Lea sudah bersiap untuk tampil menghibur para pengunjung Night-O Club. Dia baru saja selesai berganti kostum saat Grace masuk ke ruangannya.
"Kau tidak akan tampil malam ini," ujar Grace.
Kening Lea berkerut. Wanita yang tengah melilitkan tali di sepanjang kakinya itu menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melanjutkannya lagi hingga tali itu membentuk pola seperti yang dia inginkan.
"Apa maksudmu, Grace? Kau merekrut penari lain?"
Grace menggeleng. "Kau tetaplah penari terbaikku, Lea." Wanita berusia 37 tahun itu mendaratkan pantatnya di meja rias Lea sambil menghisap rokok. "Seseorang membayar mahal agar kau tidak tampil."
Raut wajah Lea menunjukkan keterkejutan. "Siapa?"
Grace mengambil amplop coklat berisi setumpuk uang lalu menjatuhkannya di hadapan Lea. "Itu bagianmu. Dia tidak hanya membayarku, tapi juga membayarmu dengan nilai yang sangat fantastis."
Jemari lentik Lea meraih amplop tersebut lalu mengeluarkan isinya. Kedua mata wanita itu membulat saat melihat nominal yang berkali lipat lebih besar dari penghasilannya semalam dari menari striptis.
"Tutup mulutmu, Lea! Lihat, air liurmu menetes," ejek Grace.
"Sialan!" umpat Lea pada Grace.
Wanita itu memasukkan sejumlah uang tersebut kembali ke dalam amplop. Lalu dia memiringkan tubuhnya, menghadap Grace.
"Katakan, siapa yang membayar sebanyak ini hanya untuk membuatku membatalkan pertunjukan?"
Grace menghisap rokok yang terselip di antara dua jarinya lalu mengembuskan asapnya ke atas. Baru setelah itu, dia menoleh pada Lea.
"Kau tidak akan suka," tukas Grace.
"Katakan!" desak Lea.
"Zen Aberdein," ujar Grace.
Jawaban yang membuat Lea menggertakkan giginya. Sudah satu minggu pria berengsek itu menghilang setelah mengirimkan paket belanjaan yang sengaja Lea tinggalkan di pusat perbelanjaan waktu itu. Dia pikir, pria itu sudah tidak tertarik lagi dengannya. Tapi, tiba-tiba saja pria itu kembali lagi dan mencoba bernegosiasi dengan segepok uang. Hah! Yang benar saja?
"Kembalikan ini pada pria berengsek itu! Aku akan tetap tampil malam ini," ucap Lea seraya menggeser dengan kasar amplop berisi uang tersebut ke arah Grace.
"Apa kau sudah gila? Kau bisa beristirahat, menghabiskan waktumu dengan bersantai di apartemen selama satu bulan dengan uang sebanyak ini, Lea. Aku tidak mau mengembalikannya!" tolak Grace.
Lea bangkit. "Kem-ba-li-kan!" desisnya tepat di depan wajah Grace.
"Tidak!" Grace mendorong bahu Lea menjauh. "Dia sudah membayarku sangat mahal."
"Aku tidak peduli! Dan aku akan tetap tampil malam ini," ujar Lea.
"No, no, no, tidak akan ada panggung untukmu malam ini, Sayang!" ucap Grace sambil menggerakkan telunjuknya ke kanan dan kiri.
"I don't care!" ujar Lea sembari memakai topeng bulu yang selalu dia kenakan saat tampil. Wanita itu melenggang begitu saja keluar dari ruangan, menuju panggung yang setiap dua kali dalam seminggu selalu menjadi tempatnya mencari uang.
"Lea!" panggil Grace.
Manager sekaligus pemilik Night-O Club itu geram dengan sikap Lea yang keras kepala. Dia tidak tahu kenapa Lea terlihat sangat membenci Zen. Tapi yang jelas, jika Lea tampil untuk menari malam ini, dia harus mengembalikan uang yang telah dibayarkan kepadanya. Itu bukanlah ide yang bagus.
