Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?
Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.
Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?
"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.
Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia
Aku tidak bisa fokus selama proses pembelajaran. Bukan hanya karena banyak pelajaran yang harus kukejar, tetapi juga Lio yang ternyata sekelas denganku.Helaan nafas panjang kuhembuskan. Cobaan macam apa lagi ini? Tak ku sangka kehidupan ku sebagai Alana dari dalam novel sebercanda ini."Alana? Kenapa kau melamun?"Aku mengerjapkan mataku cepat dan langsung menoleh ke sumber suara, "Ah? Maaf. Kau bilang apa?"Hah... Lagi-lagi aku melamun."Kau ingin makan apa? Biar aku pesankan dan kau yang menjaga meja." Yunna mengulang ucapannya sambil menunjuk pintu kantin.Kami berdua sedang berjalan menuju kantin, karena memang sudah waktunya untuk istirahat pertama."Aku ingin minum jus jeruk saja." Kataku kemudian menyerahkan uang pada Yunna.Yunna mengangguk mengerti, "Baiklah, t
"Perhatikan,"Kami berempat mengikuti ucapan Rei yang terdengar misterius serta jahil. Aku tidak tahu apa yang akan anak itu perbuat tapi tampaknya ketiga orang lain yang duduk di meja yang sama denganku ini paham dengan apa yang akan Rei lakukan dengan membawa jus jeruk ku. Karena mereka bertiga cekikikan geli."Apa yang akan dia lakukan?" Tanyaku penasaran pada mereka.Terry tersenyum miring, "Kau ikuti saja katanya. Dia kan menyuruh kita untuk memperhatikannya.""Yang dikatakan Terry benar, Alana. Kau perhatikan saja tingkah anak tengil itu." Bianca menyambung ucapan Terry. Gadis itu bersidekap dan menatap serius Rei. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti apa kata mereka.Rei berjalan di antara ramainya murid-murid yang sedang mengantri untuk membeli makanan di jadwal istirahat yang singkat ini. Dia tampak sedang menuju pada seseorang.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku sampai harus berbicara di sini?" Tembakku langsung saat kami sudah berada di atap, dimana tidak akan ada seorangpun yang akan mendengar percakapan kami. Bukan aku yang meminta untuk berbicara di sini, melainkan Lio. Garis wajah Lio mengeras dan membuatku yakin dia sekarang sedang menahan diri untuk tidak berteriak marah. "Kau berteman dengan anak itu?" Suara Lio terdengar dingin ketika memasuki gendang telingaku. Aku sempat gentar karena takut, tapi aku harus tetap terlihat kuat. Aku melipat tangan ku di depan dada, berpura-pura angkuh, "Memangnya ada masalah kalau aku berteman dengannya?" Lio tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan melainkan suara tawa yang terdengar begitu menghina, mengejek, serta merendahkan. "Jadi kau benar-benar b
"Kau mengenal Adelio?"Aku mengalihkan wajahku dari tatapan dinginnya yang menusuk.Panik mulai menyerang ku. Apa yang harus kujawab mengenai pertanyaannya yang terdengar mengintimidasi itu?Aku menarik dan menghembuskan nafasku berulang kali. Tidak, Alana. Di saat seperti ini kau harus tetap tenang.Perlahan kutolehkan wajahku dengan senyuman tipis padanya, "Apa maksudmu, Rei? Aku kan tidak mengingat apapun. Bagaimana bisa aku mengenali laki-laki itu?" Dalihku."Benarkah?"Rei masih tampak mencurigai ku. Tapi aku tidak boleh terlihat gugup."Tentu saja. Bukankah seharusnya aku yang bertanya mengapa kau menyebut-nyebut namaku saat bertengkar dengannya?" Balasku berusaha tenang. Aku sudah mengatur suaraku setenang mungkin, semoga dia tidak curiga. Untung saja aku mengingat itu untuk dijadikan alasa
Suara piring beradu dengan sendok mengisi kekosongan di antara aku dan Lio. Ah, tidak, maksudku di antara aku, Lio, dan Adnan. Ya! Adnan duduk di tengah-tengah kami! Tapi tak apa, aku tak merasa canggung. Malah aku merasa bersyukur karena Adnan ada di antara kami, jadi aku tidak perlu begitu canggung hanya duduk berdua dengan Lio. "Aku sudah selesai," ucap Lio canggung. Dalam hati aku menikmati momen ini. Ada bagusnya dia bersikap seperti ini ketika melihatku di sekolah, pasti dia akan menghindari ku karena terlalu canggung. Adnan masih menatap Lio tajam, mungkin karena itu Lio memalingkan matanya dari Adnan. "Kau mau langsung pulang?" Adnan bertanya dengan nada yang tidak bisa dikatakan ramah. Kalau Adnan bersikap begini, dia benar-benar terlihat seperti kakak yang baik. Hm, tidak cocok. Kuliha
Angin malam yang dingin menusuk kulitku yang hanya memakai kaus dan kardigan tipis. Awan hitam tampak jelas berkumpul menjadi satu di atas sana, pertanda bahwa sebentar lagi akan hujan yang membuatku kini berjalan dengan cepat.Aku mendongak kala mendapati setetes air jatuh dari langit yang mendarat mulus di dahi penuh jerawatku. Lalu disusul dengan tetesan-tetesan air lainnya.Aku memejamkan mata kesal. Ah! Seharusnya aku membawa payung seperti yang disuruh ibuku tadi.Aku berlari secepat mungkin sambil melindungi buku novel yang baru saja kubeli bersamaan dengan hujan yang mulai turun dengan derasnya. Yah, aku tak bisa menghindar jadi seluruh tubuhku dibasahi oleh air. Tapi aku bersyukur karena kini jarakku dengan rumah hanya tinggal sepuluh meter. Setelah sampai di depan pagar, aku menekan password rumahku dan buru-buru membuka pintu rumah.Tetapi aku terdiam di depan pintu. Tanganku yang tadi sudah bersiap untuk membuka pintu,