Aku menatap wajah papa dengan seksama, berharap pancaran mata yang berbicara ini mampu menggetarkan hati papa untuk ingin mendengarkan curahan hatiku."Apa, Sayang? Apa yang Kania ingin katakan?" ucap papa lembut, seolah sedang memberikan ruang kepadaku untuk menyampaikan niat hatiku."Pa, Ka-, Kania-," ucapku yang kemudian berhenti dan menjeda ucapanku.Hati ini terus menuntunku untuk berbicara kepada papa tentang isi hati dan segala persoalan yang membuat sesak di dadaku, namun mulut ini terasa sangat berat, kaku dan kelu untuk menyampaikan apa yang ingin ku sampaikan."Papa, sudah waktunya Kania minum obat!" Suara mama Anita yang lantang dan tegas membuat pandangan papa langsung tertuju kepada beliau. Bahkan, niat dan rencanaku yang ingin mengungkapkan sesuatu akhirnya terpaksa harus ku urungkan karena aku sangat tahu kalau tujuan mama adalah untuk mencegahnya."Kania, sekarang kita masuk kamar dulu ya, makanya kamu harus istirahat minum obat biar cepat sembuh," ucap papa lembut d
Mama Anita berteriak sangat kencang dari balik kamarku, terlihat sangat jelas sekali kalau beliau sangat senang dan bahagia karena calon menantu kesayangannya datang berkunjung ke rumah kami. Namun tidak denganku, aku merasa tidak senang dengan kedatangan lelaki itu, bahkan lelaki itu menghancurkan waktuku bersama papa, sehingga keinginanku untuk berkata jujur tidak bisa direalisasikan. "Nak, sepertinya calon menantu Papa ada diluar, kamu senang 'kan?"Papa Gunawan juga tidak kalah antusias dan bahagia mendengar calon menantunya ada di rumah kami. Sungguh, kedua orang tuaku tertawa lepas dengan pancaran kebahagiaan yang terlukis jelas di wajah keduanya. Ya, keduanya sangat mengharapkan menantu laki-laki satu-satunya di keluarga kami yang akan menemaniku dan menjadi imamku. Aku sendiri juga mengharapkan hal yang sama, ingin menikah dengan lelaki yang melengkapi separuh dari agamaku, akan tetapi aku menginginkan seorang lelaki yang aku cintai dan ia pun mencintaiku karena Allah."Pa, Ka
Setelah lebih dari seperempat abad hidup, ini kali pertamanya aku marah kepada Tuhan. Aku kecewa pada takdir dan jalan hidup yang Tuhan berikan kepadaku, aku merasa sudah tidak kuat dan tidak sanggup lagi menjalani hidup ini. Jika memang Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambaNya, kenapa aku diberikan cobaan yang sangat berat sehingga aku tidak sanggup lagi untuk memikulnya.Aku tahu dan sangat paham kalau aku pernah melakukan kesalahan dan dosa di masa lalu, tapi aku telah bertaubat dan berubah menjadi manusia yang lebih baik sekarang, namun kenapa disaat aku telah berubah Tuhan malah semakin membuatku tersiksa, rasanya terhimpit oleh beban berat hingga tubuh ini seolah hancur tertimpa pula.Rasanya hidup ini benar-benar sangat berat hingga aku tidak sanggup lagi menjalaninya."Ih ..., muak ...!"Aku berteriak sangat keras sembari mengacak-acak rambutku, rasanya kepala ini terasa teramat sangat sakit dan tubuh ini juga merasakan ketidaktenangan yang teramat san
Mama Anita berkata lemah namun masih bisa kudengar dengan jelas. Rasanya darahku mendidih dengan emosi memuncak. Aku marah dan kecewa kepada mama Anita karena sebagai orang tua, beliau malah menyarankan ku dibawa ke psikiater, padahal aku tidak gila sama sekali, walaupun aku akui mentalku mungkin sedang tidak baik-baik aja saat ini."Mama saja yang ke psikiater!" ucapku dengan nada suara tinggi. Mataku melotot , menantang mama Anita, memberontak dan melawan karena sebagai orang tua, beliau tidak mempercayai putrinya sendiri, bahkan beliau tidak lagi bertingkah sebagai ibuku."Apa yang kamu katakan?" Mama Anita membalas ku dengan amarah yang juga tidak kalah memuncak, mata beliau melotot dengan wajah memerah."Mama saja yang ke psikiater," balasku dengan teriakan yang lebih lantar, terdengar seperti menggunakan mikrofon. Plak ...!Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, hingga pipi ini memerah. Tangan kananku juga langsung ku tempelkan di pipiku, merasakan sakit yang teramat sangat,