Grace menjatuhkan rokok di tangannya ke lantai lalu menginjaknya dengan kasar. Setelah itu, dia segera menyusul Lea.
"Lea sialan!" geram Grace saat melihat Lea sudah naik ke atas panggung yang dijaga oleh tiga pria berbadan besar.
Di depan sana, Lea mulai meliukkan tubuhnya dengan gerakan sensual. Gerakannya begitu lincah, kemampuan menggoda pria dengan tubuh moleknya memang sudah tidak diragukan lagi. Sesekali dia bergelayut pada tiang besi yang ada di tengah panggung. Sembari memutar tubuh dengan bertumpu pada tiang, satu tangan Lea mulai menarik ujung resleting pakaian ketat yang dia kenakan. Suara-suara godaan mulai santer terdengar.
Semakin keras teriakan dan semakin banyak tips yang dilempar, membuat Lea semakin liar.
Sedikit demi sedikit, pakaian yang melekat di tubuh Lea mulai dia tanggalkan, hingga menyisakan bra dan hot pant seksi beserta tali yang melilit dari pangkal paha hingga mata kakinya.
"Kau tidak tahu berapa banyak uang yang kau sia-siakan, Lea," gumam Grace.
Pertunjukan Lea ditutup dengan tepuk tangan riuh dan siulan menggoda dari para penikmat tubuh Lea. Grace sengaja menunggu Lea di ruang pribadinya.
"Kau gila, Lea! Kau bisa membuatku bangkrut hanya untuk mengembalikan uang itu!" hardik Grace begitu Lea masuk ke dalam ruangannya.
Lea menanggapi dengan santai. Dia membuka topeng dan meletakkannya di atas meja lalu duduk di sofa masih dengan pakaian seksinya.
"Tinggal kau kembalikan saja. Apa masalahnya?" ujar Lea enteng.
Grace mengepalkan tangannya, semakin geram dengan tingkah Lea.
"Masalahnya adalah... aku sudah menggunakan uang itu untuk menyewa yacht yang akan kugunakan untuk berlibur bersama Max!"
Lea mengedikkan bahu. "Itu masalahmu."
Wanita itu bangkit lalu berjalan ke meja rias untuk menghapus riasannya.
"Ada apa sebenarnya denganmu, Lea? Katakan padaku, apa yang membuatmu begitu membenci Zen? Bukankah dia sama saja seperti klienmu yang lain? Justru dia lebih baik karena mau membayar mahal hanya untuk satu malam tanpa kau harus melayaninya."
"Aku ...." Lea berhenti menghapus make up lalu terdiam. Kedua matanya menyorot tajam ke arah cermin. "Hanya membencinya."
"Konyol! Itu sangat tidak masuk akal! Paling tidak, berikan aku alasan yang bisa diterima dengan nalar."
"Sudahlah, Grace. Lain kali jangan terima apa pun dari pria itu. Karena aku tidak akan sudi melayaninya."
"Kau bodoh, Lea! Tidak ada satu pun dari klien-klienmu yang berani menyewa jasamu dengan harga sefantastis itu. Pikirkan keuntungan yang bisa kau dapat dengan melayaninya. Dan malam ini, dia membayarmu mahal hanya untuk tidak menari, bukan untuk melayaninya. Bukankah itu sangat bagus?"
"Berhenti mengoceh, Grace! Kepalaku pusing." Lea mengibaskan tangan lalu melanjutkan kegiatannya.
Apa pun yang dikatakan Grace, Lea sengaja menulikan telinganya. Dia fokus membersihkan make up lantas berganti pakaian.
"Apa kau tidak lelah terus mengoceh seperti itu?" komentar Lea saat dirinya sudah bersiap untuk pulang.
"Sekarang aku membencimu, Lea!" desis Grace.
Tidak merasa tersinggung, Lea malah terbahak-bahak. "Kau tidak akan bisa berlama-lama membenciku, Grace. Aku menyayangimu."
