Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar.
"Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?!
"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan.
Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku?
Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.
Aku memalingkan wajahku dengan cepat saat mata kami bertatapan, sengaja menghindarinya, "Saya tidak mengenal anda," kataku berusaha tidak peduli.
"Apa kau yakin? Kau yakin tidak mengenaliku?"
Saat aku menolehkan kepalaku lagi tampaklah wajahnya yang sudah berurai air mata. Dia tampak putus asa, ya wajar saja. Apalagi dia tidak tahu mengenai apapun soal dunia ini.
Setidaknya di sini Alana dari dalam novel memiliki keluarga yang hangat dan juga sangat menyayanginya. Sehingga aku tidak begitu kesulitan. Lalu bagaimana dengan keluarga Lio, apa dia bahkan memiliki keluarga? Apakah dia juga salah satu tokoh di novel dan tertukar seperti diriku?
"Saya didiagnosis oleh dokter lupa ingatan. Tidak mungkin saya mengenali anda, karena saya juga tidak mengenali keluarga saya sendiri." Aku menghela nafasku pendek. Hari nuraniku berkata untuk memberitahunya yang sebenarnya, tapi kalau aku mengingat apa yang dia perbuat padaku dulu membuat rasa iba itu menguap begitu saja.
"Jadi tolong, jangan usik saya lagi." Kataku dingin.
Dia tampak sedikit tersentak. Aku yakin, sekarang dia tidak memiliki harapan untuk tetap berada di dunia ini. Jadi karena itu kumohon untuk pergi dari pandanganku.
Lio menatapku dengan tatapan nya yang terluka dan putus asa, "Kalau begitu saya minta maaf karena telah mengusik anda," Gumamnya lalu berbalik dan meninggalkan ruang inapku.
Tubuhku langsung terhempas ke belakang. Rasanya tegang sekali sampai-sampai sekarang tubuhku tiba-tiba lemas.
Ingatan buruk mengenai Lio, aku, dan Riana kini berlalu-lalang di otak. Kapan ya kejadiannya, dua tahun lalu? Atau tiga tahun lalu? Yang jelas saat itu kami bertiga masih mengenakan seragam sekolah menengah pertama dan juga ketika jerawat belum menjamah wajahku.
Aku masih ingat dengan jelas ketika dimana hari sial yang mendatangkan hari-hari sial lainnya untukku itu.
"Alana, apa kau tidak bisa menjawabku dengan jujur?" Riana melipat tangannya di depan dada dan menatapku tajam.
Aku yang tak mengerti apa maksudnya pun menggeleng pelan, "Maksudmu apa?"
Amarah semakin terlihat di wajah cantik gadis itu. Aku tahu dia memang pemarah, tapi tidak ku sangka dia akan mendorongku secara tiba-tiba di kelas yang masih berisi banyak siswa ini.
"Tidak usah berpura-pura lugu!" Teriaknya marah.
Kepalaku mendadak penuh. Kenapa Riana tiba-tiba seperti ini padaku? Apa salahku padanya?
Kini kurasakan pandangan-pandangan menusuk yang mengarah pada kami berdua. Entah sejak kapan semua orang sudah berkumpul disekitar kami, membentuk lingkaran dengan aku dan Riana yang menjadi pusat atensinya.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian, aku pun menarik tangan Riana untuk keluar.
"Ayo, kita bicara saja di luar. Kita menjadi tontonan orang-orang."
Tapi Riana malah menepis tanganku dengan kasar, "Jangan menyentuhku, perempuan munafik!"
"Kita berbicara saja di sini. Biar semua orang tahu mengenai kemunafikan mu!" Lanjutnya dengan suara lantang.
Bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa terdengar menyalahkan Riana yang seperti ingin mencari perhatian, beberapa lainnya juga menghinaku tanpa tahu sebenarnya ada apa.
"Apa maksudmu aku munafik?"
"Kau bilang padaku kalau kau tidak menyukai Lio, tapi di belakangku kau sering pergi berkencan dengannya! Apalagi namanya kalau bukan munafik?"
Tenggorokanku tercekat, "Aku tidak berkencan dengannya! Aku memang tidak menyukai Lio!"
Secepat kilat tangan Riana menampar pipiku. Semua orang langsung terdiam tak terkecuali aku.
"Riana! Jangan keterlaluan!" Teriakku setelah bangkit dari keterkejutan.
"Apa?!"
Nafas kami sama-sama memburu karena emosi yang menguasai diri kami masing-masing.
Aku kembali bersuara ketika kurasakan emosiku mulai stabil, "Aku sudah mengatakannya padamu aku tidak menyukai Lio. Aku melakukan segalanya untuk mu, Riana. Karena kau adalah sahabatku yang berharga! Sama sekali tidak ada niat untukku merebut Lio darimu!"
"Apa kau akan menyerahkannya padaku?"
"Tentu saja!"
"Bahkan jika Lio lebih memilihmu ketimbang aku?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Ya,"
"Apa maksudmu?" Aku menoleh saat mendengar suara seorang laki-laki di antara kami.
Sejak itulah penderitaan ku dimulai. Ah, atau mungkin dari sebelum-sebelumnya sudah menjadi bibit penderitaan yang kutumpuk sehingga berhasil membuahkan penderitaan yang lebih besar.
"Sudah selesai berbicara?"
Suara berat Adnan membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh menatap wajah seriusnya.
Malas melihat wajahnya itu, aku pun kembali menatap ke jendela, "Seperti yang kau lihat," ucapku acuh tak acuh.
