"Barnaz! Jaga ucapanmu, ia Kakak sepupumu!" Teriakkan Paman Qasim membuatku berjingkit. Suaranya benar-benar keras.
Aku masih di dalam kamar, tadinya ku pikir lebih baik aku di dalam saja, lagi pula itu tak ada sangkut pautnya denganku, sampai ku tatap ranjang yang kosong. Segera aku menyadari kemungkinan kemarahan Paman Qasim berhubungan dengan Naqib.
Entah apa yang terjadi, tapi aku segera keluar dari kamar. Turun menggunakan lift transparan, yang ujungnya dihiasi kayu. Aku tak tahu bagaimana harus menjabarkannya, tapi maaf pintu lift sudah terbuka, dan segera aku keluar, menemukan Naqib, Paman Qasim, dan Barnaz di dapur.
Apa Naqib membuat masalah? Atau Barnaz? Ku pikir Barnaz lebih tepat. Mengingat anak lelaki Paman Qasim itu, punya sikap yang congak, dan terkadang tatapannya terhadap Naqib seperti merendahkan lelaki itu.
"Ia memang lumpuh, dan itu kenyataan. Lalu harus ku sebut apa ia, Ayah?" Barnaz membalas, membela diri agar tak semakin dimarahi oleh Paman Qasim.
Tapi sepertin