Lea menepuk pelan pipi Grace lalu menyambar tas dan meninggalkan ruangan itu dengan Grace yang masih ada di dalamnya. Dia tahu Grace tidak benar-benar membencinya karena Lea adalah sumber uang bagi wanita tersebut. Selain itu juga karena hubungan mereka yang sudah sangat dekat. Grace adalah orang pertama yang menolong Lea saat dirinya berhasil kabur dari Bram. Bagi Lea, Grace sudah seperti kakaknya sendiri.
Lea yang sedang berjalan menuju mobilnya di tempat parkir club, mengambil kunci mobil dari dalam tas. Namun, saat dia hendak membuka pintu kendaraannya itu, tiba-tiba seseorang membekap mulutnya dan menarik wanita itu menjauh dari mobil. Lalu, Lea merasakan tubuhnya dilempar ke dalam sebuah mobil. Oh, itu bukan mobil biasa, melainkan sebuah limosin.
"Akh!" rintih Lea saat tubuhnya menghantam kaki seorang pria di dalam mobil tersebut. Wajahnya nyaris mencium sepatu mengkilap berwarna hitam yang terlihat sangat mahal.
Dengan bertumpu pada tangan, Lea berusaha bangkit. Dia mengangkat wajah, untuk tahu siapa yang duduk di dalam mobil tersebut.
"Kau!"
"Hallo, Sweet Cake," sapa pria itu.
Gerakan mobil yang mulai melaju membuat Lea terjerembab menimpa tubuh bagian bawah Zen karena tubuhnya yang belum seimbang.
"Ah, kau mau menggodaku?" Zen menyeringai saat menangkap tubuh Lea yang menimpa dirinya.
"Lepaskan, Berengsek!" Lea meronta, tapi pria itu begitu kuat menahannya.
"Apa yang kau inginkan?" jerit Lea, namun tak membuat Zen melepaskan dirinya.
Dengan satu tangan saja, Zen mampu membuat Lea tidak berkutik. Lalu, satu tangannya yang lain memegang pipi Lea di kedua sisi, memaksa wanita itu menatapnya. Lea diam, menurut untuk sejenak karena perlawanan yang dia lakukan pun sia-sia.
'Ah, sial! Kenapa dia tampan sekali?' rutuk Lea dalam hati ketika dia berhadapan dengan jarak yang amat dekat dengan pria itu.
"Uang, bukan? Kau melakukan pekerjaan untuk uang. Aku telah membayarmu mahal untuk tidak tampil malam ini, tapi kau tetap melakukannya. Apa jumlah itu masih kurang, hm?"
"Aku tidak butuh uangmu, Berengsek! Lepaskan aku!"
Pria itu menggeleng sambil tersenyum jahat. "Aku akan melepaskanmu jika kita sudah sampai di tempat yang kita tuju," ucapnya.
"Tempat apa? Aku tidak mau pergi!"
"Tempat kerjamu yang baru."
Mata Lea membulat. 'Apa maksud pria ini?' batin Lea.
"Karena kau telah melawan perintahku, maka kau harus menerima hukuman." Pria itu mendekatkan bibirnya pada telinga Lea lalu berbisik, "Kau akan bekerja untukku."
***
tbc.
