Share

5. Aku Anak Pembawa Sial!

"Ini kemana?" tanyaku panik, saat tahu kami berada di sebuah tempat yang sepi. Sebuah jembatan, dengan banyak batu besar di bawahnya dan airnya sedikit. Seperti musim kemarau panjang, hingga air di sungai ikut kering. Jarak antara jembatan dan jurang ke bawah begitu jauh, jadi aku bisa menjamin siapa yang yang jatuh ke bawah sengaja ataupun tidak, nyawanya ikut melayang.

"Tuh lihat di sebelah jembatan ada kuburan." Benar, saat aku melihat di samping jembatan, ada banyak kuburan disana.

"Itu adalah bekas orang-orang yang meninggal karena jembatan ini. Saat itu, hujan terus sampai banjir dan orang yang disini saat nyebrang maupun yang tinggal di sini banyak yang terhanyut, jadi jasad mereka di makamkan di sampingnya."

"Oh ya?" Aku menatap cowok di sampingku yang tersenyum, rambutku terus tertiup angin yang begitu kencang saat berdiri di sekitar sini.

Tiba-tiba cowok itu mengeluarkan rokoknya dan menyalakan api, padahal angin bertiup kencang. Aku tak suka orang merokok. Aku hanya menutup hidungku dari asap yang masuk ke paru-paruku yang masih bersih. Baiklah, hatiku sudah menghitam, karena keadaan keluargaku.

Cowok itu memeluk leherku. Aku langsung menepuk tangannya, hufh ... Dia rese sekali.

"Kamu cantik." Aku melihat ke arahnya, yang masih memandang ke bawah dengan dua jari mengapit rokok. Apa enaknya sih merokok?

"Ayo jalan."

"Heh kemana?" pekikku saat tubuhku sudah ditarik dari jembatan dan menuju pinggir jembatan. Ia membawaku ke semak-semak, banyak tumbuh ilalang yang begitu tinggi. Sebenarnya ini pinggir jalan, tapi sepi kendaraan yang melewati.

"Kita mau ke kuburan."

"Hih. Takut." Cowok itu terkekeh, dan mengacak rambutku. Dia suka mengacak rambutku, membuatku hanya mengerucutkan wajahku karena kesal. Sambil memukul tangannya.

"Ayo." Ia pun menarik tanganku, sambil berlari kecil. Aku juga mengikutinya, berlari-lari seperti anak kecil, tapi rasanya menyenangkan walaupun norak.

Tiba-tiba kami sudah masuk ke dalam semak-semak tinggi tadi. Di dalamnya tidak menyeramkan seperti terlihat dari luar. Kami masuk ke dalam dan terdapat sebuah lapangan yang sedikit lapang hanya sekedar duduk ditutupi oleh hanyak ilalang, yang tumbuh di sekitarnya.

"Baring sini." Cowok itu menunjuk lapangan luas di sampingnya. Aku hanya melototkan mataku, tidak mau! Kukitku akan terasa gatal dan banyak batu-batu tajam kecil yang akan menusuk tubuhku.

"Ayo cepat kesini." Perlahan aku mendekatinya. Ia duduk, dan aku ikut duduk di sampingnya.

"Bukankah berbaring seperti ini indah?"

"Tapi, aku nggak mau. Nanti gatal-gatal badannya."

"Baring di atas tubuh abang dek." Aku hanya tertawa, saat cowok itu menepuk dadanya. Dia rese tapi suka menghibur juga. Entah berapa kali bersamanya, aku terus tertawa.

Akhirnya, aku duduk di sampingnya tiba-tiba ia menggenggam tanganku, aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum padaku, aku hanya diam. Dia tampan, senyumannya manis. Tangannya terasa dingin, tapi juga menghangatkan. Ia membawa tanganku dalam mulutnya, dan menciumnya disana. Aku mencium aroma rokok dari tangannya.

Kemudian, aku menurut saja saat ia membawa tubuhku berbaring di rumput tadi. Aku menurut, dan ekspektasi batu-batu kecil tajam yang menusuk tidak ada. Aku tetap berbaring, tanpa merasakan kesakitan, rupanya rumputnya sedikit tebal.

Tangan kami saling bertaut dan berbaring di rumput, sambil menutup mata karena silau dengan matahari.

Aku menutup semua mataku, dan memikirkan keluargaku yang berantakan. Bukan! Aku saja yang berantakan. Kehadiranku, tidak diterima oleh mereka. Aku mencoba mengingat dari kecil, apa pernah disayang? Rasanya tidak ada. Saat aku tahu bagaimana kejamnya dunia, aku tahu aku selalu dibedakan oleh saudara-saudaraku. Saat Meisha yang berbuat salah, maka aku yang disalahkan. Selalu seperti itu, apalagi jika aku berbuat salah, mama akan lebih murka padaku, bahkan aku masih ingat mama menamparku hingga berdarah.

