Diederich membawa Olevey yang masih tak sadarkan diri dalam gendongannya yang kokoh dan hangat. Ia membawa Olevey kembali ke dalam kamar pribadinya yang tentu saja adalah kamar paling luas, paling mewah, dan paling ketat penjagaannya. Diederich membaringkan Olevey di tengah ranjang. Namun, Diederich sama sekali tidak beranjak dari sisi Olevey. Ia malah ikut berbaring di samping gadis yang kini tampak sudah jauh lebih barik kondisinya. Napas Olevey sudah cukup teratur, tidak terlihat lagi jika Olevey kesulitan bernapas. Diederic mengulurkan tangannya dan merasakan suhu tubuh Olevey yang sudah kembali normal.
Saat Diederich akan menunduk untuk mencuri ciuman Olevey, ia tertarik oleh sesuatu yang ia rasakan. Ia menoleh pada pintu balkon. Diederich pun turun dari ranjang dengan perlahan. Berusaha untuk tidak membangunkan Olevey yang tentu saja kini sudah terlelap dengan tenangnya. Tanpa membuka pintu, Diederich berpindah dari sisi kamar ke area balkos yang cukup luas. Diederich mendongak dan menatap langit yang lagi-lagi kehilangan bulan merah yang berpendar. Dunia iblis seketika kehilangan sumber cahaya dan mengalami gelap total.
Diederich mengernyitkan keningnya saat merasakan ada hal yang aneh. Rambut Diederich tiba-tiba berubah menjadi merah rubi lagi. Tanda jika bulan merah memang sudah kembali menghilang secara sempurna, dan ini adalah anomaly yang jelas tidak pernah terjadi sebelumnya. Sejak semesta terbentuk, dunia iblis dan dunia manusia dipisahkan oleh sebuah portal, tidak pernah terjadi sekali pun di mana bulan merah menghilang sebanyak dua kali dalam periode bulan merah berpendar. “Sebenarnya, apa yang tengah dilakukan oleh para Dewa sialan itu? Lalu, sebenarnya apa yang direncanakan oleh Sang Takdir?” tanya Diederich pada angin malam yang membawa hawa dingin menggigit.
***
Alkisah, Sang Pencipta menciptakan kaum iblis dari kobaran api. Hal itu menunjukkan betapa kaum iblis memiliki gelora yang berapi-api dalam diri mereka. Kegoisan, dan hawa nafsu adalah hal utama dalam diri mereka. Tentu saja, semakin tinggi tingkatan iblis, maka semakin besar keegoisan, hawa nafsu, dan gelora yang mereka miliki. Hal itulah yang terjadi pada Diederich. Meskipun memliki kekuatan sihir dan kemampuan pengendalian diri yang begitu besar sebagai seorang raja iblis, hal itu sebanding dengan hawa nafsunya. Apalagi, kaum iblis juga dikenal sebagai sosok yang menebar nafsu di kalangan manusia dan mereguk kekuatan dari semua nafsu yang dimiliki oleh para manusia.
Diederich menghela napas panjang untuk berusaha mengendalikan hawa nafsunya yang mulai bangkit. Seumur hidup Diederich, ia belum pernah merasa sesulit ini untuk mengendalikan hawa nafsunya. Meskipun ada masa di mana hawa nafsunya sebagai seorang iblis mencapai titik tertinggi, tetapi Diederich selalu bisa mengendalikannya dan hanya melakukan kegiatan intim yang secukupnya. Itu pun, Diederich tidak pernah sembarangan melakukannya dengan iblis wanita.
Diederich sangat selektif untuk memilih lawan mainnya di atas ranjang. Hal itu terjadi karena Diederich tidak ingin sampai memiliki ikatan emosi dengan siapa pun. Diederich tidak ingin terikat dengan seorang wanita atau seorang iblis saja. Ia ingin hidup bebas. Hanya saja, Diederich tidak bisa menerapkan hal itu saat melihat kondisi Olevey. Ia bisa saja mati, jika Diederich tidak memberikan tanda kepemilikannya pada Olevey. Tanda kepemilikan yang menandakan jika Olevey adalah wanitanya, wanita milik raja yang tidak boleh dilirik atau bahkan diimpikan oleh iblis mana pun.
Benar, Diederich menandai Olevey untuk menyalamatkan nyawa Olevey yang digerogoti energi dari danau kegelapan. Dengan ditandai oleh Diederich, Olevey pasti sudah terlepas dari ancaman kematian yang diakibatkan danau kegelapan. Olevey juga secara alami akan bisa beradaptasi dengan lebih mudah dengan dunia iblis yang tentu saja memiliki sedikit penolakan pada Olevey yang jelas-jelas bukanlah penghuni asli di dunia ini. Namun, lagi-lagi kali ini ada hal aneh yang terjadi. Olevey masih tidak sadarkan diri setelah mendapatkan tanda darinya. Saat ini, suhu tubuh Olevey bahkan kembali naik.
“Yang Mulia, apa Yang Mulia sudah menuntaskan penandaannya?” tanya Zul setelah selesai memeriksa kondisi Olevey untuk kesekian kalinya.