Sepanjang perjalanan ke tempat yang dimaksud Zen, Lea hanya duduk sambil menatap nyalang pada pria tersebut. Wanita itu sama sekali tidak tahu ke mana tujuan Zen."Aku akan membayarmu. Katakan saja berapa yang kau mau," ujar Zen.Pria itu tampak sangat tenang. Entah apa pekerjaannya, tapi Lea bisa melihat kalau uang bukanlah sesuatu yang berarti untuk Zen."Aku tidak menginginkan uangmu, Berengsek!" tolak Lea mentah-mentah.Jika bukan karena apa yang telah dilakukan Zen padanya, bisa jadi sekarang Lea akan dengan senang hati menyebut nominal yang dia inginkan. Namun, dengan sejarah pertemuan mereka, wanita itu tidak akan sudi menerima uang dari pria tersebut.Zen terkekeh. Meski berkali-kali Lea mengumpat di depan wajahnya, pria itu tetap terlihat santai. Lea bukan wanita bodoh. Bertahun-tahun hidup dengan ayah tirinya, membuat Lea sedikit banyak memahami karakter pria yang berhadapan deng
Entah sudah berapa kali Lea menggedor pintu kayu yang tertutup rapat sejak Zen meninggalkan kamar tersebut. Berteriak, memaki, dan mengumpat hingga pita suaranya nyaris robek, semua terasa sia-sia. Tidak ada seorang pun yang mau mendengarnya."Berengsek! Buka pintunya!" Teriakan dan gedoran kesekian yang tidak mendapat respons.Kelelahan melakukan aksinya, tubuh Lea merosot ke lantai. Punggungnya beradu dengan pintu kayu yang terasa dingin hingga menembus tulang. Untuk pertama kalinya semenjak berhasil melarikan diri dari Bram, wanita itu sangat ingin menumpahkan air mata.Terkurung di dalam kamar tersebut rasanya seperti mengalami dejavu. Bagaimana dia menghabiskan waktu selama bertahun-tahun dengan siksaan tanpa ampun dari ayah tirinya. Wanita itu menundukkan kepala sambil menutup telinga. Gelegar suara Bram seolah datang kembali. Semakin lama, suara itu terdengar semakin nyaring. Lalu, sabetan ikat pinggang berbahan kulit yang be
Secepatnya Lea menundukkan kepala saat Clint berjalan mendekat. Wanita itu sengaja membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, takut jikalau Clint akan mengenali dirinya.Clint duduk di tepi ranjang, di sebelah kaki Lea yang terbungkus selimut."Biarkan aku memeriksa kondisimu," ujar Clint.Tidak seperti tadi yang begitu menggebu untuk meronta. Ketika Clint memeriksa kondisinya, Lea mendadak bisu. Wanita itu tidak mengatakan apa pun dan hanya menurut ketika Clint memintanya melakukan sesuatu, kecuali menunjukkan wajahnya."Siapa namamu?" tanya Clint seusai memeriksa kondisi Lea.Wanita itu masih menunduk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab."Baiklah." Clint menghela napas.Masih tidak ada respons apa pun dari Lea. Wanita itu membungkam mulutnya rapat-rapat, membuat Clint harus berupaya lebih keras untuk bicara dengan wanita tersebut.
Setelah dua hari, kondisi Lea sudah kembali pulih. Bukan hanya kesehatan Lea saja yang dipulihkan. Zen juga selalu memastikan bahwa wanita yang dia sewa benar-benar bersih. Termasuk pemasangan alat kontrasepsi, karena Zen tidak ingin benihnya tumbuh di dalam rahim wanita sewaannya. Zen juga sudah memenuhi lemari di kamar Lea dengan berbagai macam pakaian sesuai dengan selera pria tersebut."Apa ada yang salah dengan dirimu?" tanya Clint saat sedang melakukan general check up pada Zen."Tidak pernah ada yang salah dengan diriku. Apa aku perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatanku?" Zen balas bertanya pada dokter pribadinya tersebut.Clint mengangkat bahu. "Tidak ada. Hanya saja ... tidak biasanya kau menyewa wanita lebih dari tiga hari. Aku hanya ... heran," jawab Clint."Maksudmu wanita itu?" Zen mendengkus pelan. "Dia bahkan belum pernah sama sekali melayaniku.""Benarkah?" Pertanyaan yang