Aku menepuk jidatku, menandakan kalau diri ini lupa untuk memberikan kabar kepada atasanku di kantor kalau aku tidak bisa masuk kantor karena dalam keadaan sakit. Ya, dua hari tanpa kabar membuat atasan mencari ku karena memang ada deadline pekerjaan yang semestinya aku kerjakan dan aku tanggulangi.[Maaf, Pak, apakah saya boleh mengerjakan semua pekerjaan dari rumah?]Setelah menjelaskan kalau diri ini sedang sakit, akhirnya sang atasan mengizinkanku untuk bekerja di rumah. Senang rasanya bisa bekerja, karena bagiku pekerjaan adalah pelampiasan terbaik untuk membuat hati ini lupa atas masalah yang tengah kurasakan saat ini. Namun, aku tidak ingin kedua orang tuaku tahu kalau aku memaksakan diri untuk tetap bekerja dalam keadaan sakit, jadi aku memilih siasat untuk makan dengan lahap serta meminum obat agar tidak ada yang menyangka kalau aku memberontak, dengan menjadikan waktu istirahatku untuk bekerja.Ya, waktu yang ku nantikan akhirnya datang, sang perawat segera keluar dari kama
Aku masih sangat yakin dan percaya, kalau lelaki yang bernama Fahri itu masih ada di ruang tamu bersama mama dan papa. Bahkan ia mungkin saja menginap di rumahku dengan sejuta alasan yang mungkin saja terbesit di dalam pikirannya. Bisa jadi juga ia sangat khawatir kepadaku, hingga memilih untuk tetap berjaga di rumahku walaupun tanpa melihatku.Andai, semua sikap yang ditunjukkan oleh lelaki itu dilakukan oleh Arya, mungkin aku akan langsung berlari menghampirinya hingga hilang seluruh sakit yang menyakiti jiwa dan raga."Apakah aku keluar lewat jendela saja?"Terbesit keinginan untuk kabur untuk mencari udara segar sejenak tanpa memberitahukan orang tua. Ya, ku kenakan jaket berwarna merah muda favorit yang selalu menjadi andalanku, kemudian berjalan pelan untuk segera keluar dari jendela sebelum ada yang mengetahui gelagatku.Dengan jantung yang berdebar kencang, aku melangkahkan kakiku, namun langkahku terhenti ketika ponsel mengagetkanku.Kring ..., kring ..., kring ...."Astaghf
Aku sangat yakin dan percaya kalau suara yang kudengar adalah suara Arya, karena aku tidak mungkin salah mengenali suara lelaki itu. Semua yang berhubungan dengan Arya sudah terekam indah di otakku, tidak ada hal apapun dari dirinya yang ku lewati, namun kehadirannya saat ini seperti ilusi yang membuatku benar-benar terlihat seperti orang gila, karena ketika aku menatap sekelilingku, aku tidak menemukan batang hidung lelaki itu.'Sadar, Kania, sadar!' hati nuraniku mencoba menyadarkan diriku sendiri, mencoba membuatku kembali waras atas sesuatu yang memang hanya khayal dan keinginanku. Ya, sungguh alam bawah sadar ku sangat mengharapkan kehadiran Arya disini."Kania, maaf, kamu tidak apa-apa 'kan?" Lelaki bernama Andika itu kembali menyadarkan ku, dimana sebuah sapu tangan berwarna biru muda tengah diulurkannya kepadaku. Ya, meski dibawah sinar rembulan dan gemerlap cahaya lampu taman, aku tetap bisa melihat ketulusan dari wajah seorang lelaki yang bernama Andika itu. "Terima ka-,"
Suara lantang itu mengagetkanku, bahkan rasanya seperti petir yang tengah menyambar-nyambar, hingga membuatku kaget dengan jantung yang berdetak luar biasa kencangnya seolah ingin copot.Mata mama Anita melotot dengan amarah yang sangat memuncak. Terlihat sekali beliau ingin memarahiku, namun sebagai seorang ibu, mama Anita masih menyimpan rasa sabar, hingga beliau masih menahan diri untuk tidak berbuat lebih parah dari pada teriakan keras itu.Ku perhatikan dengan seksama, tangan mama Anita digenggam sangat erat membentuk dua buah tinju, seolah beliau sedang menahan semua kekesalan di dalam hatinya."Mama, maaf!"Dengan suara lembut namun terdengar tidak sopan, aku berjalan menuju tempat tidurku, tidak ingin menghampiri mama atau berdebat dengan beliau. Sikap tidak sopan dan sangat tidak menghargai orang tua itu membuat darah mama Anita semakin mendidih."Kania, Mama tidak pernah mengajarkan kamu tidak sopan seperti itu," ucap mama Anita dengan nada suara yang lebih tinggi, namun aku