Diederich yang duduk di sebuah kursi dengan Exel yang berada di belakangnya, kini mengernyitkan keningnya. “Belum. Dia sudah lebih dulu tidak sadarkan diri, dan aku tidak bisa memaksanya melanjutkan ritual,”jawab Diederich.
Baik Exel maupun Zul sama-sama terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Diederich. Tentu saja, sudah bukanlah rahasia lagi, jika Diederich sama sekali tidak memiliki perasaan empati. Ia tidak pernah mementikan orang lain. Bahkan ia tidak peduli dengan keinginan orang lain. Jadi, sangat mengherankan bagi Exel dan Zul saat mendengar jika jungjungan mereka satu ini menahan diri untuk tidak memaksakan apa yang harus ia lakukan. Zul pun berdeham. “Kalau begitu, Yang Mulia harus segera menuntaskan penandaannya. Saat ini, tanda bekas gigitan Yang Mulia sudah muncul. Namun, tanda itu belum sempurna. Hal itulah yang malah membuat rasa sakit kembali datang dan bahkan dua kali lipat rasa sakitnya,” jelas Zul.
Diederich merasa pening. Ia pikir, penandaan pertama saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa sakit Olevey. Namun, ternyata penandaan harus dilakukan dengan sempurna. Itu artinya, Diederich memang harus benar-benar memiliki ikatan dengan Olevey. Penandaan secara sempurna bisa dikatakan jika seorang iblis mengakui jika iblis atau sosok yang ia tandai, adalah pasangan resminya. Karena itulah, bukan salah Diederich jika ia menilai, ketika ia menandai Olevey secara sempurna, maka ia akan terikat secara sempurna dengan gadis manusia itu.
“Kalau begitu, keluarlah!” perintah Diederich tegas pada akhirnya.
Zul dan Exel memberikan hormat sebelum undur diri bersamaan. Diederich menatap Olevey dari posisinya. Setelah beberapa saat, Diederich bangkit dari duduknya dan beranjak pada ranjang. Ia mengulurkan tangannya dan meraih Olevey ke dalam pelukannya. Diederich mendudukkan Olevey di atas pangkuannya dan menekan lembut kening Olevey. Diederich berusaha memberikan energi yang sedikit banyak bisa membuat Olevey terbangun.
Apa yang dilakukan oleh Diederich ternyata berhasil. Olevey mengerang dan terbangun dari tidurnya yang memang tidak terasa nyenyak karena rasa sakit yang menyiksa sekujur tubuhnya. Olevey membuka matanya yang indah dan bertemu tatap dengan netra rubi yang berkilau. “Sakit,” erang Olevey menggeliat pelan dalam pelukan Diederich. Saat terbangun seperti ini, rasa sakit di tubuh Olevey semakin menjadi. Apalagi rasa sakit di bekas gigitan Diederich semalam. Rasanya begitu sakit, hingga Olevey tidak bisa menahan tangisnya.
Diederich mengulurkan tangannya dan menyentuh bekas gigitannya yang memang sudah membiru. Samar-samar, ada pola sihir di sana. Bentuk pola yang masih samar ini menandakan jika penandaan memang belum sempurna. “Ini tidak akan sakit lagi, tapi kau harus melakukan apa yang aku arahkan,” ucap Diederich.
Olevey yang sudah setengah sadar karena rasa sakit yang semakin menjadi, hanya bisa mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan oleh Diederich. Hal itu membuat Diederich sama sekali tidak membuang waktu untuk menggigit bagian dalam pipinya hingga darah memenuhi rongga mulutnya. Setelah itu, tanpa permisi Diederich menempelkan bibirnya pada bibir Olevey. Tentu saja Olevey menggeleng, menolak untuk menelan apa yang sudah Diderich pindahkan dari mulutnya pada mulut Olevey.
Kepala Olevey terasa makin pening saat merasakan bau karat dan amis yang menyengat di dalam rongga mulutnya. Diederich menahan kepala Olevey dan memastikan jika Olevey menelan darahnya dengan sempurna. Olevey terbatuk begitu dirinya benar-benar menelan darah Diedrich secara sempurna. Belum menghilang rasa tersiksa di tenggorokannya, Olevey tiba-tiba merasakan jantungnya terasa bekitu sakit. Seakan-akan ada sebuah belati yang tajam menancap dengan tepatnya di jantung Olevey.
Lalu tiba-tiba jantung Olevey terasa diremas dengan kuatnya hingga Olevey tidak bisa bernapas dengan benar. Kedua tangan Olevey bergetar hebat dan meraih pakaian bagian depan Diederich dan meremasnya dengan kuat. “Apa yang kau lakukan? I-Ini sakit!” pekik Olevey.