Helaan nafas panjang terdengar, "Kau benar-benar tak mengenalinya?"
"Apa kau ingin mendengar jawaban lain selain tidak?"
"Dia keluar sambil menangis, Alana. Apa kau ingin terus menyangkal bahwa kalian tidak saling kenal?"
"Lalu?" Aku menatap tajam Adnan yang masih berdiri di ambang pintu. Emosi yang sempat surut kembali menguasai diriku, "Apa itu akan mengubah fakta kalau aku tidak mengingat apapun?"
"Aku tidak mengenalnya, Adnan. Aku tidak mengenalnya!"
Nafasku memburu. Aku sangat marah sekarang dan juga sangat sensitif. Perkataan Adnan yang terus mendesak ku itu sangat menyebalkan! Tidak bisakah dia mengerti aku sedang sensitif?
Baiklah, sekarang tarik nafas perlahan dan hembuskan. Aku harus tenang, aku tidak boleh emosi disaat seperti ini.
Disaat aku sudah merasa tenang, aku menatap wajah Adnan yang mengeras. Seketika aku membeku melihat itu. Dia tampak menyeramkan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia pergi meninggalkan ruang inap ku. Tampaknya dia kecewa pada kata-kata bernada tinggi yang meluncur dari mulutku.
Dan tanpa dapat dicegah, aku pun merasa bersalah. Lagipula, kenapa dia terus mendesak ku untuk menjawab pertanyaan sulit? Seharusnya dia terima saja fakta bahwa aku lupa ingatan dan tidak mengingat apapun tentang dunia ini, walau sebenarnya aku hanya merasuki tubuh adiknya dan tidak tahu apapun mengenai Alana dari dunia ini.
Ah, tidak tahulah! Aku kesal padanya!
Adnan tidak kembali ke kamar inap ku, bahkan ketika malam sudah berganti menjadi pagi. Apa dia semarah itu kepadaku?Ya, suasana di kamar inap ini semakin sepi tanpa ada dirinya. Karena dia yang selalu mengoceh di antara canggungnya suasana keluarga ini karena aku."Kau bertengkar ya dengan kakakmu?"Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu dari ibu–maksudku bibi, membuatku terkejut. Pantas saja sedari tadi dia menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan dan penasaran, ternyata ada yang ingin dia tanyakan."Tidak, kok!" Elak ku dengan cepat.Ibu, ah maksudku bibi–ini karena aku terbiasa memanggilnya ibu, tapi kalau aku memanggilnya bibi pasti dia akan langsung murung–tersenyum miring, "Kalian bertengkar karena apa?""Kubilang kami tidak bertengkar." Kurasa inilah yang dimaksud dengan insting tajam seorang ibu, meskipun aku bukan an
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia
Aku tidak bisa fokus selama proses pembelajaran. Bukan hanya karena banyak pelajaran yang harus kukejar, tetapi juga Lio yang ternyata sekelas denganku.Helaan nafas panjang kuhembuskan. Cobaan macam apa lagi ini? Tak ku sangka kehidupan ku sebagai Alana dari dalam novel sebercanda ini."Alana? Kenapa kau melamun?"Aku mengerjapkan mataku cepat dan langsung menoleh ke sumber suara, "Ah? Maaf. Kau bilang apa?"Hah... Lagi-lagi aku melamun."Kau ingin makan apa? Biar aku pesankan dan kau yang menjaga meja." Yunna mengulang ucapannya sambil menunjuk pintu kantin.Kami berdua sedang berjalan menuju kantin, karena memang sudah waktunya untuk istirahat pertama."Aku ingin minum jus jeruk saja." Kataku kemudian menyerahkan uang pada Yunna.Yunna mengangguk mengerti, "Baiklah, t
"Perhatikan,"Kami berempat mengikuti ucapan Rei yang terdengar misterius serta jahil. Aku tidak tahu apa yang akan anak itu perbuat tapi tampaknya ketiga orang lain yang duduk di meja yang sama denganku ini paham dengan apa yang akan Rei lakukan dengan membawa jus jeruk ku. Karena mereka bertiga cekikikan geli."Apa yang akan dia lakukan?" Tanyaku penasaran pada mereka.Terry tersenyum miring, "Kau ikuti saja katanya. Dia kan menyuruh kita untuk memperhatikannya.""Yang dikatakan Terry benar, Alana. Kau perhatikan saja tingkah anak tengil itu." Bianca menyambung ucapan Terry. Gadis itu bersidekap dan menatap serius Rei. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti apa kata mereka.Rei berjalan di antara ramainya murid-murid yang sedang mengantri untuk membeli makanan di jadwal istirahat yang singkat ini. Dia tampak sedang menuju pada seseorang.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai harus berbicara di sini?" Tembakku langsung saat kami sudah berada di atap, dimana tidak akan ada seorangpun yang akan mendengar percakapan kami. Bukan aku yang meminta untuk berbicara di sini, melainkan Lio. Garis wajah Lio mengeras dan membuatku yakin dia sekarang sedang menahan diri untuk tidak berteriak marah. "Kau berteman dengan anak itu?" Suara Lio terdengar dingin ketika memasuki gendang telingaku. Aku sempat gentar karena takut, tapi aku harus tetap terlihat kuat. Aku melipat tangan ku di depan dada, berpura-pura angkuh, "Memangnya ada masalah kalau aku berteman dengannya?" Lio tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan melainkan suara tawa yang terdengar begitu menghina, mengejek, serta merendahkan. "Jadi kau benar-benar b