Aku menggigit bibirku, dan hampir meneteskan air mata. Mataku sudah memanas, walau aku menutup mata. Tahu dunia begitu kejam padaku yang manusia hina, dunia tidak pernah berpihak padaku. Dunia senang menghukumku, atas kesalahan yang aku sendiri tidak tahu.

Saat sadar, aku meniduri tas dan di bawahnya ada pena yang bisa patah, aku bangun dan melepaskan tas milikku, sambil duduk. Kepalaku pusing, berbaring di tempat yang rata dan keras tak ada bantal.

"Lihat burung-burung disana. Mereka seperti tak ada beban, bebas terbang ke angkasa tanpa berpikir PR, berpikir tentang kesalahan yang mereka lakukan." Aku mengangguk mengiyakan, bahkan hidup burung lebih berguna dari hidupku.

Cowok itu tiba-tiba memeluk pinggangku. Awalnya aku risih, tapi aku hanya diam, dan kami terdiam dengan memikirkan masalah kehidupan masing-masing.

Aku terlalu sibuk dengan kerasnya hidupku, sampai aku seperti tak pernah menikmati hidupku sebagai seorang remaja. Padahal katanya, masa remaja adalah masih paling indah, dari semua fase kehidupan manusia. Saat remaja, kita hanya disibukkan dengan masalah cinta. Perasaan yang berbalas, atau mempunyai pacar yang brengsek. Tapi, hidupku terlalu keras membuatku tak sempat berpikir kesana. Dan juga, aku tak ingin berpacaran, karena semakin menambah beban dan masalah di hidupku nanti. Aku mencoba meminimalisir permasalahan di kehidupanku.

"Masih panas nggak?" tanya cowok itu, aku hanya menggeleng. Aku masih memikirkan nasibku dan keluargaku. Panas seperti ini, tidak sepanas di rumah yang terasa seperti neraka buatku.

"Mau pulang?" Entah kenapa aku menggeleng. Dunia seperti menolakku untuk pulang ke rumah yang penuh neraka. Biarkan aku seharian berada di luar, dan merasakan sedikit kelagaan dalam berpikir dan bernapas. Saat berada dalam rumah, aku merasa seperti napasku dicekik.

"Yaudah, disini panas. Mau ke rumahku?"

"Heh ngapain?"

"Makan?" Aku menatap cowok itu, dia sebenarnya tulus atau tidak.

"Kamu tulus berteman sama aku?" Aku menatapnya dalam. Ia menatapku tapi mata itu, selalu tak bisa dibaca. Cowok itu menarik napas panjang. Jika dia tulus berteman bersamaku, tidak ada salahnya aku berteman bersama dia dan aku mungkin bisa menceritakan sikap keluargaku atau apa yang aku rasakan. Sejujurnya, aku butuh teman untuk berbagi.

"Iya. Ayok."

Cowok itu berdiri dan menarik tanganku. Aku mengikutinya dan berdiri. Matahari yang tadinya meninggi, sekarang seperti malu-malu bersembunyi di balik awan. Panas tadi yang menyengat, tiba-tiba terasa kelam sekarang. Langit berubah, jika hatiku sedang sedih sekarang aku dengan senang hati mengizinkan hujan turun sekarang dan aku bisa menangis di bawah guyuran hujan dari langit.

"Mendung." Cowok itu mengandeng tanganku sambil memandang ke atas. Aku hanya diam, belum sempat kami berlari dari kuasa alam. Hujan sudah turun. Cepat sekali hujan turun? Padahal, baru saja tadi aku merasakan panas.

Akhirnya dengan buru-buru kami menaiki motor cowok itu, sambil menerobos hujan. Aku memeluk jaket kulitnya yang basah. Aku hanya mampu menunduk, saat merasakn bulir-bulir hujan yang sangat besar menumpahi diriku dan rasanya sakit.

Aku tahu, sekarang tubuhku sudah basah. Hufh, dan bagaimana dengan buku-buku yang ada dalam tas.

"Nanti jemur dulu bajunya."

"Hah?" Aku tak terlalu medengar jelas karena hujan sangat deras, dan cowok itu melaju sangat kencang. Aku semakin mencengkram jaket miliknya sambil bersembunyi di balik punggungnya.

Saat motornya melaju perlahan, aku tahu saat itu kami sudah memasuki rumahnya. Aku mengangkat wajahku melihat rumahnya, rumah cowok ini cantik dan bisa dibilang mewah. Ia tinggal di kawasan yang khusus rumah cantik.

Saat membuka pintu pagar, kami masuk ke dalam rumahnya. Halaman depan rumahnya banyak bunga dengam berbagai macam warna, dan ada pohon mangga di depannya. Rumahnya cantik.