Diederich menatap dingin pada Olevey. Ia terlihat tidak berniat untuk menjelaskan apa pun pada Olevey. Namun, beberapa saat kemudian, Diederich menangkup wajah Olevey dan kembali menyatukan bibir mereka. Tentu saja Olevey menolak ciuman Diderich. Ia tengah tersiksa saat ini, dan Diederich malah menciumnya seperti ini. Apa Doederich gila?! Namun, ternyata yang gila bukan DIederich, melainkan Olevey. Karena tiba-tiba, Olevey membalas ciuman Diederich. Meskipun terasa kaku, Olevey mengikuti gerakan dan arus yang Diederich arungi. Ini gila. Olevey benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Ayah,” panggil Leopold setengah putus asa sembari menatap ayahnys yang tengah duduk di kursi bacanya. Saat ini, gelapnya malam sudah memeluk semesta dengan sempurna. Leopold sudah menyelesaikan tugas hariannya dan kini datang ke ruang baca pribadi milik sang ayah, untuk kembali membicarakan hal yang mengganggunya.Karl menghela napas panjang. Ia meletakkan bukunya di atas meja, lalu menatap sang putra yang duduk di seberangnya. “Kamu sendiri sudah melihat apa yang sudah Ayah dan para Uskup Agung lakukan, bukan? Dunia iblis, dan Raja iblis bukanlah sesuatu yang bisa kita hada
Olevey diantar oleh Slevi menuju aula istana di mana singgasana milik Diederich berada. Tentu saja, Olevey perlu bertemu dengan Diederich untuk membicarakan hal aneh yang terjadi pada tubuhnya. Beruntungnya Olevey, saat ini bukanlah masa di mana bulan merah kehilangan cahaya, hingga Olevey tidak akan melihat bentuk-bentuk iblis yang mengerikan. Bentuk iblis yang mungkin saja bisa membuatnya terkena serangan jantung, dan jatuh tak sadarkan diri karena melihatnya. Namun, Olevey masih bisa merasakan jika para iblis yang bertugas sebagai pengawal, memperhatikan dan mencuri pandang padanya. Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Diederich jika ia memiliki sesuatu yang membuatnya menarik di mata para iblis bukanlah omong kosong.
Olevey terbangun dari tidurnya karena tidurnya yang nyaman disambangi mimpi buruk. Olevey tersentak dan membuka matanya menatap langit-langit kamarnya. Setelah sembuh sakitnya, Olevey sudah kembali ke kamarnya yang sudah sangat nyaman dan familier dengannya ini. Jelas, kamar ini lebih nyaman daripada kamar bernuansa gelap yang sebelumnya Olevey tempati ketika sakit. Namun, saat ini Olevey tidak bisa merasakan kenyamanan yang biasanya selalu ia rasakan ketika berada di dalam kamarnya ini. Biasanya, Olevey merasa aman berada di dalam kamar yang memang tidak bisa didatangi oleh iblis-iblis lainnya.O
“Tunggu, apa yang Anda maksud?” tanya Olevey.“Apalagi? Tentu saja aku tengah membicarakanmu, istriku,” ucap Diederich dengan seringai yang membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Olevey berdiri.
Olevey berdiri di bawah guyuran bulan merah yang berpendar keemasan. Kening Olevey mengernyit dalam saat melihat keindahan bulan merah keemasan yang belum pernah ia lihat. Olevey mengedarkan pandangannya dan tersadar jika dirinya berdiri dengan dikelilingi pohon pinus yang menjulang tinggi. Olevey tidak mengerti, kenapa dirinya bisa berakhir di tempat yang tidak pernah ada dalam ingatannya. Olevey tentu saja sadar, jika ini adalah dunia iblis, tetapi Olevey tidak pernah menginjakkan kakinya di hutan pinus yang ia kenal sebagai pebatasan menuju portal penghubung.
12. Apa Ini Waktunya?
Olevey berbalik dan mendorong Diederich menjauh darinya, lalu meraih selimut yang berada di dekatnya. Olevey menggunakan selimut itu untuk membalut tubuhnya yang memang hanya menggunakan pakaian dalam. Meskipun merasa sangat malu karena Diederich melihatnya saat berada dalam kondisi yang tidak pantas, Olevey berusaha untuk mengendalikan diri. Termasuk mencoba untuk mengendalikan rasa sakit yang menyerang bahu dan sekujur tubuhnya. Untuk saat ini, hal yang paling penting adalah mengusir Diederich dari kamar sebelum ada hal yang tidak diinginkan terjadi.“Dengan hormat, saya minta Yang Mul
“Nyonya,” panggil Slevi merasa cemas karena hampir tiga jam Olevey mengurung diri di dalam kamar mandi. Setelah sarapan, Olevey yang terlihat kurang enak badan segera masuk ke kamar mandi dan belum ke luar hingga saat ini. Slevi merasa dirinya salah karena tidak sigap saat sudah melihat wajah sosok yang ia layani terlihat begitu pucat dan kehilang rona cantiknya. Slevi kembali mengetuk pintu kamar mandi. “Nyonya, apa Anda baik-baik saja? Apa saya boleh masuk?” tanya Slevi lagi. Para bawahan Slevi saat ini juga terlihat sangat cemas dengan kondisi nyonya mereka yang sej