Imelda mengangkat gelang itu di udara sambil menatapku dengan senyum penuh kebencian. "Semakin kamu peduli, semakin ingin aku menghancurkannya. Siapa suruh kamu jadi pelakor dan menghancurkan keluargaku!"
Begitu kata-katanya selesai, dia melepaskan gelang itu dari tangannya. Aku berteriak, "Jangan!"
Seiring dengan suara benturan, gelang itu jatuh ke tanah dan pecah berkeping-keping. Seluruh tubuhku bergetar karena marah. Yang menyakitkan bukanlah nilai gelang itu, tetapi makna yang tersimpan di baliknya.
Sejak kecil, karena orang tuaku sangat sibuk, aku dibesarkan oleh nenekku. Dua tahun yang lalu, nenek meninggal dan gelang ini adalah pemberiannya di saat-saat terakhirnya. Memakai gelang itu membuatku merasa seperti nenek masih berada di sisiku.
Sekarang gelang itu sudah hancur! Satu-satunya kenanganku pun hilang.
Dengan mata memerah, aku menatap Imelda dan teman-temannya dengan gigi gemeretak saat berkata, "Kalian akan menyesal! Bahkan kalau nanti kalian berlutut memohon ampun padaku sampai kepala kalian berdarah, aku nggak akan pernah memaafkan kalian. Tak satu pun dari kalian akan lolos!"
Imelda menunjukkan ekspresi penuh kebencian.
"Teman-teman, lihatlah si jalang ini masih saja mengeyel. Harus diberi pelajaran sampai dia patuh!"
Karena kejadiannya di pinggir jalan, ada banyak sekali orang yang menonton. Aku meminta bantuan pada mereka, tapi mereka hanya berpangku tangan menyaksikan kejadian ini. Aku merasa sangat putus asa.
Agar bisa lebih puas memukuliku, Imelda dan teman-temannya menyeretku ke gang kecil di samping. Di tempat sepi itu, tindakan mereka semakin brutal dan tak terkendali. Mereka mulai menarik-narik pakaianku.
Aku mencengkeram erat ujung pakaianku. Untungnya, ini musim dingin dan aku mengenakan mantel tebal serta sweter di dalamnya, jadi mereka sulit untuk merobeknya.
"Jangan sentuh aku! Ini tindakan kriminal!"
Salah satu wanita yang bertubuh besar, menunjuk dahiku dengan kasar. "Kamu ini pelakor, masih berani bicara soal hukum sama kami?"
Karena pakaian yang kukenakan tidak bisa dirobek dengan mudah, mereka merasa semakin frustrasi.
"Wanita murahan! Begitu melihat suami orang adalah seorang presdir, kamu langsung mau merebutnya? Akan kuhancurkan wajahmu sekarang juga supaya kamu nggak bisa lagi menggoda pria lainnya!"
Aku menghindari serangannya dengan cepat sehingga wajahku tidak terluka. Namun, sejumput rambutku tercabut hingga membuatku meringis kesakitan.
Gila, sekelompok wanita ini benar-benar keterlaluan!
"Aku akan pastikan kalian menyesal atas semua yang kalian lakukan hari ini."
Mendengar ucapanku, mereka mulai memukuliku tanpa ampun. Imelda bahkan menginjak lenganku dengan keras. Rasa sakitnya membuat wajahku pucat, sementara dia terlihat sangat puas.
"Ayo terus maki kami lagi! Bukannya tadi kamu sombong sekali? Aku mau lihat apa kamu masih bisa bicara sekarang! Jadi pelakor akan mendapat karma buruk!"
Aku mencoba melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Aku ditekan kuat-kuat ke tanah hingga tak mampu bergerak. Aku menatap Imelda dan berkata, "Telepon Kent sekarang juga, tanyakan siapa aku sebenarnya!"
Imelda menarik kepalaku dan membenturkannya ke tanah. "Kamu itu siapa? Cuma pelakor sialan!"
"Jangan kira aku nggak tahu kamu cuma mau suamiku datang untuk menyelamatkanmu. Kuberi tahu saja, jangan mimpi! Bahkan kalau malaikat turun ke bumi sekalipun, kamu nggak akan selamat."
Di kolom komentar siaran langsung, seseorang bertanya.
[ Apa mukul orang seperti ini nggak terlalu berlebihan? ]
Imelda menambah tekanan pada lenganku yang diinjak, sambil menunjuk wajahku dan berkata, "Wanita ini jelas-jelas nggak tahu diri. Kalau nggak kuberi pelajaran hari ini, dia akan terus menggoda laki-laki lain. Mungkin dia nanti akan goda suami kalian juga! Aku ini sedang melakukan kebaikan untuk kaum wanita."
Komentar-komentar langsung mendukung tindakan Imelda.
[ Wanita begini cuma bisa merusak moral masyarakat. Memang seharusnya dipukul sampai kapok! ]
[ Kalau bukan karena aku lagi kerja sekarang, aku pasti ke sana untuk ikut nampar dia juga! ]
[ Aku jadi teringat dulu suamiku digoda pelakor sampai akhirnya meninggalkanku dan anak kami. Aku nggak bisa toleransi pelakor sama sekali! ]
Imelda yang mendapat dukungan semua orang, menjadi semakin sombong dan memukuliku habis-habisan. Aku belum pernah merasa semarah ini seumur hidupku. Aku menggigit bibirku dan menahan diri, tapi pandanganku perlahan-lahan mulai menggelap.
Sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri, samar-samar aku mendengar suara sirene polisi ....