Tubuhku menggigil.

"Oh iya, kamu ganti baju ya. Nanti bajunya dikeringkan dulu." Aku menunduk melihat rok milikku yang terus menetes. Aku memeluk diriku sendiri. Yang aku inginkan, baju kering dan selimut yang hangat, sambil tidur.

Aku membuka sepatuku yang basah dan hanya berdiri di teras rumahnya. Tak berani masuk, nanti rumahnya basah.

"Nggak papa, masuk aja. Nanti di bagian kanan ada kamar mandi. Ada handuk juga di dalam. Nanti aku pinjamkan baju aku." Aku mengangguk, dan berlari cepat ke kamar mandi walau rumahnya sudah basah. Dengan cepat aku melaksanakan ritual mandi dan keluar hanya berbalut handuk. Aku memeras baju seragam hingga kering. Karena aku harus pulang dengan memakai seragam yang sudah kering.

"Oh iya ini baju aku. Celananya juga pakai boxer aja ya." Cowok itu melempar bajunya berwarna kuning dan boxer berwarna biru. Bahkan dalam kamar mandi, aku sempat mencium aroma tubuhnya. Aku suka wangi tubuhnya.

Aku melihat tubuh kecilku tenggelam dalam baju kebesaran ini hingga mencapai lutut dan juga boxer yang kebesaran, beruntung celana karet yang tidak kedodoran.

"Alamak tak pakai BH." aku berseru malu, saat melihat ada tonjolan di pakaianku. Semoga cowok itu tidak sadar.

Aku keluar, dan melihat cowok itu sudah menonton TV.

"Oh iya ini jemurnya di mana?" Aku menunjuk pakaianku yang basah. Bahkan bra dan panties sengaja kucuci dan peras nanti bisa dipakai lagi.

"Sini." Cowok itu mengambil pakaianku. Tapi dengan cepat aku mencegahnya karena takut ia memegang pakaian dalam milikku.

"Aku aja yang jemur."

"Tuh kipasnya." Cowok itu menunjuk kipas besi yang berdiri kokoh di samping TV ramping yang berlayar sangat luas tersebut.

Aku mengibaskan dan berharap semoga pakaianku cepat kering dan pulang.

"Mau dikeringin pakai mesin cuci nggak? Biar cepat kering." Aku menggeleng, dan duduk di samping cowok ini, sambil memeluk tubuh sendiri.

Dingin, tapi perutku keroncongan.

"Dingin-dingin gini, enak makan mie." Dengan cepat aku mengangguk. Perutku lapar dan mie kedengarannya sangat mengiurkan.

"Aku masak dulu."

"Biar aku bantu." Aku langsung menawarkan diri. Dia sudah berbaik hati menampungku dan mau memberiku makan, jadi aku harus membalasnya. Asal dia mendampingiku agar aku tak kesulitan mencari barang-barang.

Cowok itu mengeluarkan dua bungkus mie dari laci.

"Kamu suka pakai sayur?" Cowok itu mengangguk, aku memegang pisau sekarang, niat hati ingin mengiris bawang karena aku ingin menumis bawang terlebih dahulu.

"Semua suka." Komentarnya, sambil mengeluarkan sayur dari dalam kulkas.

"Orang tuamu nggak ada?" Cowik itu menatapku sebentar. Ia sedang berjongkok di bawah kulkas, mengambil sawi yang mau dimasak.

"Ada kerja." Cowok itu mengambil sayur dan mencuci terlebih dahulu.

"Oh iya, aku selalu lupa nama kamu. Siapa nama kamu?"

"Panggil aku bee." Aku menggeleng. Kedengarannya begitu norak. Aku hanya ingin panggilan normal.

"Ayden. Kan aku udah bilang berkali-kali." Aku langsung mencatat namanya dalam otakku, semoga aku tidak melupakan namanya secepat ini.

Aku meletakan wajan di atas kompor menghidupkan kompor dan menumis bawang terlebih dahulu.

"Oh iya, makan pedas enak juga." Cowok itu langsung mengeluarkan sebotol saos dari lucu. Rumahanya semua makanan lengkap. Aish lupa, namanya Ayden. Tolong ingatkan aku, jika aku lupa lagi namanya. Padahal, namanya tidak susah.

Aku memasukan sayur, telur dan terkahir mie. Hufh, dari baunya saja snagat mengugah selera. Di luar juga hujan sepertinya tidak sederas awal.

Mie aku tuangkan dalam dua mangkok. Cowok itu membawa minuman dingin, aku membawa mie tadi duduk di depan sofa tadi yang awalnya. Kami melewati pakaianku yang masih dijemur. Terlihat, panties milikku berwarna pink sedang melayang di atas kipas. Hufh... Bikin malu saja.

"Jangan lihat dalaman aku." Aku berbalik dan melihat cowok itu. Dan benar saja, matanya melihat kesana.

