnya yang dikunci dari dalam.Gevan menghembuskan napas gusar. Pasti Bunda sedang marah dan kecewa padanya, setelah ia mengatakan kalau Aluna hamil. Tadi saja Bunda langsung melotot menatap Gevan dan Aluna berganti-gantian, membuat kedua orang yang mendapatkan tatapan tajam itu pun otomatis menundukkan kepalanya. Lalu tanpa berucap sepatah kata pun, wanita paruh baya itu beranjak berdiri dan naik ke kamarnya di lantai dua. Ia pun lalu mengurung diri di sana.Gevan akhirnya menyerah dan memilih untuk membiarkan Bundanya yang masih kesal. Padahal ia pun belum sempat menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Gimana, Bunda masih marah, ya?" Tanya Aluna dengan wajah risau, saat Gevan memutuskan untuk turun kembali ke ruang tamu lantai bawah lalu duduk di sofa sa
Tentu saja Aluna ingin melayangkan protesnya atas permintaan bosnya yang sangat tiba-tiba serta nyeleneh itu.Namun sayangnya belum juga ia sempat berucap, bibir pink pucat dengan bagian tengahnya yang terbelah itu malah sudah keburu menyambar bibirnya.Gadis itu pun serta merta terhenyak, terdiam dalam keterpakuannya saat menyadari bahwa... Pak Gevan ternyata benar-benar menciumnya!!Aluna refleks menarik dirinya untuk menjauh, namun ia tak mampu berkutik saat kedua tangan Gevan tengah merangkum wajahnya yang mungil, membuatnya bahkan tak bisa sekedar memalingkan wajah.Awalnya memang terasa aneh, tak wajar, rikuh dan merinding di sekujur badan. Aluna tak bisa menampik semua perasaan yang tengah berkecamuk di dalam dirinya atas kedekatan intensnya dengan Gevan.Bibir yang biasa berucap sinis, ketus, meledek dan mengoloknya dengan kata-kata sadis itu kini malah menyesap bibirnya.Namun... Jika dipikir-pikir lagi, mungkin ada benarnya juga perkataan bosnya ini tadi tentang bagaimana m
"Jadi kamu ngusir aku, Van?" Tanya Adam dengan ekspresi tidak percaya.Gevan tertawa sumbang. "Sudah kubilang kalau Aluna itu calon istriku, Dam! Dan aku juga tidak akan ragu untuk memecat kamu kalau masih juga berusaha mendekati Aluna!"Lalu dengan langkahnya yang panjang dan pasti, Gevan pun bergerak menuju pintu keluar dan langsung membukanya dengan kasar. Tatapan tajamnya kembali terhunus ke arah Adam yang masih berdiri mematung dalam diam."Tunggu apa lagi? Silahkan keluar, Mr. Adam James Wrighton," ucap Gevan dengan nada sedingin es kutub utara.Adam menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas pelan. Tak ada gunanya melawan Gevan yang sedang emosi, itulah yang Adam sadari setelah delapan tahun berteman dengannya.Gevan memang sangat temperamental dan mudah meledak-ledak, apalagi jika sedang emosi. Amarahnya yang berkobar itu ibarat badai besar yang akan menyapu segalanya hingga porak-poranda. Lebih baik jika kita diam dan menyingkir sejauh mungkin daripada ikut hilang
Saat ini Aluna sedang mengobati luka-luka di wajah Gevan akibat pukulan serta tamparan dari ayahnya, Andromeda. Gadis itu benar-benar tidak menyangka kalau mantan bosnya itu bisa sesadis ini memukul putranya sendiri, anak satu-satunya pula!"Apa Pak Andro sering melakukan ini pada Pak Gevan?" Guman Aluna pelan. Ia sebenarnya bermaksud mengatakan kalimat itu hanya di dalam hati, namun tanpa sadar malah terucap pelan dari mulutnya.Namun Gevan yang mendengarnya pun hanya diam saja, sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan itu. Ia tahu kalau Aluna shock melihat sikap kejam ayahnya, karena selama ini pasti yang Aluna tahu hanyalah tentang Andromeda Samudra yang baik hati dan ramah. Aluna menatap dalam-dalam lelaki itu saat ia telah selesai mengobati wajah Gevan."Pak... bolehkan kalau saya bertanya?" Gevan masih diam dan membalas tatapan gadis itu dengan wajahnya yang penuh lebam. "Silahkan saja, tapi aku tidak akan menjawabnya."Kening Aluna pun seketika mengernyit. "Setid
Keesokan harinya, hanya Gevan yang datang ke kantor. Aluna benar-benar dilarang keras untuk bekerja. Selain karena Andro dan Desti khawatir kalau putra mereka itu akan kembali 'menyerang' Aluna seperti semalam, Desti juga ingin mengajak calon menantunya itu mencari oleh-oleh untuk dibawa ke Jogja sebagai buah tangan untuk orang tua Aluna.Ya, besok rencananya Andro dan Desti akan berkunjung ke Jogja dengan tujuan untuk melamar Aluna. "Capek, Lun?" Tanya Desti penuh perhatian, saat mereka sedang melihat-lihat syal sutra yang akan diberikan sebagai oleh-oleh untuk Mamanya Aluna.Aluna menggeleng. "Nggak, Bun. Aluna baik-baik saja, kok," sahutnya sambil tersenyum.Baru kali ini Aluna shopping dengan Desti, dan mereka ditemani oleh Mbak Sella asisten pribadi calon mertuanya itu."Ini Mbak Aluna, jus alpukat dengan gula sedikit." Sella menyodorkan segelas jus ke hadapan Aluna yang hanya bisa garuk-garuk kepala sambil meringis.Masalahnya, sedari tadi Desti terus saja menyuruh Sella memb
"Mas Gevan?!" Aluna benar-benar kaget saat Gevan tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang periksa kebidanan, dan sontak ia pun menjerit. Gimana nggak kaget? Masalahnya tadi itu sebenarnya Aluna dan Gevan sudah mencapai sebuah kesepakatan, kalau yang akan masuk ke dalam ruang periksa dokter ini hanyalah Aluna. Sedangkan Gevan hanya akan menunggunya di luar hingga kandungan Aluna selesai diperiksa. Aluna bahkan sudah merekam diam-diam semua percakapannya dengan dokter kandungan dengan menggunakan ponselnya. Tujuannya adalah agar Gevan dan Bunda bisa mendengar langsung kondisi anak yang ada di kandungan Aluna. Tapi kenapa lelaki ini malah tidak melakukannya sesuai kesepakatan?Aluna pun mendelik menatap Gevan yang dengan santainya berjalan masuk ke dalam, lalu pria itu melemparkan senyum datar pada dokter wanita yang sedang memeriksa Aluna. "Permisi dokter, saya adalah ayah dari janin yang dikandung Aluna. Gimana kondisi anak saya?" Tanya Gevan sambil berjalan ke arah Aluna yang berbar