Share

BAB 6: "Antara Alana, Lio, dan Riana"

Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar. 

"Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?! 

"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan. 

Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku? 

Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.

Aku memalingkan wajahku dengan cepat saat mata kami bertatapan, sengaja menghindarinya, "Saya tidak mengenal anda," kataku berusaha tidak peduli.

"Apa kau yakin? Kau yakin tidak mengenaliku?" 

Saat aku menolehkan kepalaku lagi tampaklah wajahnya yang sudah berurai air mata. Dia tampak putus asa, ya wajar saja. Apalagi dia tidak tahu mengenai apapun soal dunia ini. 

Setidaknya di sini Alana dari dalam novel memiliki keluarga yang hangat dan juga sangat menyayanginya. Sehingga aku tidak begitu kesulitan. Lalu bagaimana dengan keluarga Lio, apa dia bahkan memiliki keluarga? Apakah dia juga salah satu tokoh di novel dan tertukar seperti diriku?

"Saya didiagnosis oleh dokter lupa ingatan. Tidak mungkin saya mengenali anda, karena saya juga tidak mengenali keluarga saya sendiri." Aku menghela nafasku pendek. Hari nuraniku berkata untuk memberitahunya yang sebenarnya, tapi kalau aku mengingat apa yang dia perbuat padaku dulu membuat rasa iba itu menguap begitu saja. 

"Jadi tolong, jangan usik saya lagi." Kataku dingin. 

Dia tampak sedikit tersentak. Aku yakin, sekarang dia tidak memiliki harapan untuk tetap berada di dunia ini. Jadi karena itu kumohon untuk pergi dari pandanganku. 

Lio menatapku dengan tatapan nya yang terluka dan putus asa, "Kalau begitu saya minta maaf karena telah mengusik anda," Gumamnya lalu berbalik dan meninggalkan ruang inapku. 

Tubuhku langsung terhempas ke belakang. Rasanya tegang sekali sampai-sampai sekarang tubuhku tiba-tiba lemas. 

Ingatan buruk mengenai Lio, aku, dan Riana kini berlalu-lalang di otak. Kapan ya kejadiannya, dua tahun lalu? Atau tiga tahun lalu? Yang jelas saat itu kami bertiga masih mengenakan seragam sekolah menengah pertama dan juga ketika jerawat belum menjamah wajahku.

Aku masih ingat dengan jelas ketika dimana hari sial yang mendatangkan hari-hari sial lainnya untukku itu. 

"Alana, apa kau tidak bisa menjawabku dengan jujur?" Riana melipat tangannya di depan dada dan menatapku tajam. 

Aku yang tak mengerti apa maksudnya pun menggeleng pelan, "Maksudmu apa?" 

Amarah semakin terlihat di wajah cantik gadis itu. Aku tahu dia memang pemarah, tapi tidak ku sangka dia akan mendorongku secara tiba-tiba di kelas yang masih berisi banyak siswa ini. 

"Tidak usah berpura-pura lugu!" Teriaknya marah. 

Kepalaku mendadak penuh. Kenapa Riana tiba-tiba seperti ini padaku? Apa salahku padanya? 

Kini kurasakan pandangan-pandangan menusuk yang mengarah pada kami berdua. Entah sejak kapan semua orang sudah berkumpul disekitar kami, membentuk lingkaran dengan aku dan Riana yang menjadi pusat atensinya. 

Tidak ingin menjadi pusat perhatian, aku pun menarik tangan Riana untuk keluar. 

"Ayo, kita bicara saja di luar. Kita menjadi tontonan orang-orang." 

Tapi Riana malah menepis tanganku dengan kasar, "Jangan menyentuhku, perempuan munafik!" 

"Kita berbicara saja di sini. Biar semua orang tahu mengenai kemunafikan mu!" Lanjutnya dengan suara lantang. 

Bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa terdengar menyalahkan Riana yang seperti ingin mencari perhatian, beberapa lainnya juga menghinaku tanpa tahu sebenarnya ada apa. 

"Apa maksudmu aku munafik?" 

"Kau bilang padaku kalau kau tidak menyukai Lio, tapi di belakangku kau sering pergi berkencan dengannya! Apalagi namanya kalau bukan munafik?" 

Tenggorokanku tercekat, "Aku tidak berkencan dengannya! Aku memang tidak menyukai Lio!" 

Secepat kilat tangan Riana menampar pipiku. Semua orang langsung terdiam tak terkecuali aku. 

"Riana! Jangan keterlaluan!" Teriakku setelah bangkit dari keterkejutan. 

"Apa?!" 

Nafas kami sama-sama memburu karena emosi yang menguasai diri kami masing-masing. 

Aku kembali bersuara ketika kurasakan emosiku mulai stabil, "Aku sudah mengatakannya padamu aku tidak menyukai Lio. Aku melakukan segalanya untuk mu, Riana. Karena kau adalah sahabatku yang berharga! Sama sekali tidak ada niat untukku merebut Lio darimu!" 

"Apa kau akan menyerahkannya padaku?" 

"Tentu saja!"

"Bahkan jika Lio lebih memilihmu ketimbang aku?" 

Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. 

"Ya," 

"Apa maksudmu?" Aku menoleh saat mendengar suara seorang laki-laki di antara kami. 

Sejak itulah penderitaan ku dimulai. Ah, atau mungkin dari sebelum-sebelumnya sudah menjadi bibit penderitaan yang kutumpuk sehingga berhasil membuahkan penderitaan yang lebih besar. 

"Sudah selesai berbicara?" 

Suara berat Adnan membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh menatap wajah seriusnya. 

Malas melihat wajahnya itu, aku pun kembali menatap ke jendela, "Seperti yang kau lihat," ucapku acuh tak acuh. 

Helaan nafas panjang terdengar, "Kau benar-benar tak mengenalinya?" 

"Apa kau ingin mendengar jawaban lain selain tidak?" 

"Dia keluar sambil menangis, Alana. Apa kau ingin terus menyangkal bahwa kalian tidak saling kenal?" 

"Lalu?" Aku menatap tajam Adnan yang masih berdiri di ambang pintu. Emosi yang sempat surut kembali menguasai diriku, "Apa itu akan mengubah fakta kalau aku tidak mengingat apapun?" 

"Aku tidak mengenalnya, Adnan. Aku tidak mengenalnya!" 

Nafasku memburu. Aku sangat marah sekarang dan juga sangat sensitif. Perkataan Adnan yang terus mendesak ku itu sangat menyebalkan! Tidak bisakah dia mengerti aku sedang sensitif?

Baiklah, sekarang tarik nafas perlahan dan hembuskan. Aku harus tenang, aku tidak boleh emosi disaat seperti ini. 

Disaat aku sudah merasa tenang, aku menatap wajah Adnan yang mengeras. Seketika aku membeku melihat itu. Dia tampak menyeramkan. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia pergi meninggalkan ruang inap ku. Tampaknya dia kecewa pada kata-kata bernada tinggi yang meluncur dari mulutku. 

Dan tanpa dapat dicegah, aku pun merasa bersalah. Lagipula, kenapa dia terus mendesak ku untuk menjawab pertanyaan sulit? Seharusnya dia terima saja fakta bahwa aku lupa ingatan dan tidak mengingat apapun tentang dunia ini, walau sebenarnya aku hanya merasuki tubuh adiknya dan tidak tahu apapun mengenai Alana dari dunia ini.

Ah, tidak tahulah! Aku kesal padanya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status