Bosan? Jelas! Sudah hampir satu bulan Lea terkurung di mansion Zen. Namun, belum sekali pun pria itu meminta untuk dilayani seperti yang pernah dia katakan sebelumnya. Bukan karena Lea juga menginginkan Zen, melainkan karena Lea ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.Lelah memberontak, Lea akhirnya pasrah. Jika memang dia harus melayani pria tersebut untuk bisa terbebas dari Zen, maka dia akan melakukannya."Aku tahu Grace sangat menyebalkan, tapi aku benci saat harus mengakui kalau aku merindukannya," ujar Lea bermonolog.Lea bertanya-tanya dalam hati, apakah Grace saat ini sedang mencarinya karena mangkir dari pekerjaan? Jika memang begitu, Lea sangat berharap bahwa Grace akan menemukan dirinya di sarang penyamun itu.Lea menghela napas. Sejak pagi, dia hanya duduk di dekat jendela untuk melihat hutan belantara yang berada di belakang mansion. Lalu, tiba-tiba pintu kamar Lea dibuka dari luar. Wanita itu berp
Mereka berhenti di tempat yang dimaksud oleh Clint, tepatnya di taman anggrek. Seperti yang dikatakan oleh pria itu, hampir seluruh bunga di ruangan beratap kaca tersebut mekar. Berbagai macam warna dari berbagai macam anggrek yang berbeda terlihat begitu harmonis. Indah sekali."Ini cantik sekali," ujar Lea takjub. Dia sudah lupa dengan pertanyaannya tentang Zen. Wanita itu berlari kecil menghampiri anggrek-anggrek itu sambil tersenyum lebar."Aku tidak menyangka jika pria seberengsek dia memiliki taman seindah ini," ujarnya lagi."Watch your mouth, My Lady!" Clint memberi peringatan sambil tersenyum tipis."Whatever! Dia bahkan tidak marah saat aku mengumpat di depan wajahnya. So ... apa bedanya kalau aku mengumpat di belakangnya? Karena dia memang seberengsek itu!" balas Lea.Tak diduga, ucapan Lea mendapat tawa keras dari Clint."Kau terus terang sekali." Pria itu masih tertawa dan baru berhenti beberapa saat kemudian. "Kau tahu? Biasanya, dia akan menghabisi siapa saja yang menyin
Suasana berubah hening untuk beberapa saat. Clint masih menatap Lea tanpa ekspresi. Lea sendiri terpaku pada pria yang duduk di sampingnya itu. Lantas, wanita itu mengalihkan pandangan ke arah anggrek yang ada di hadapannya."Apa maksudmu, Dokter? Apa yang kau bicarakan?" Lea berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Clint.Clint terkekeh. Lantas ikut mengarahkan pandangannya ke depan."Aku tidak akan mempermasalahkan masa lalu, Lea. Aku hanya penasaran, dari siapa kau melarikan diri," tutur Clint.Wajah wanita itu tampak mengeras. Urat di pelipisnya berkedut. Dia tampak tidak suka Clint membahas masa lalunya."Apa Zen mengetahui hal ini? Tentang siapa dirimu di masa lalu?" selidik Clint."Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Dokter! Aku lelah, aku ingin kembali ke kamar," ujar Lea seraya berdiri."Tunggu!" Dengan sigap, Clint menahan tangan wanita i
Mata cekung dengan iris segelap langit malam itu menatap tajam pada Lea. Tetesan darah dari luka di kening pria itu mengalir melewati alis dan kelopak matanya. Namun, tidak sedikit pun rasa sakit yang tergambar di wajah pria tersebut.Tubuh Lea yang gemetar itu goyah. Nyaris saja wanita tersebut ambruk dan tubuhnya membentur lantai andai saja Zen tidak sigap menangkapnya. Lalu, dengan kedua tangannya, Zen mengangkat tubuh Lea dan membaringkan wanita itu di atas ranjang. Beruntung kaki pria itu masih terbungkus sepatu kulit berkualitas premium yang tampak sangat mengkilap. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena sepatu itu dapat melindungi kaki Zen dari pecahan vas dan kaca yang nyaris memenuhi lantai kamar tersebut."Emosimu sedang labil. Istirahatlah," ujar Zen.Lea terdiam dengan bulir bening yang perlahan meloloskan diri dari ujung matanya. Dia pikir Zen akan marah karena Lea telah membuatnya terluka. Tapi nyatanya, pria it