"Coba tadi nggak bilang, aku nggak lihat kok." alibinya. Aku hanya mendesis kesal. Alasan banyak.

Kami kembali duduk di sofa tadi, dengan memegang masing-masing mangkok yang berisi mie yang masih berasap.

Aku membuka minuman kaleng terlebih dahulu, mendinginkan perutku sebelum makanan hangat menyapa lambungku.

"Nanti pulangnya nunggu hujan reda aja." Aku mengangguk, kami makan dalam diam. Aku harus menunggu pakaianku kering baru pulang. Lagian di rumah, tidak ada yang menungguku dan mereka tak peduli jika aku tidak pulang. Bahkan mereka senang, dan berharao aku mati duluan.

Selesai makan, cowok itu mengajak nonton TV, awalnya ia ingin menonton film horor, tapi aku tak mau karena aku tak suka film horor dan bisa saja ia modus.

Bosan nonton TV, ia mengajakku main monopoli. Sampai bosan, tapi aku senang berada di sekitarnya. Aku bebas tertawa, dan mengeluarkan ekspresiku. Bukan hanya terkurung sendirian dalam kamar yang membuat hidupku terlihat makin menyedihkan, dan membuatku ingin terus melukai diri. Akhir-akhir ini, aku sudah jarang melukai diri. Mungkin aku sudah pada tahap bodo amat, walau aku masih belum tenang saat tidur setiap malam. Aku harus minum obat tidur, baru aku merasakan ketangangan.

Saat hujan reda dan bajuku kering, sudah sangat malam. Pukul 09.27. saat aku melangkah keluar dari rumah itu. Aku sudah makan malam, cowok itu bilang orang tuanya kerja tapi orang tuanya tak ada pulang. Malam itu, ia memasan ayam goreng. Kami kembali makan, dan bermain monopoli hingga bosan.

Ia mengajakku untuk kembali ke rumahnya, tapi aku tak menjawabnya.

_____________________________

Dan sekarang, aku sedang berjalan pelan menuju rumahku sambil menenteng sepatuku yang masih basah. Aku tak tahu, besok mau pakai sepatu apa ke sekolah. Aku tak punya cadangan.

Aku membuka pelan pintu dapur, berharap belum dikunci.

"Nggak bisa gitu mak! Walau bagaimanapun, dia harus dicari. Bagaimana kalau dia dicuri om-om pedofil, pejahat kelamin?"

"Biar aja, biar dia membusuk di jalanan!" Mama berteriak. Tubuhku sampai gemetaran mendergarnya.

"Lisha anak kita Ma."

"Dia bukan anak aku!" pekikan Mama begitu kuat. Aku mengintip di balik pintu, dengan tubuh gemetaran. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tak mungkin tidur di luar. Jika, aku masuk sekarang, Mama dan Papa akan semakin murka padaku.

Aku bersandar di pintu, tanpa sadar pintu tergeser. Oh bencana!

Ke dua orang tua itu, menatapku seperti melihat daging segar. Habislah diriku setelah ini.

"Jalan kecil pulang pak. Dia cari pelanggan sampai larut seperti ini. Mulai besok, jangan kasih dia makan. Biar dia cari om-om perut buncit yang mau kasih makan dia!"

Aku hanya berani menunduk, tak berani menatap mereka, dan tak berani bergerak. Tubuhku kaku.

Plak!

Plak!

Plak!

Plak!

Dan saat kurasakan empat kali tamparan keras melayang ke pipiku. Kepalaku langsung pusing, air mata turun tanpa bisa kucegah. Seperti yang kubilang, aku benci dengan hidupku!

"Anak pembawa sial! Kenapa tak mati aja dari dulu?!"

Dan sepertinya aku harus bersenang-senang malam ini, dengan mengoreskan lenganku yang lukanya sudah kering.

_______________________

Hi, gimana perasaan kalian baca bab ini?

Tujuan cerita ini untuk menceritakan, sex edu dan juga bagaimana kekerasan terhadap anak. Jangan sampai, kita mengalami seperti ini atau melakukan seperti ini. Jangan yaπŸ₯ΊπŸ₯ΊπŸ₯Ί.

Buat para orang tua. Please-please sayangilah mereka. Mereka adalah titipan, bukan hak kalian yang bisa kalian buat sesukanya. Tidak! Kalian mempunyai tugas yang berat, untuk mengajarkan mereka.

Semoga kita mendapatkan atau mendidik anak kita bukan seperti cerita ini.

Jangan bosan!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dinar Blm Pnya Nm
pasti bakal banyak air mata disini, tp banyak pelajaran juga, good lah
goodnovel comment avatar
Rizma Ristanti
setuju mak... semangat dan terimakasih mak buat ceritanya yg bagus2.... πŸ‘
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status